MOJOK.CO – Aksi 22 Mei 2019 yang sedang berlangsung sesungguhnya adalah wujud api yang dinyalakan oleh elite politik.
Untuk sebuah proses “pertikaian” yang berumur 5 tahun, dengan jumlah pendukung kubu yang kalah pilpres berjumlah puluhan juta orang, maka apa yang terjadi di Jakarta, aksi 22 Mei 2019, tidak mencerminkan ekspresi mayoritas di kotak suara mereka sendiri.
Tapi kalau tidak terjadi apa-apa justru anomali. Perlu letupan kecil, atau semacam lubang kecil untuk mengeluarkan nanah dan mata bisul sosial.
Terhentinya aksi massa pun bukan berarti akan berakhirnya pertikaian. Mustahil berhenti sama sekali dan seketika. Kalau di medsos, sih, sudah pasti. Akan terjadi “skirmish” dengan peleton-peleton kecil. Ini, kalau di tahun ’98, mirip posko rakyat PDIP, walaupun tak semasif itu.
Menurut saya, satuan-satuan kecil itu mengincar simbol-simbol dan figur publik yang dianggap musuh mereka. Para jubir lembaga survei, pengamat politik, dan mereka yang acap tampil di televisi dan medsos, yang dianggap di kubu tertentu, akan menjadi bagian dari target penyerangan.
Elite politik tidak bisa lagi menjadi jaminan. Apa yang telah mereka nyalakan dalam aksi 22 Mei ini tidak bisa mereka padamkan dengan mudah. Dengan demikian, perlu inisiatif dari bawah yang lunak, lama, dan persuasif.
Tentu saja, campur tangan politik dari pihak pemenang akan dominan sebab mereka mengendalikan power. Semoga saja, kita tidak keliru mengambil tindakan politik, jangan sampai seperti yang dulu-dulu: yang penting dilawan. Strategi pro-kontra, tolak-dukung, tidak akan berhasil, bahkan akan memperuncing dan memperparah keadaan. Semua orang sedang butuh dipangku. Diayomi. Diapresiasi. Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.
Sebaiknya, hilangkan saja itu jargon-jargon: kita bangsa damai, NKRI harga mati, kalah terhormat, dan lain-lain. Kita tidak sedang perlu jargon. Unggun itu menyala bukan semata ada api yang memercik, tapi ada kayu kering yang ikut ditumpuk oleh banyak pihak.
Dan ketika Anda ikut menumpuknya, Anda telah kehilangan legitimasi untuk memadamkannya. Memang begitu hukum sosialnya.
Kita semua, orang-orang biasa inilah yang akan mencoba memadamkan api yang dinyalakan oleh ulah elite politik dan para pendukung mereka, tepat ketika mereka sendiri justru mulai khawatir terbakar bersama.
Terbakar api yang mereka nyalakan sendiri. Dalam aksi 22 Mei yang kini tengah berlangsung.