Amar Makruf Gus Mut dan Dakwah Sandal Jepit Kiai Kholil

Gus-Mut-dan-Sandal-Jepit-MOJOK.CO

MOJOK.CO – Dakwah itu tidak perlu berat-berat, tidak perlu pakai teriak-teriak di jalanan, cuma mintain orang jaga sandal jepit saja juga bisa.

Masjid di kampung Gus Mut geger karena belakangan ini sandal-sandal jamaah sering hilang. Tidak seperti biasanya, ketika sandal hilang cuma satu atau dua cuma karena tertukar dengan jamaah lain, dalam dua minggu ini beberapa sandal jamaah benar-benar hilang tak berbekas. Semua kejadiannya sama, yakni setelah salat Jumat ketika masjid sedang penuh-penuhnya.

Sudah dua kali kejadian sandal hilang ini, dan sebagai salah satu pengurus masjid, Gus Mut merasa perlu untuk membereskannya.

Jelas sudah ada orang yang benar-benar niat untuk mencuri sandal jamaah di masjid. Selain sandal, beberapa sepatu bermerek jamaah ikut-ikutan dicuri. Merasa ada yang tidak beres, Gus Mut pun bertanya kepada beberapa orang.

“Kok bisa ya, sandal hilang di masjid berturut-turut begini?” tanya Gus Mut kepada Fanshuri, salah satu jamaah.

“Iya ini Gus, saya juga tidak tahu. Padahal biasanya aman-aman saja,” kata Fanshuri.

“Kamu tahu, siapa kira-kira orang yang ngambilin sandal para jamaah? Ini sudah yang kedua. Pasti orang sekitaran ini, hampir mustahil orang asing. Tidak bisa dibiarkan ini, Fan,” kata Gus Mut.

“Mungkin Gus Mut perlu tanya ke Bang Is. Preman pasar kampung,” usul Fanshuri.

“Wah, jangan. Nanti saya dikira nuduh macam-macam. Lagipula saya tidak punya bukti,” elak Gus Mut.

“Bukan begitu, Gus. Kita tanya saja baik-baik. Sebagai preman pasar, barangkali Bang Is tahu siapa anak kampung sini yang suka mencuri. Siapa tahu Bang Is bisa kasih petunjuk,” kata Fanshuri.

Gus Mut pun sepakat dengan pendapat Fanshuri. Untuk menangkap serigala, tidak ada salahnya meminta tolong kepada singa.

Setelah salat asar, Gus Mut menghampiri rumah Bang Is. Preman pasar yang dikenal garang dan punya reputasi mentereng sebagai residivis. Meski dikenal kasar, Bang Is termasuk sosok yang menghormati tokoh-tokoh kiai di sekitaran kampung. Ayah Gus Mut yang merupakan sesepuh kampung, yakni Kiai Kholil, adalah salah satu sosok yang dihormati Bang Is.

Alasan Bang Is menghormati Kiai Kholil juga tidak serta-merta karena Kiai Khollil seorang kiai yang ahli dalam ilmu agama. Melainkan karena Kiai Kholil juga seorang jawara di kampung. Ahli silat yang diakui kehebatan bertarungnya saat muda dulu. Bang Is beberapa kali kalah telak melawan ilmu silat Kiai Kholil. Oleh karena itu, meski sekarang Kiai Kholil sudah sepuh dan tak lagi menggunakan ilmu silatnya, sebagai sesama pendekar, Bang Is tetap hormat.

Begitu keduanya bertemu dan berbasa-basi sebentar Gus Mut pun menanyakan perihal yang menjadi tujuannya berkunjung ke rumah Bang Is.

“Jadi, Bang Is tahu nggak kira-kira siapa yang suka mencuri sandal jamaah di masjid?”

Air muka Bang Is yang sejak awal pertemuan menyambut dengan tangan terbuka kedatangan Gus Mut tiba-tiba berubah.

“Maksudnya apa nih, Mut? Kok tiba-tiba situ tanya aneh-aneh begitu? Situ nuduh ya?” Bang Is terlihat tersinggung.

Gus Mut pun buru-buru minta maaf, “Bukan begitu Bang Is, maksud saya itu cuma nanya. Siapa tahu sebagai yang mbahurekso daerah sini, Bang Is tahu dan bisa menunjukkan ke saya siapa yang kira-kira sering nyuri.”

Dijelaskan seperti itu kemarahan Bang Is bukannya mereda, malah menjadi-jadi. “Kalaupun aku tahu, ya aku nggak akan kasih tahu ke kamu, Mut. Enak saja. Jangan terus apa-apa hal buruk di daerah sini jadi otomatis melibatkan aku,” kata Bang Is.

Benar Bang Is menghormati Kiai Kholil, tapi kepada anaknya, hormat itu masih ada hanya saja cuma sedikit saja. Lagian, sehormat-hormatnya Bang Is kepada Kiai Kholil, ia tidak bisa terima jika Gus Mut menuduh bahwa kehilangan sandal di masjid ada andil juga dari dirinya.

Gus Mut pun memilih undur diri tanpa mendapatkan pencerahan apapun. Merasa gagal, Gus Mut pun tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menyempatkan mampir ke rumah ayahnya, Kiai Kholil. Diceritakanlah perihal masalah pencurian sandal di masjid sampai kunjungannya ke rumah Bang Is.

“Oh, begitu rupanya,” komentar Kiai Kholil singkat.

“Kalau begitu, biar urusan sama Is jadi urusan Abah saja,” kata Kiai Kholil.

“Oh, jadi Abah juga curiga kalau Bang Is juga terlibat?” tanya Gus Mut.

“Lho? Kenapa kamu bisa berkesimpulan seperti itu? Maksud Abah, biar Abah ke sana dulu mencairkan suasana. Kamu juga salah, datang ke rumah orang malah nuduh macam-macam,” kata Kiai Kholil.

“Aku nggak nuduh, Bah. Aku cuma nanya kok,” bela Gus Mut.

“Ya nanya begitu nggak ada bedanya sama nuduh,” terang Abah, “Sudah, biar besok Abah ke sana menjelaskan duduk perkaranya.”

Keesokan harinya, Kiai Kholil benar-benar mengunjungi rumah Bang Is. Kehadiran Kiai Kholil tentu sempat bikin kalut Bang Is. “Kurang aja benar si Mut itu, beraninya bilang ke abahnya. Brengsek betul,” maki Bang Is dalam hati.

“Assalamualaikum, Is. Wah, sudah lama tak ketemu. Sehat Is?” tanya Kiai Kholil basa-basi.

“Waalaikumsalam Kiai Kholil. Maaf, kalau Kiai Kholil datang ke sini karena saya marah-marah sama si Mut. Ya saya nggak terima aja dituduh macam-macam,” bela Bang Is tiba-tiba.

Kiai Kholil cuma terkekeh. “Oh, soal si Mut itu. Hahaha, dia memang anak kurang ajar. Nggak tahu sopan santun. Makanya saya datang ke sini mau meminta maaf atas kelakuan anak saya kemarin itu,” tanya Kiai Kholil.

Bang Is yang mendengarnya tentu saja heran. Kenapa ini Kiai Kholil tiba-tiba datang ke rumahnya untuk meminta maaf?

“Tapi sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini bukan cuma untuk minta maaf, Is,” kata Kiai Kholil.

“Oh, Kiai Kholil juga curiga kalau saya termasuk dari sindikat yang suka nyuri sandal di masjid?” selidik Bang Is.

“Lho bukan. Wah, kamu kok kayak Mut jadinya kalau suka nuduh-nuduh sembarang begitu,” kata Kiai Kholil.

“Habis saya masih sakit hati sama omongan si Mut kemarin,” balas Bang Is.

“Maksud kedatangan saya adalah meminta tolong ke kamu untuk jagain pelataran depan masjid tempat sandal-sandal biasanya ditinggal para jamaah. Sebagai sosok yang ditakuti dan punya pengaruh besar di kampung, sudah pasti tidak akan ada orang yang berani kalau Is yang turun gunung langsung untuk jaga. Sebenarnya sih, saya bisa saja minta tolong orang lain, tapi saya pikir tidak ada yang sekuat kamu pengaruhnya di kampung sini.”

Mendengar kata-kata “yang ditakuti” dan “punya pengaruh besar di kampung” membuat dada Bang Is jadi sedikit membusung. Ada rasa bangga muncul tiba-tiba, lebih-lebih yang bilang barusan adalah Kiai Kholil, sesepuh kampung si jawara silat.

“Oh, tidak masalah Kiai. Kalau soal itu, saya siap. Biar saya rontokkan gigi si pencuri yang sudah bikin saya dituduh macam-macam,” jawab Bang Is.

“Baiklah kalau begitu. Tapi tidak perlu tiap hari juga. Lagi pula kamu pasti juga punya kesibukan lain. Saya minta tolong untuk setiap salat Jumat saja. Ketika jamaah lagi penuh-penuhnya dan sandal lagi banyak-banyaknya. Nanti kalau kamu ingin dapat tambahan, kamu bisa tarik uang parkir dari jamaah. Seribu dua ribu kan lumayan. Nanti biar saya yang bilang sama pengurus masjidnya.”

“Siap, Kiai Kholil, tidak masalah,” jawab Bang Is tambah senang. Sudah dipercaya, dapat uang tambahan pula dari parkir. Lumayan.

Kiai Kholil tahu betul, sebagai preman pasar yang garang, Bang Is mana sudi ikut salat di masjid. Bang Is sendiri memang Islam, tapi Islamnya cuma di mulut. Jadi tidak meminta Bang Is salat sudah termasuk penghargaan tersendiri untuk orang seperti Bang Is. Lagian Kiai Kholil menyediakan “pekerjaan” baru yang cukup mengutungkan.

Pada akhirnya, penjagaan Bang Is dimulai. Setiap salat Jumat Bang Is selalu datang paling awal. Nongkrong di seberang masjid sambil memberi aba-aba untuk motor-motor jamaah yang datang. Awalnya, banyak jamaah yang menggerutu karena parkir sekarang dipasang tarif. Tapi setelah dari mulut ke mulut dijelaskan perihal seringnya sandal di masjid hilang, para jamaah akhirnya memaklumi.

Penjagaan pun berlangsung sampai salat Jumat keempat. Lama kelamaan Bang Is merasa ada yang aneh. Memang betul sudah tidak ada lagi kasus kehilangan sandal seperti sebelum-sebelumnya. Tapi sebagai sosok yang berpengaruh dan ditakuti, menjaga sandal seperti ini adalah pekerjaan yang harusnya tidak cocok untuk orang dengan posisi seperti dirinya.

Bang Is pun menghadap ke Kiai Kholil. “Kiai, masa saya yang kepala preman begini harus jagain sandal para tukang becak, tukang bangunan, tukang jaga loper koran begini? Enak betul mereka dijagain sandalnya sama orang kayak saya? Justru harusnya orang-orang kayak begitu yang jaga sandal saya dong. Enak betul mereka,” kata Bang Is protes.

“Jadi maksudnya gimana nih, Is. Kamu ingin sandalmu ikut dijaga juga? Lha kalau sandalmu pengen dijaga, ya kamu kudu salat di dalam. Lha gimana jagain sandalmu kalau kamunya masih pakai sandal?” tanya Kiai Kholil.

“Oh, tidak masalah. Saya ikut salat Jumat nggak apa-apa,” jawab Bang Is.

“Waduh jangan ikut salat Jumat, Is, jangan.”

“Lho kok begitu, Kiai? Kan bagus tho saya ikut salat juga? Memang kenapa orang kayak saya nggak boleh ikut salat?” tanya Bang Is.

“Kalau kamu ikut salat, yang jagain sandal siapa nanti?” tanya Kiai Kholil.

“Oh betul juga,” kata Bang Is. Sejenak Bang Is berpikir. “Oh, tidak masalah Kiai. Saya kan punya banyak anak buah. Biar mereka saja nanti yang jaga. Biar sandal saya dijaga mereka. Saya salat di dalam. Gimana cocok kan?” kata Bang Is.

“Duh, walaupun sebenarnya saya tidak setuju sepenuhnya karena anak buahmu tidak sekuat kamu pengaruhnya, tapi kalau kamu maunya begitu. Ya saya bisa apa?” kata Kiai Kholil pura-pura.

Jumat depan, gantian anak buah Bang Is yang menjaga sandal depan masjid. Bang Is senang bukan kepalang, sandalnya ikut dijaga. Sandal jepit buntut miliknya dijaga. Rasanya benar-benar jadi orang penting. Tapi tidak sampai dua kali salat Jumat, pada minggu kedua, anak buah Bang Is gantian yang protes.

“Bang, masa aku cuma disuruh jaga sandal. Preman begini masa jagain sandal tukang becak sama tukang asongan begini. Mana sudi aku. Harusnya sandalku yang dijaga,” protes anak buah Bang Is.

“Ya kalau kamu nggak terima. Kamu cari orang lain dulu buat gantiin posisimu,” kata Bang Is.

Hal ini terus terjadi sampai beberapa waktu. Sampai akhirnya Bang Is dan semua anak buahnya—termasuk yang suka nyuri sandal di masjid—jadi ikut-ikutan salat Jumat. Alhasil, pencurian sandal di masjid pun jadi hilang sampai ke akar-akarnya. Hanya karena sebuah alasan sepele, masing-masing preman nggak sudi jagain sandal orang lain dan lebih pengen sandalnya yang dijaga.

 

*) Diinspirasi dari kisah Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Situbondo.

 

Exit mobile version