Apa Sopir Bus Boleh Nggak Puasa Ramadan karena Musafir?

supir-bus-puasa-ramadan

supir-bus-puasa-ramadan

MOJOK.COApakah sopir bus dibolehkan tidak melaksanakan kewajiban puasa Ramadan karena dianggap sebagai musafir alias orang yang melakukan perjalanan jauh?

“Gus, kakak saya itu ada yang kerjaannya jadi sopir bus, tiap Ramadan dia suka bingung lalu tanya ke saya, kira-kira boleh nggak kalau dia nggak puasa Ramadan? Secara fikih gimana? Gitu tanya dia,” kata Fanshuri ke Gus Mut.

Gus Mut tersenyum.

“Kalau menurutmu gimana? Kamu kan pernah ngaji kitab Safinatun Najah,” kata Gus Mut ngetes.

“Lah, itu kan cuma ngaji bandongan biasa, Gus. Ya nggak berani saya kasih kesimpulan,” kata Fanshuri.

“Ya jawab sekena logika fikihmu aja,” kata Gus Mut.

Fanshuri diam sejenak.

“Kalau menurut saya sih ya nggak apa-apa nggak puasa Ramadan,” kata Fanshuri.

“Soalnya kenapa?” tanya Gus Mut.

“Ya karena musafir,” kata Fanshuri.

“Oh, jadi kalau udah nggak Ramadan, kakakmu bisa ngganti di bulan lain? Padahal tetep nyopir juga di bulan-bulan lain, tetep musafir selamanya dong? Jadi nggak bakal bisa ngganti di bulan lain buat nggantiin puasa Ramadan juga akhirnya,” tanya Gus Mut lagi.

Fanshuri bingung.

“Iya juga ya,” kata Fanshuri.

“Memang, kakakmu itu bisa cuti sebulan untuk nggak nyopir setelah Ramadan?” tanya Gus Mut.

“Ya kalau sebulan sih kayaknya nggak bisa, satu-satunya yang bisa ya kalau dia sakit, Gus,” kata Fanshuri.

“Padahal kalau sakit malah sebaiknya nggak puasa, sampai sembuh dulu baru puasa,” kata Gus Mut.

“Walah, ribet juga ya ternyata. Padahal musafir, tapi nggak bisa serta-merta jadi dapat keringanan nggak puasa juga ya, Gus?” kata Fanshuri.

Gus Mut lagi-lagi tersenyum.

“Sebelum sampai kesimpulan bisa dapat keringanan atau nggak, kamu harus tahu dulu status musafir itu apa. Biar jelas dulu. Kan patokanmu tadi adalah musafir itu dapat keringanan nggak puasa,” tanya Gus Mut.

“Iya, kan emang gitu, Gus?”

“Sekarangan pertanyaannya, apa sopir bus itu musafir, sedang pergi, atau sedang melakukan perjalanan?” tanya Gus Mut lagi.

Fanshuri terdiam sejenak.

“Ya seharusnya musafir dong, kan dia pergi melakukan perjalanan dari satu titik ke tempat yang bukan wilayahnya,” kata Fanshuri.

“Iya betul. Itu kalau sebatas pada definisi ‘pergi’ dari Imam Syafi’i. Lah kalau sopir bus, ia hitungannya ‘pergi’ atau nggak?” tanya Gus Mut lagi.

“Ya seharusnya dihitung pergi juga, Gus. Kan dari kota ke kota. Jauh lagi jaraknya,” kata Fanshuri.

“Kalau menurut Imam Ahmad bin Hambal malah nggak gitu. Pergi melakukan perjalanan itu beda dengan kerjaan. Jadi sopir bus kayak kakakmu itu bukan sedang melakukan perjalanan, tapi sedang melakukan pekerjaan. Makanya, dia nggak bisa serta-merta dihukumi musafir,” kata Gus Mut.

Fanshuri terdiam.

“Dan karena dia nggak termasuk musafir, berarti dia nggak bisa dapat keringanan nggak puasa ya? Wah, ruwet juga ya, padahal saya pikir bisa langsung nggak puasa Ramadan lho tadi awalnya,” kata Fanshuri.

“Tapi kan logika fikih itu tadi masuk akal sekali,” tanya Gus Mut.

“Iya sih, Gus, tapi masak nggak ada keringanan sama sekali. Padahal kerjaan jadi sopir itu cukup berat lho. Kalau memang dapat keringanan karena dirasa kerjaannya berat, gimana kalau nggak pakai status musafir?” kata Fanshuri.

“Lalu pakai status apa?” tanya Gus Mut.

“Ya pakai aja standar mubih al-tayammum alias standar mengalami kecapekan luar biasa karena pekerjaannya di siang hari waktu puasa Ramadan. Kan emang ada profesi-profesi yang dibolehkan untuk batal puasa karena beratnya pekerjaan di siang hari kayak petani atau kuli. Iya kan, Gus?” tanya Fanshuri.

Fanshuri hampir girang punya kesimpulan seperti itu sampai…

“Tapi…” kata Gus Mut membuyarkan kegirangan Fanshuri.

“Ta, tapi apa, Gus?” tanya Fanshuri.

“Pekerjaan sopir bus itu nggak sama dengan pekerja kasar lainnya. Seperti tani atau kuli bangunan, yang di bulan selain Ramadan bisa saja mengganti puasanya karena kerjaannya model musiman, sedangkan sopir bus kan kerjaan terus-terusan. Bukan yang bulan ini kamu nyopir, bulan depan nggak nyopir. Kan nggak gitu,” kata Gus Mut.

“Artinya apa dong itu, Gus?”

“Ya artinya, mau nggak puasa karena merasa kerjaan berat, padahal memang kerjaannya konsisten seperti itu sepanjang tahun. Mau ganti di bulan lain atau nggak, ya sama-sama berat kalau kakakmu sedari awal sudah merasa berat,” kata Gus Mut.

“Berarti mending puasa Ramadan sekalian aja kalau qodho’ di bulan lain juga sama beratnya,” kata Fanshuri.

“Ya iya, Fan. Lagian kakakmu jadi sopir bus kan udah bertahun-tahun. Kalau masih magang merasa berat itu mah wajar, lah kalau udah pengalaman lama masak masih menganggap kerjaannya sendiri berat sih? Kayak sopir bus amatiran aja,” kata Gus Mut sambil terkekeh.

“Iya juga ya,” kata Fanshuri sambil garuk-garuk kepalanya yang nggak gatal.

 

*) Diolah dan disarikan dari penjelasan Gus Baha’.

BACA JUGA Sebagaimana Air Mani yang Suci Tapi Tak Bisa Dibilang Bersih, Kotor Juga Beda dengan Najis atau kisah Gus Mut & Fanshuri lainnya.

Exit mobile version