Suatu saat, di sebuah pengajian bersama Cak Nun dan grup musik Kiai Kanjeng, Gus Mus ditanya oleh peserta: Bolehkah kita meminta rezeki kepada Allah?
Kiai dengan wajah yang senantiasa cerah dan teduh itu mengatakan boleh saja. Hanya, bagi orang sepertinya atau kiai lain, tidak pantas meminta seperti itu. Sebab itu pertanda bahwa mereka kurang percaya kalau Allah bakal menjamin dan senantiasa memberi rezeki terbaik bagi mereka.
Dialog sederhana seperti itu menunjukkan bahwa ada dua level pengertian yang hendak disasar. Pertama, level orang biasa atau awam. Dan kedua, memberi pengertian ada level yang lebih tinggi lagi, yang lebih ideal, tapi tidak dipaksakan.
Cara berkomunikasi seperti itu tentu berbeda dengan misalnya jika dijawab: “Tidak boleh, itu artinya kamu tidak percaya rezeki dari Allah!”
Kita kaum muslim di Indonesia, kebanyakan adalah orang awam. Tentu termasuk saya. Dari sekira 207 juta umat Islam di Indonesia, mungkin yang benar-benar belajar soal Islam tak sampai 10 persen. Dan dari angka tersebut, mungkin juga hanya sekian persen saja yang benar-benar alim. Dari sedikit yang alim itu, tidak semua tentu berpikiran seperti Gus Mus.
Orang seperti saya, selalu punya kecenderungan suka kepada ulama yang ‘membela’ orang awam. Sebab saya merasa bagian dari kaum ini. Sederet ulama bukan hanya membela tapi juga menggunakan bahasa dan cara berkomunikasi yang mudah dipahami awam. Selain Gus Mus tentu saja ada Cak Nun, almarhum Gus Dur, Buya Syafi’i Maarif, Bapak Quraish Shihab, Gus Baha’, Gus Muwafiq, dll.
Cak Nun punya pengertian yang mudah dipahami dalam proses seperti itu yakni dalam sebuah pengajian, hendaklah orang bisa pulang dalam keadaan pikiran yang lebih jernih dan hati yang lebih lapang. Jika ada pengajian yang ketika orang pulang justru menjadi pemarah dan sempit hatinya, berarti pengajiannya merupakan bagian dari persoalan itu sendiri.
Bahkan sosok seperti Gus Baha’, kegiatan harian yang sepintas terasa sepele seperti ngopi dan tidur, jika diniati sebagai usaha untuk tidak melakukan kegiatan negatif, itu juga baik. Sebab ibadah bukan hanya persoalan melakukan ritual belaka, melainkan juga mencegah diri dari hal yang tidak baik. Ngopi lebih baik daripada pergi ke tempat maksiat. Tidur lebih baik daripada melakukan kegiatan negatif.
Gus Baha’ pula yang memberi landasan pemikiran menarik soal orang awam. Beliau sadar di Indonesia ini mayoritas muslim adalah awam. Tapi mayoritas itu pula yang ikut menjamin kegiatan ibadah berlangsung dengan aman dan nyaman. Bayangkan jika orang awam itu antipati terhadap Islam. Maka berbagai kegiatan ibadah tidak bisa dijamin berlangsung dengan aman. Sebab seawam apa pun orang muslim, mereka tetap menghormati ulama dan tidak bakal mengganggu kegiatan ibadah.
Kita semua bisa membayangkan kalau seandainya Indonesia tidak ada sederet ulama yang membela orang awam dengan gaya masing-masing seperti di atas. Maka bisa dipastikan agama menjadi sesuatu yang serba saklek dan kaku. Keras dan panas. Padahal di dalam agama ada seperangkat nilai yang diusung. Ada misi kebaikan dan kedamaian. Ada kelenturan untuk mengerti dan memahami. Dan ada nalar yang bekerja.
Pada akhirnya, kita orang awam juga bisa memasuki pintu agama dari segala penjuru, dari level mana pun. Tanpa merasa risih dan malu-malu.
Sebab Tuhan kita adalah Tuhan maha segalanya. Tuhan segala hal. Termasuk Tuhan bagi orang awam. Tuhan bagi orang biasa yang secara kuantitatif adalah mayoritas penghuni negeri ini.