Kematian hanya bisa direnungkan oleh mereka yang masih hidup. Demikian juga tentang meninggalnya Cak Rusdi Mathari belum lama ini.
Sebentar lagi usia saya 41 tahun. Sudah cukup panjang jalan hidup saya. Selama itu pula saya telah menyaksikan cukup banyak kematian, terutama yang melewati fase sakit panjang. Dari sekian banyak yang saya saksikan, hanya sedikit yang beruntung. Termasuk Cak Rusdi.
Kita semua bisa mengalami apa yang dialami Almarhum dengan berbagai variasi: sakit yang berbeda atau hal lain, misalnya trauma, depresi, dipecat, masuk tahanan entah karena apa, dan seterusnya.
Kalau kita mengalami itu, kehilangan seluruh kapasitas survival kita tersebut, pertanyaannya: daya dukung apa yang kita miliki? Dan seberapa panjang? Merenungkan hal ini mirip dengan ketika kita belajar ilmu sosial tentang masyarakat atau komunitas yang mengalami “syok” dan “krisis”.
Lumrahnya, yang pertama-tama akan mendukung kita adalah keluarga. Tapi, berapa lama dan seberapa kuat keluarga mampu menyangga kita? Istri atau suami kita, bapak atau ibu kita, juga anak kita, mereka semua butuh meneruskan hidup. Mereka bukan hanya butuh membiayai kita saat sakit, tapi juga membiayai diri mereka sendiri. Tetangga kita juga demikian. Teman-teman kita juga demikian.
Padahal sakit di Indonesia bukan perkara sederhana (termasuk apabila kita kehilangan pekerjaan, mengalami depresi, atau trauma). Tentu saja saya bersyukur karena pelayanan pemerintah kepada orang sakit saat ini jauh lebih baik. Tapi, kita tidak sedang membicarakan hal itu saja.
Ada satu titian di hidup kita, yang hanya dengan satu kedipan, kita yang semula menjadi tulang punggung kehidupan tiba-tiba berubah menjadi “beban”. Sakit, kena gempa, kecelakaan kendaraan, bahkan terpeleset kulit pisang pun dalam kondisi tertentu bisa langsung membuat kita lumpuh dan tak berdaya.
Cak Rusdi saya kira beruntung. Dia sempat berbulan-bulan dirawat di rumah sakit. Berbulan-bulan dirawat di rumah. Dan saya menyaksikan sendiri uluran tangan banyak pihak kepadanya. Termasuk yang luar biasa adalah mereka yang mendampingi proses itu. Untuk memudahkan, saya akan menyebutnya daya dukung sosial.
Pertanyaannya sederhana, dengan tidak bermaksud mensyukuri sakitnya, kenapa Cak Rusdi bisa cukup beruntung seperti itu? Apa yang dia lakukan dalam hidup sehingga daya dukung sosialnya sangat lentur dan liat? Setahun lebih dia sakit. Itu bukan waktu yang pendek.
Pertanyaan selanjutnya, orang-orang seperti apa yang mendapat daya dukung sosial selentur dan seliat Cak Rusdi? Mereka terkoneksi dengan cara apa? Apa cara pikir mereka atas hubungan antar-manusia?
Dan yang terakhir, apakah jika kita mengalami seperti Cak Rusdi (dengan segala variannya), kita cukup beruntung seperti Almarhum? Kalau tidak, apa yang perlu kita persiapkan? Apakah bisa dipersiapkan?
Saya tidak berhak menilai apakah Cak Rusdi orang yang baik kepada banyak orang. Bagi saya pribadi, Almarhum adalah orang baik. Tapi, saya menyaksikan sendiri betapa banyak orang yang mengulurkan tangan buat dia. Bahkan dari orang-orang yang pernah berseteru dengannya. Artinya, orang-orang yang berseberangan pemikiran dengan Almarhum pun, mereka menaruh hormat kepada Cak Rusdi.
Bagaimana seandainya kita yang mengalami hal itu? Cukupkah daya dukung sosial kita?
Alfatihah buat Almarhum dan mari kita berdoa buat diri kita semua supaya senantiasa sehat, rukun, dan saling memuliakan satu sama lain….