Gus, sebetulnya saya sudah lama menahan diri untuk tidak menulis. Kamu tahu, kondisi di negeri kita sedang pada masa mendekati coblosan nasional.
Saya sadar, salah satu yang paling susah saya rem adalah menyatakan sikap kritis. Tapi sikap kritis di saat yang tidak tepat, bisa menjadi tidak baik.
Jadi hasrat menulis saya pendam. Atau saya salurkan lewat tulisan-tulisan pendek dengan tema lain yang sebetulnya ingin saya tulis.
Pagi ini, saya melihatmu menyatakan sesuatu di Twitter dan Facebook.
Intinya, kamu dan pacarmu merisaukan harga sewa gedung manten dan biaya katering pernikahan yang mahal. Pada titik inilah, saya merasa punya saluran yang tepat untuk menulis. Supaya hasrat menulis politik bisa teredam.
Begini Gus, maaf sebelumnya ya, jika di beberapa hal dalam tulisan ini, saya seperti merasa menuturimu. Anggap saja ini hal yang lumrah. Sebab kamu belum pernah menikah sedangkan saya sudah.
Gus, Gus, masukan pertama dari saya sederhana. Saya sudah berkenalan dengan banyak teman yang menikah. Puluhan. Bahkan mungkin lebih dari seratus.
Sejak saya kenal problem orang menikah, ya sudah ada keluhan soal mahalnya katering dan ongkos sewa gedung untuk resepsi manten. Ini bukan problem di zamanmu saja. Ini kayak Raja Singa, Gus. Penyakit itu sudah ada sejak dulu. Sampai sekarang masih ada, dan yang mengkhawatirkan juga dari segmen orang yang sama.
Balik ke soal yang kamu galaukan itu ya, Gus.
Masukan saya sederhana. Kenapa harus menyewa gedung manten? Kenapa tidak menyewa terop saja? Kenapa harus kateringan? Kenapa tidak gotong-royong ala orang kampung? Pernikahan adalah agenda Tuhan. Resepsi adalah agenda manusia.
Sejak dulu, kualitas gedung manten dan katering tidak ada hubungannya dengan kualitas cinta dan kebaikan berumah tangga. Jangan sampai, agenda Tuhan diinterupsi oleh agenda manusia. Resepsi mengalahkan pentingnya akad.
Tapi kalau kamu bersikeras menggelar resepsi di gedung manten, tentu itu hakmu. Sewa katering juga itu hakmu. Kalau bisa sih sewa yang ada kambing gulingnya, Gus. Karena kan kamu tahu, kami, teman-temanmu ini, begitu suka dengan daging kambing.
Agus Mulyadi yang baik hati…
Saya juga mau mengingatkan. Secetek pengalaman saya menyaksikan curhatan dan hajatan pernikahan teman-teman dan dari pengalaman sendiri, pegang prinsip ini: berapa pun uang yang kamu punya sepertinya tak akan cukup, tapi ternyata cukup.
Nanti akan tiba fase di mana Tuhan memberikan kemudahan. Kalau sudah dilaksanakan. Kalau cuma muter-muter cari gedung manten, sementara lamaran saja tak kunjung kamu lakukan, itu gojek kere namanya, Gus.
Katering dan gedung manten itu baru 60 persen dari perintilan orang menikah. Percayalah.
Masih banyak yang bakal menguras dana. Tapi jangan khawatir, saya belum menemukan kasus ada teman yang gagal menikah karena tidak kuat membayar gedung manten. Semua akan dimudahkan. Amin.
Hanya saja, Gus…
Ada banyak orang yang kadang berpikir begini: Sayang banget uang 200 juta dihabiskan untuk menikah, kan lebih baik untuk DP rumah? Atau: Sayang banget uang 100 juta untuk menikah, kan sebetulnya bisa untuk DP mobil yang cukup mewah?
Pernyataan-pernyataan seperti itu menurut saya keliru fatal. Pertama, kan menikah sebetulnya memang hanya butuh sejuta rupiah saja. Jadi mahal kan karena tuntutan keluarga dan gengsi orang semata.
Kedua, masa uang diperbandingkan dengan pernikahan? Menurut saya itu tidak tepat.
Ketiga, kenapa cara berpikirnya tidak dibalik saja? Kita punya uang sebesar itu, memang diberi Tuhan untuk menikah. Seandainya tidak untuk menikah, tidak ada uang itu di rekening kita.
Gus, ini agak serius. Banyak teman saya, yang hanya karena merasa belum cukup punya uang lalu tidak menikah.
Ketika punya 100 juta merasa belum cukup. Ketika tabungannya 200 juta juga merasa tak cukup. Begitu seterusnya.
Lalu ada dua kejadian biasanya: uangnya tiba-tiba ilang begitu saja, entah kena kasus apa gitu, atau ya nggak menikah seterusnya. Jadi problemnya bukan uang. Tapi karena ketakutan kehilangan uang, dan rasa cemas yang berlebihan.
Gus, Gus, saya pernah mengalami seperti yang kamu alami. Hingga suatu pagi, sehabis salat Subuh, iseng saya menonton televisi. Tentu saja acara pengajian. Ustad di televisi saat itu berkata kurang-lebih begini:
“Wahai saudaraku yang mau menikah tapi masih bimbang karena merasa belum cukup punya dana, percayalah, kalau kamu teruskan dan biarkan rasa tidak cukup itu menghantui perasaanmu, percayalah bahwa hal seperti itu akan terus ada, dan kalian tak akan segera kunjung menikah.”
Menurut saya, ini soal keberanian mengambil keputusan. Dan hal utama yang dilakukan seorang pria, bukan mencari gedung manten dulu. Tapi melamar dulu. Itu setahu saya.
Oh ya, omong-omong, kasihan pengurus gedung manten dan mereka yang bisnis katering. Sering sekali dijadikan alasan mundur atau tidak jadinya pernikahan.
Dan jangan sampai, mahalnya sewa gedung dan ongkos katering, membuatmu menyalahkan Presiden Jokowi. Karena setahu saya, beliau belum pernah mengeluarkan “Kartu Resepsi” buat pasangan muda agar resepsi pernikahan mereka bisa jauh lebih murah tapi tetap meriah.
Gitu ya, Gus…