MOJOK.CO – Ibn ‘Arabi pindah ke Sevilla pada 568 H. Baru berusia 8 tahun dan menjadi saksi kehidupan Fathimah bin Ibn al-Mutsanna, sufi perempuan tersohor.
Sikap Muhyiddin Ibn ‘Arabi (1165-1240 Masehi) terhadap kaum perempuan sangat menarik untuk ditelusuri. Kenang-kenangannya mengenai para perempuan asketik besar dari Kordoba, yang pernah ditemuinya tatkala di masih muda, sangat jelas terlukiskan dalam ingatannya.
Salah seorang di antaranya adalah Nunah Fathimah binti Ibn al-Mutsanna, seorang perempuan yang hidup dalam kemiskinan amat-sangat. Ia telah menikah selama beberapa tahun sebelum suaminya meninggal dunia karena penyakit lepra.
“Ia menjadi penghibur hati bagi para penduduk bumi” adalah kata-kata yang terucap oleh Ibn ‘Arabi untuk melukiskan perempuan itu dan mencatatkan mukjizat-mukjizat yang garib.
Surah Al-Fatihah, surah pertama dalam Al-Quran, memenuhi seluruh keinginannya. Sedemikian rupa sehingga dia bahkan pernah mengembalikan seorang suami yang tidak setia kepada istrinya, yang mendatangi orang suci untuk memohon bantuan.
Meskipun miskin, Syaikhah Fathimah selalu dirasuki rasa gembira yang tak terganggu oleh apa pun. Kadang-kadang ia memainkan rebana dan dengan riangnya memuji-muji keagungan Allah Swt.:
Aku gembira karena Dia, yang telah berpaling kepadaku dan menyatakan diriku salah satu sahabat-Nya, yang memanfaatkan diriku untuk tujuan-Nya sendiri. Siapakah aku ini sehingga Dia memilihku di antara seluruh umat manusia? Dia cemburu kepadaku, dan jika aku melihat pada yang lain-lainnya, Dia meringankan penderitaan yang menderaku.
Seperti yang didedahkan oleh Annemarie Schimmel dalam My Soul Is a Women: The Feminine in Islam (1995: 85-85), penuturan yang diberikan oleh Ibn ‘Arabi tentang tokoh sufi perempuan memberikan keterangan bahwa pertemuannya di Sevilla dengan sang sufi ini terjadi pada waktu yang dini.
Diperkirakan, pertemuan itu terjadi tidak lama setelah Ibn ‘Arabi pindah dari Murcia ke Sevilla pada 568 H. Kala itu, bisa dipastikan, Ibn ‘Arabi masih seorang bocah yang baru berumur sekitar delapan tahun.
Meskipun Syaikhah Fathimah binti Ibn al-Mutsanna adalah seorang yang sudah sangat renta, tapi Ibn ‘Arabi tetap mempunyai kesan liyan. Baginya, perempuan sufi itu memesona dan daya tarik yang memancar secara luar biasa. Dalam banyak kesempatan dia sering bercerita perihal ini.
Ibn ‘Arabi berkata, “Sewaktu masih melayaninya, aku selalu malu untuk menatap parasnya. Karena meski sudah berusia senja, namun Syaikhah Fathimah mempunyai pipi yang masih merona dan meranum muda dalam pesona kecantikan. Seolah-olah beliau masih seorang perawan yang berumur 14 tahun. Hal ihwal itu tak lain disebabkan pesona kecantikan dan kelembutan yang memancar darinya.”
Tentunya, pesona kecantikan yang begitu luar biasa dirasakan oleh Ibn ‘Arabi bukanlah pesona yang memancar dari ketuaan. Dalam penuturannya, ibn ‘Arabi menyifati sosok gurunya itu sebagai tokoh sufi yang dikarunia cinta Ilahi. Juga makrifat ketuhanan. Ini mendedahkan segalanya.
Pesona yang memancar dahsyat tamsil matahari di waktu pagi itu adalah bagian dari pendaran anugerah ketuhanan nan agung. Ia adalah pendaran alami dari cahaya ketuhanan yang memancar dari setiap bagian dari jasadnya.
Dari penuturan Ibn ‘Arabi yang kukuh itu, tampak bahwa pesona kecantikan bisa dirasakan oleh siapa pun yang menatap Syaikhah Fathimah. Bahkan, sepertinya, sekadar berada di sekitarnya, siapa pun sudah sanggup merasakan getaran pesona itu. Termasuk Ibn ‘Arabi sendiri yang saat itu masih seorang bocah yang pada umumnya belum mengerti makna dari pesona perempuan.
Pendaran yang memancar dari relung cinta Ilahi dan makrifat ketuhanan mustahil menimbulkan hasrat-hasrat seksual. Sesuatu yang seringkali dikait-kelindan secara tak baik dengan pesona kecantikan yang dimiliki oleh seorang perempuan.
Artinya, kecantikan dan kemudian yang menghiasi pribadi sosok sufi Fathimah adalah daya pikat yang agung dan suci. Sesuci anugerah cinta Allah Swt. dan makrifat ketuhanan itu sendiri.
Mohammad Yunus Masrukhin dalam bukunya, Biografi Ibn ‘Arabi Perjalanan Spiritual Mencari Tuhan Bersama Para Sufi (2015: 69-87) dengan cerkas dan puitis meroka, bahwa Ibn ‘Arabi tidak hanya menganggap sang guru Fathimah sebagai guru yang harus dia hormati saja. Lebih dari itu, dia sangat menyayanginya.
Tentu saja hal itu diwujudkannya melalui cara yang dia tahu untuk menyayangi gurunya sebagai seorang bocah yang belum berumur. Dia, misalnya, menuturkan, “Aku membangunkan rumah yang terbuat dari pohon tebu setinggi jenjangnya untuk Syaikhah Fathimah. Ia sering menempatinya hingga akhir hayatnya.”
Apa yang disuguhkan oleh seorang murid sekecil Ibn ‘Arabi kepada gurunya dalam bentuk yang demikian itu bisa dijadikan sebagai tolok ukur betapa besarnya kasih sayang si murid kepada sang guru. Yakni, kasih sayang yang berbaur dengan penghormatan nan tinggi.
Ada yang lebih penting lagi. Kesempatan Ibn ‘Arabi untuk bertemu dan berguru dengan sang guru dalam usia yang masih dini memberikan kesempatan baginya untuk tumbuh dan berkembang dalam suasana kasih sayang. Suasana indah yang memancar dari cinta Ilahi dan makrifat ketuhanan. Kesempatan ini, tentunya, tak dapat dimiliki oleh sembarang bocah seusianya.
Kesempatan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kepribadian Ibn ‘Arabi di masa mendatang. Yakni, kesempatan mencermati dan menyaksikan teladan yang hidup dari kesetiaan seorang pencinta sejati kepada Kekasihnya, Allah Swt. Saking besarnya pengaruh kecenderungan ini dalam diri Ibn ‘Arabi, dia sanggup memendarkan pengaruh kepada kalangan para sufi lainnya.
Banyak sufi yang sebaya dengan Ibn ‘Arabi mendapatkan contoh yang baik darinya, tentang perenungan cinta Ilahi sebagai tingkatan kesufian. Perihal ini juga dirasakan oleh kaum sufi yang datang pasca generasinya.
Dia menjadi tumpuan bagi mereka terkait dengan penjabaran rahasia-rahasia cinta ketuhanan dalam tradisi kesufian. Ibn ‘Arabi tidak hanya diasuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan kesetiaan cinta Ilahi, tatkala dia berada dalam asuhan Ibunda Fathimah binti Ibn al-Mutsanna. Rupa-rupanya, dia juga disuguhi akhlak mulia dari kesetiaan cinta Ilahi yang memendar dari sosok gurunya.
Arkian, kesalehan dan teladan kemanusiaan yang ditunjukkan oleh pengalaman kaum sufi, dalam cerita Ibn ‘Arabi dan gurunya Syaikhah Fathimah, lebih mengakar kuat dalam masyarakat. Ia menciptakan semacam pesona keagamaan yang dapat dimengerti oleh manusia.
Kehadirannya sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Sehingga kesalehan dan kemanusiaan berkelindan erat dan harmonis tanpa ada rasa saling mengalahkan atau dikalahkan. Ia ialah kesalehan dan kemanusiaan dalam tradisi yang hidup.
Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.