MOJOK.CO – Punya gelar bangsawan sebagai keturunan Keraton Yogyakarta itu biasa saja. Malah lebih enak jadi jelata Jogja saja.
“Enak kamu, punya darah biru, keturunan Keraton Yogyakarta,” ujar seorang kawan yang sedang tergila-gila dengan sejarah dan klenik Jawa. Begitu banyak orang yang pasti akan mengucapkan kalimat itu ketika saya cerita soal latar belakang keluarga. Seolah-olah punya status “darah biru” itu sebuah karunia besar di Jogja. Sementara itu, menjadi jadi rakyat jelata, tanpa garis keturunan bangsawan, begitu buruk.
Apa benar demikian? Apakah takdir darah biru begitu indah? Mari kita intip sudut pandang lain.
“Sebenarnya, saya ini pengin jadi wong biasa aja, Mas,” ujar seorang kawan ayah saya yang kebetulan juga masih punya darah Keraton Yogyakarta. Juga ujar beberapa orang lain yang merasa status ndoro dan kanjeng mereka malah jadi beban.
Jadi, siapa yang seharusnya iri? Tidak ada! Karena untuk apa merasa iri dengan status rakyat jelata Jogja atau menjadi bangsawan keturunan Keraton Yogyakarta.
Sebagai orang yang hidup di “dua dunia” ini, saya bisa menegaskan bahwa tidak ada yang bikin iri. Apalagi ketika alasan iri seperti yang saya tulis di bawah ini.
Iri dengan status keturunan Keraton Yogyakarta karena pengin sakti
Siapa yang memulai mitos ini? Bisa-bisanya jadi keturunan Keraton Yogyakarta berarti sakti mandraguna. Kalau memang benar, bakal ada ratusan ribu sampai jutaan orang yang bisa terbang.
Iya, jutaan. Beberapa raja punya banyak keturunan yang beranak pinak sampai sekarang. Sebut saja keturunan Sri Sultan HB II, yang tersebar di Indonesia bahkan Eropa.
Darah biru bukan berarti tanda seorang punya kemampuan spiritual mumpuni. Karena mau sebiru apapun darahmu, kalau tidak melakukan gladi spiritual, juga sama saja. Dan kalian yang rakyat jelata Jogja juga bisa sakti kalau mendalami spiritual.
Lagipula, apa kalian masih percaya tentang ilmu terbang dan menggandakan uang? Sadar!
Darah biru = Bisa masuk Keraton Yogyakarta sesuka hati
Beberapa tahun lalu, saat pandemi mereda, saya harus menemani beberapa teman yang penasaran dengan Keraton Yogyakarta. Mereka langsung kaget ketika saya membayar tiket masuk. Bukan karena harga yang tergolong murah, tapi karena saya harus membayar seperti mereka.
“Lho, kan ini rumah leluhurmu? Ngapain bayar, Mas?” Tanya salah satu teman dari Kalimantan. Sebenarnya saya ingin balas dengan “Ngapain bayar matamu suwek!” Tapi saya memaklumi pertanyaan itu.
Gini lho. Keraton Yogyakarta itu rumah Sri Sultan. Jadi, yang mengatur perkara izin masuk dan bayar tiket juga beliau. Bukan berarti semua keturunan sultan bisa masuk sesuka hati.
Lha wong adiknya saja angkat kaki karena isu suksesi. Apalagi saya yang sudah keturunan ke-8. Saya tetap seperti orang Jogja pada umumnya. Mungkin bedanya saya bisa pamer ada foto eyang di Museum Keraton Yogyakarta.
Rakyat Jogja Ingin punya privilese sebagai bangsawan
Sebenarnya privilese macam apa di fantasi kalian? Ada teman yang bilang keturunan raja itu harus disembah di mana saja. Ada yang bilang kalau trah keraton bisa kaya raya karena jadi pemilik Jogja. Bahkan ada teman yang bilang kalau saya berhak untuk tidak pakai helm karena polisi takut oleh kalangan darah biru.
Saya dan banyak keturunan sultan hidup sebagaimana rakyat jelata. Bedanya, kalau memasang gelar di depan nama, akan disembah dengan cara menyindir dan mengejek.
Hanya itu dan tidak ada privilese lainnya.
Apalagi kalau urusannya dengan kepentingan ekonomi dan politik. Toh buktinya kami bisa jatuh miskin, tertekan oleh kemiskinan struktural, bahkan digusur.
Sebenarnya FTV atau Drama Cina apa yang kalian tonton itu? Atau kalian pikir kami ini Tenryuubito?
Tapi, tidak hanya rakyat jelata saja yang iri pada keturunan raja. Para darah biru malah iri pada mereka yang merasa semenjana seperti rakyat Jogja pada umumnya.
Iya, karena menjadi keturunan raja dan bangsawan tidak mendapat privilese berarti selain dongeng feodal. Kami, keturunan Keraton Yogyakarta, malah mendapat beban hidup tambahan!
Jadi rakyat jelata bisa bertingkah sesuka hati
Bayangkan, kamu mengumpat kasar atau menggeber motor dengan knalpot brong. Lalu ada yang menghardikmu, tapi bukan karena itu tidak sopan atau tidak pantas. Tapi, “Kamu itu darah biru lho!”
Inilah beban yang jadi takdir para keturunan raja. Semua yang dilakukan harus sesuai dengan idealisme yang bahkan entah dari mana.
Kami tidak bisa bertingkah seenaknya tanpa disinggung perkara garis keturunan Keraton Yogyakarta. Padahal, kami sama saja seperti kalian semua. Saya tetaplah mas-mas gondes Jogja yang rindu menggeber knalpot sampai berasap.
Tidak dicari saat ada orang kesurupan atau untuk mengusir setan
Demi langit dan bumi, jauhkan kami dari klenik! Tidak semua keturunan Keraton Yogyakarta bisa menyembuhkan orang kesurupan!
Entah sudah berapa ratus kali orang meminta saya untuk menolong orang kesurupan atau mengusir setan di rumah teman. Kalaupun saya berhasil, itu karena doa berdasarkan agama. Bukan karena saya keturunan Sri Sultan.
Betapa enaknya jadi rakyat Jogja biasa. Kecuali pamerkan kemampuan spiritual, tidak akan jadi jujugan korban keisengan hantu. Sedangkan darah biru, selama ketahuan, langsung dianggap sebagai ghostbuster. Paling betul jadi orang biasa saja dan jauh-jauh dari fantasi darah biru adalah orang sakti berdasar genetis.
Status keturunan Keraton Yogyakarta bikin kami jadi juru bicara dadakan
“Menurut Mas, kenapa GKR Mangkubumi yang jadi putri mahkota?”
“Kenapa sih sekarang tidak ada sekaten?”
“Kira-kira kenapa Sri Sultan tidak mau pakai patwal?”
Dan banyak lagi pertanyaan yang hanya bisa saya jawab, “Lha mbuh!”
Pembaca harus paham. Tidak semua trah Keraton Yogyakarta punya akses ke perkara pemerintahan dan kebudayaan. Kecuali memang menjadi pejabat di kantor Tepas. Selain itu,m kami hanyalah orang biasa tanpa info A1. Tapi, kami dianggap punya semua informasi semata-mata karena gelar “Raden”.
Memang betul kalau lebih enak jadi rakyat Jogja biasa. Toh darah biru dan darah merah juga sama-sama hidup susah.
Sisipan gelar di depan nama tidak memberi arti tambahan selain keren-kerenan. Ketika berhadapan dengan realitas, darah biru dan darah merah sama-sama hidup sesak di kota yang istimewa ini.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Meski Terancam Diusir dari Sultan Ground, Saya (Terpaksa) Tetap Narimo Ing Pandum dan isu menarik lainnya di rubrik ESAI.
