MOJOK.CO – Sudah jadi rahasia umum kalau meminta Kiai Kholil ngisi pengajian itu sulit sekali, bahkan undangan pengajian dari bupati sekalipun.
“Apa Gus Mut tidak bisa membujuk abah, Gus?” kata si ajudan setelah menyerahkan surat undangan resmi.
Gus Mut membaca surat itu. Sesekali menggelengkan kepala.
“Mas, sampeyan kan tahu, abah saya itu agak susah kalau soal ngisi pengajian-pengajian begini,” kata Gus Mut.
“Ta, tapi ini langsung dari Pak Bupati lho, Gus. Pak Bupati maunya Kiai Kholil yang ngisi. Kalau bukan Kiai Kholil nggak mau,” kata si ajudan.
“Tapi jadwalnya udah ditentukan begitu di surat undangannya, ya nggak bisa kalau abah begitu,” kata Gus Mut.
“Ya kan emang jadwalnya begitu. Karena jadwalnya udah dari pusat, Gus. Apa tidak ada caranya biar Kiai Kholil mau mengiyakan undangan ngisi pengajian dari Pak Bupati ini, Gus?” tanya si ajudan.
“Sulit, Mas,” kata Gus Mut.
“Memangnya pada tanggal segitu abah sampeyan, Kiai Kholil, ada acara ya, Gus?” tanya si ajudan.
“Ya ada,” kata Gus Mut.
“Acara apa ya, Gus, kalau boleh tahu?” tanya si ajudan.
“Ya rutinan ngajar ngaji di santri-santri sini,” kata Gus Mut.
Si ajudan terlihat menghela nafas lega.
“Oh, saya kira acara penting apa. Kalau cuma acara ngajar ngaji begitu kan bukannya bisa ditunda dulu, Gus? Lagian santri-santri ini juga pasti seneng bisa kosong sekali-kali. Toh, kosong ngajinya Kiai Kholil juga karena alasan diundang Pak Bupati kok, pasti semua orang juga ngerti kok, Gus,” kata si ajudan.
Gus Mut sedikit terkekeh mendengarnya.
“Masalahnya, Mas, bagi abah itu, ngajar ngaji itu udah kewajiban. Sedangkan menerima undangan ngisi pengajian begini kan bukan kewajiban, Mas. Ya kecuali kalau sudah diiyakan,” kata Gus Mut.
“Tapi kan ini cuma ngaji biasa, Gus. Rutinan begitu. Bisa ditunda dulu lah sebentar, diganti minggu depan. Sedangkan acara dari Pak Bupati ini kan nggak mesti setiap tahun ada, Gus. Kiai Kholil itu juga udah dianggap tokoh sama Pak Bupati, jadi dirasa penting kehadirannya,” kata si ajudan.
“Kalau mau saya bantu bujuk ke abah, mending sampeyan yang menyesuaikan jadwalnya,” kata Gus Mut.
“Ma, maksudnya, Gus?” tanya si ajudan.
“Ya jadwal acaranya. Disesuaikan dengan waktu kosong Kiai Kholil nggak ngajar ngaji. Lah ini tanggal dan waktunya pas bener sama jadwal ngajarnya abah soalnya. Jelas nggak mungkin bisa datang, Mas,” kata Gus Mut.
“Wah, ini sudah dipatok dari pusat, Gus. Tanggal sekian. Mau nggak mau, sebisa mungkin Kiai Kholil mau mengisi,” kata si ajudan.
Gus Mut lagi-lagi terkekeh mendengar kegigihan si ajudan.
“Nah, yang begini-begini ini lho, Mas, yang malah bikin abah jadi makin sulit buat mau ngisi pengajian,” kata Gus Mut.
“Lah emang gimana, Gus?” tanya si ajudan.
“Soalnya, abah itu sering mendapati yang begini. Kadang-kadang pihak yang mengundang itu memetingkan acaranya sendiri. Ya itu wajar, acara di kabupaten misalnya, bagi Pak Bupati itu penting. Tapi bagi abah, jadwal ngajar ngaji ke santri-santrinya itu juga nggak kalah penting. Sama pentingnya,” kata Gus Mut.
Si ajudan tetap berusaha membujuk.
“Bukan begitu, Gus. Tapi kan ini dari Pak Bupati, Gus. Sedangkan Kiai Kholil kan cuma meninggalkan santrinya sendiri. Bukan masalah besar lah. Lah kalau sampai nggak mau datang ke acaranya Pak Bupati, wah ya Pak Bupati bisa kecewa,” kata si ajudan.
Kali ini Gus Mut tersenyum, hampir tertawa.
“Mas, begini lho. Sampeyan itu kan tahu, santri-santri di sini itu datang jauh-jauh dari rumahnya masing-masing. Niat mondok di sini. Niat ngaji sama abah di sini. Sudah niat mengabdikan hidupnya untuk mencari ilmu dari abah Kiai Kholil di sini bertahun-tahun. Sekarang, kalau dengan segala niat baik itu, abah harus meninggalkan mereka demi sebuah undangan dari seseorang yang kebetulan punya jabatan. Dan di saat yang sama, santri-santri itu punya hak diajar ngaji lho, Mas. Apa ya itu nggak melanggar hak orang lain namanya?” kata Gus Mut.
Si ajudan langsung kecut, tapi tetap tidak menyerah.
“Kecuali…” kata Gus Mut tiba-tiba.
Si ajudan melihat ada secercah jawaban.
“…kalau Pak Bupati mau ke sini, mau belajar ngaji ke sini. Insya Allah abah akan dengan senang hati mengajar beliau. Cuma ya tetep, jadwalnya harus bareng dengan jadwal santri-santri yang lain juga. Soalnya bagi abah, santri itu sama berharganya seperti seorang bupati,” kata Gus Mut.
Kali ini muka si ajudan pun langsung tersenyum kecut, karena tahu betul syarat itu tampak sangat mustahil.
*) Diolah dari penjelasan Gus Baha’ enggan mengisi pengajian umum.
BACA JUGA kisah GUS MUT lainnya.