MOJOK.CO – Operasi Tim Mawar dan Operasi G30S punya kesamaan yang sangat kentara. Keduanya adalah operasi yang gagal sejak pertama kali dibentuk.
Seminggu terakhir ini keberadaan Tim Mawar kembali jadi bahan perbincangan. Hal ini terkait dengan dua mantan anggotanya yang baru saja diangkat sebagai pejabat eselon satu di Kementerian Pertahanan.
Dari segi waktu momentum, mungkin ini soal takdir belaka, ketika perbincangan terjadi pada akhir September. Bulan yang memiliki makna khusus dalam masyarakat kita. September seolak identik dengan bulan “kiri”, bulan peringatan mengenang tragedi Peristiwa 1965.
Nah, secara kebetulan ada yang mirip antara operasi Tim Mawar dan operasi G30S. Hal yang mirip dari keduanya adalah operasi yang dirancang untuk gagal sejak mula.
Operasi G30S misalnya, dalam hari yang sama operasi sudah dapat digagalkan, dan para pelaku dilumpuhkan dalam hitungan hari. Sehingga operasi itu kemudian justru dimanfaatkan pihak lain, yang mungkin sebelumnya tidak masuk skenario gerakan, yakni Soeharto.
Demikian pula dengan operasi Tim Mawar.
Sebab, bagaimana mungkin sebuah operasi senyap yang telah menjadi kompetensi pasukan Baret Merah, bisa berujung tragis seperti ini? Terutama ketika mantan para pelakunya gagal berganti identitas dan tetap saja diingat publik? Senyap dari mananya itu?
Segala jabatan mentereng, dan sederet dukungan dari lembaga negara, belum bisa dijadikan shelter guna menetralisir jejak mereka pada masa lalu. Dan sudah menjadi “nasib” sebuah operasi yang gagal, ia tidak akan pernah dilupakan publik karena ada bagian yang dianggap belum selesai.
Sekarang coba bandingkan dengan operasi (militer) lain, seperti Operasi Trikora, Operasi Seroja, Operasi Flamboyan, dan seterusnya, yang sudah tinggal menjadi sejarah. Di sisi lain, proses sejarah bagi operasi Tim Mawar dan G30S, masih terus berjalan sampai sekarang. Terutama soal kontroversi-kontroversi di dalamnya.
Dalam pandangan saya pribadi (sebagai pecinta peristiwa bersejarah), dalam setiap peristiwa besar, selalu ada tokoh kunci di dalamnya. Dalam G30S, tokoh dimaksud, salah satunya kemungkinan adalah Syam (Kamaruzaman), yang mustahil untuk dihadirkan, karena sudah hilang jejaknya. Barangkali itu jadi sebab operasi G30S akan menjadi misteri untuk selamanya.
Sementara dalam operasi Tim Mawar kita masih bisa berharap pada beberapa tokoh, salah satu yang bisa disebut adalah Desmond Mahesa.
Posisi Desmond menjadi penting. Tentu hanya berdasar asumsi bahwa dia (sebenarnya) bukan tokoh utama dalam pergerakan mahasiswa dekade 1980-an sampai 1990-an. Anehnya, kenapa Desmond ikut diculik juga?
Tentu yang bisa menjawab hal tersebut adalah Desmond sendiri. Testimoni Desmond, ibarat keping dari puzzle operasi Tim Mawar.
Kita masih ada waktu untuk mengungkap kasus ini, karena baik pelaku dan korban, sebagian besar masih hidup. Tinggal kesediaan mereka saja, berkenan melakukan testimoni atau tidak.
Ini belum menghitung perjalanan politik Desmond yang paradoks. Mengingat dirinya lebih banyak ditopang dari pengalaman bersinggungan dengan Tim Mawar, yang biasa dikenal sebagai stockholm syndrome.
Bagi yang sedikit paham peta aktivis pergerakan tahun-tahun itu, tentu akan tahu, Desmond adalah figur yang biasa-biasa saja. Dari segi kekuatan figure, posisi Pius Lustrianang mungkin masih jauh lebih baik. Sebagaimana kita tahu, setelah melalui jalan berliku, akhirnya Pius berlabuh juga ke Partai Gerindra, sebuah partai yang memiliki ikatan historis paling kuat dengan Tim Mawar.
Pada periode yang sama, setidaknya ada dua nama yang cukup penting sebagai tokoh pergerakan, yaitu Amir Husin Daulay (meninggal Juli 2013) dan Agus Lenon (meninggal Januari 2020), yang memiliki jaringan luas, dan namanya dikenal para aktivis dari Sabang sampai Merauke.
Dibanding dua nama tersebut, nama Desmond terdengar biasa-biasa saja. Dengan kata lain, bila pada masa itu, adalah Bang Amir atau Mas Agus yang “diambil”, komunitas aktivis akan lebih mahfum adanya.
Kemudian pada pihak pelaku, baik pada operasi G30S maupun Tim Mawar, kenapa harus ada aksi menculik?
Mungkinkah dua peristiwa besar di masa sebelumnya, yakni Peristiwa Rengasdengklok (Agustus 1945) dan Peristiwa 3 Juli (1946), telah menjadi inspirasi, bahwa dalam perkara politik, tindakan penculikan menjadi lumrah?
Setidaknya kita hanya bisa percaya, bahwa baik Operasi G30S maupun Tim Mawar, sama-sama berdalih, tindakan mereka adalah untuk menyelamatkan pimpinan negara (baca: Presiden Republik Indonesia).
Tentu saja itu alasan yang sangat sumir. Dalam bahasa pergaulan anak muda sekarang, tindakan penculikan adalah kekonyolan tingkat dewa. Penculikan hanya dihalalkan dalam perkara asmara, ketika ada adik kelas di kampus yang membuat kita gelisah pada malam hari.
Itu pun yang diculik hatinya, bukan orangnya. Eh.
BACA JUGA Membaca Krismon dan Reformasi Era Soeharto dari Lagu Anak-Anak ’90-an dan tulisan Aris Santoso lainnya.