MOJOK.CO – Padahal kan segala ketentuan sudah ada qada dan qadarnya, lalu kenapa manusia masih dimintai pertanggungjawaban di akhirat?
Fanshuri dan Gus Mut masih asyik main catur di teras rumah Gus Mut, tiba-tiba Fanshuri bertanya.
“Gus, sampean pernah penasaran sama ini nggak?” seloroh Fanshuri tiba-tiba usai menjalankan bidak caturnya.
“Penasaran apa?” tanya Gus Mut.
“Kalau memang qada dan qadar itu ada, kenapa manusia-manusia kayak kita masih dimintai pertanggungjawaban di akhirat ya?” tanya Fanshuri.
Gus Mut terkekeh.
“Keliru dong pertanyaannya,” kata Gus Mut.
“Kok keliru?” tanya Fanshuri lagi.
“Bukan ‘kalau memang ada’, tapi qada dan qadar itu memang ada,” kata Gus Mut.
Fanshuri giliran terkekeh.
“Ya itu maksud saya. Kan qada dan qadar itu adalah ketentuan Allah. Qada sesuatu yang belum terjadi, dan qadar yang udah kejadian. Kalau memang semua itu sudah ditentukan Allah, kenapa manusia dimintai pertanggungjawaban? Kan nggak fair sekali dong, Gus?” tanya Fanshuri.
Gus Mut tersenyum.
“Dapat dari mana kamu pertanyaan begitu?” tanya Gus Mut.
“Ya penasaran aja,” kata Fanshuri.
“Penasaran atau karena kamu mau cari perlindungan kalau lagi berbuat maksiat hayooo?” tanya Gus Mut.
Fanshuri tertawa.
“Nggak ya, Gus,” kata Fanshuri.
“Haha, bercanda, Fan. Aku juga yakin pasti itu pertanyaan yang menghantui buat siapapun yang mengimani qada dan qadar,” kata Gus Mut.
“Berarti Gus Mut pernah dong punya pertanyaan serupa di kepala Gus Mut,” kata Fanshuri.
“Iya, dulu pernah nanya ke Abah, waktu aku masih kecil,” kata Gus Mut, yang merujuk ke Kiai Kholil, abahnya.
“Jawaban Abah soal qada dan qadar beginian apa dulu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Abah sih dulu malah cerita riwayat soal pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Adam,” kata Gus Mut.
“Heh? Emangnya pernah ketemu ya Nabi Musa sama Nabi Adam itu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Iya di alam spiritual, alam roh. Ada riwayatnya. Nabi Musa sempat menyalahkan Nabi Adam, kenapa makan buah khuldi. Kalau Nabi Adam tidak memakan buah itu, seharusnya kan manusia nggak perlu menderita di dunia. Kita udah di surga semua sekarang,” kata Gus Mut.
“Oh iya, ya, bener juga ya? Terus Nabi Adam jawab apa, Gus, waktu ditanya Nabi Musa begitu?” tanya Fanshuri.
“Nabi Adam berkata saat itu, bahwa dia memakan buah itu sudah ditulis dalam ketentuan 40 tahun sebelum kejadian. Artinya Allah sudah mengetahuinya jauh sebelum Nabi Adam melakukannya,” kata Gus Mut.
“Dan Allah itu sudah tahu ya?” tanya Fanshuri.
“Tentu saja, Tuhan kok,” kata Gus Mut.
“Lalu kenapa Allah tidak mencegahnya ya?” tanya Fanshuri.
Gus Mut lalu terkekeh.
“Kok malah ketawa sih, Gus? Saya tanya betulan ini,” kata Fanshuri.
“Soal kenapa Allah tidak mencegah itu bukan urusan kita. Itu hak prerogatif Allah, tapi jauh daripada itu sebenarnya pandangan kayak gitu menggambarkan betapa culas dan nggak fair-nya kita sebagai hamba-Nya lho, Fan,” kata Gus Mut.
“Lah kok malah gitu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya iya, mengimani qada dan qadar itu bukan untuk menghakimi ketentuan Allah, tapi untuk memahami keadaan sesama manusia. Iman terhadap keduanya itu penggunaannya bukan untuk meragukan atau mempertanyakan yang sudah terjadi, tapi bagaimana kita bereaksi,” kata Gus Mut.
“Ma-maksudnya gimana, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya karena yang tahu qada seorang hamba itu kan hanya Allah. Kok tiba-tiba jadi kita yang memutuskan mana yang qada dan mana yang qadar? Pertanyaan itu sama saja kamu lagi berandai-andai jadi Tuhan, Fan. Merasa otoritasmu sama dengan yang bikin semesta alam ini. Makanya ada dalil untuk tidak boleh mendiskusikan qada dan qadar,” kata Gus Mut.
“Hah, kok gitu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Karena diskusi soal qada dan qadar itu bisa meruntuhkan kepercayaan. Itu area Tuhan, bukan area manusia. Kalau manusia berdebat soal itu, yang ada ya debat kusir. Karena dua pihak yang memperdebatkan ini sama-sama nggak tahu dan sama-sama nggak paham ilmunya,” kata Gus Mut.
“Bu-bukan begitu maksud saya, Gus,” kata Fanshuri cengengesan.
“Gini, Fan. Qada dan qadar itu diimani dimaksudkan bukan untuk ke wilayah itu,” kata Gus Mut.
“Oh, lalu buat apa dong diimani kalau bukan buat itu, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya keduanya diimani itu supaya kita kalau habis bermaksiat tidak segera berputus asa akan ruang maaf Allah. Sama seperti kalau kita habis beribadah atau melakukan hal luar biasa di jalan agama, kita sadar kita ini bukan siapa-siapa. Mengimani qada dan qadar itu agar kita ingat bahwa yang kita lakukan itu tadi hanyalah ketentuan Allah,” kata Gus Mut.
Fanshuri berpikir sejenak.
“Artinya ada dua hal yang penting dari mengimani qada dan qadar, Fan. Kalau berdosa kita tidak merasa putus asa atas pintu tobat, kalau kita berbuat kebaikan kita tidak sombong. Karena gimana bisa sombong, kalau kebaikan yang kita lakukan ini adalah takdir dari Allah semata? Gimana bisa putus asa, kalau setelah kita berbuat keburukan pun, Allah sudah tahu, dan sudah pasti Allah mau menerima tobat kita kalau kita bersungguh-sungguh,” kata Gus Mut.
“Oh, iya juga ya?” tanya Fanshuri.
“Tapi, kita sebagai manusia, kadang memang pengen menang sendiri,” kata Gus Mut.
“Menang sendiri gimana, Gus, maksudnya?” tanya Fanshuri.
“Kalau berbuat maksiat, selalu berlindung di balik qada dan qadar. Tapi begitu melakukan hal berprestasi, kayak puasa bertahun-tahun, tahajud tiap malam, atau sedekah begitu besar… kita cenderung selalu merasa bahwa itu ibadah kita sendiri sampai lupa kalau kita melakukan itu juga karena qada dan qadar-nya memang begitu,” kata Gus Mut.
Fanshuri terdiam sejenak.
“Menarik juga ya. Oh, maksudnya begitu ternyata. Qada dan qadar dipercaya agar kita tak gampang berputus asa dan tidak sombong ketika sudah beribadah ya,” kata Fanshuri.
“Iya, persis seperti langkah kuda-ku ini yang bakal jadi skak mat buat kamu, Fan. Langkah yang tak boleh bikin aku sombong, karena kemenanganku ini pun ada qada dan qadar-nya,” kata Gus Mut sambil menjalankan bidak kuda caturnya.
“Eh?” Fanshuri malah baru sadar kalau mereka sedang main catur selama ini.
*) Diolah dari penjelasan Gus Baha’.
BACA JUGA Apakah Surga Hanya untuk Orang Islam Saja? dan kisah-kisah Gus Mut lainnya.