Setelah Pandemi Ini, Masihkah Kita Merusak Alam Lagi?

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COSudah beberapa hari ini kita dibombardir dengan apa yang disebut Kenormalan Baru (New Normal), tapi jika kita teliti lebih lanjut, semua hanya berupa petunjuk teknis.

Ketika pandemi corona sedang melanda negeri ini, ada satu pernyataan menarik dan sangat penting dari ketua Tim Dewan Pakar Gugus Tugas Covid-19 Wiku Adisasmito. Ia menyatakan selama ini kita hanya berusaha menangani dan mengatasi akibat dari pandemi ini, tapi tanpa berusaha mengenali apa dan kenapa ada pandemi ini.

Pak Wiku menyatakan hal yang menurut saya sangat substantif. Dan hampir semua ahli di seluruh dunia sepakat bahwa pandemi corona ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan alam. Kalau mau diteruskan, penjelasannya sama dengan penjelasan Pak Wiku bahwa kita sudah terlalu jauh melakukan eksploitasi alam sehingga akibat salah satunya adalah munculnya pandemi corona ini.

Tapi diskursus tentang sebab dari pandemi ini sepertinya tidak diberi porsi yang cukup, bahkan ketika era normal baru sebagaimana yang digembar-gemborkan banyak pihak, mulai merebak.

Kita memang terbiasa tidak belajar tentang “sebab-akibat”. Kita tidak bisa membedakan antara “lapar” dan “makan”. Lapar itu sebab, makan itu akibat. Sekian cara kita coba kerahkan untuk menanggulangi corona, tentu saja itu tidak salah, tapi sebagaimana yang dinyatakan oleh Pak Wiku, kita justru lupa mengenali corona itu apa dan kenapa bisa terjadi.

Sementara, alam juga memberi sasmita bahwa dirinya cepat pulih. Alam begitu baik kepada kita. Bayangkan, lapisan ozon yang terbuka karena berbagai perilaku manusia, tiba-tiba hanya dalam waktu dua bulan, mulai menutup kembali. Betapa cepatnya alam memaafkan kita.

Masalahnya adalah apakah apa yang dinyatakan oleh Pak Wiku, termasuk disepakati oleh para sarjana dunia, menjadikan kita punya protokol dan cara pandang yang baru dalam berinteraksi dengan alam di mana kita tinggali ini? Jangan-jangan, apa yang kita lakukan kemudian malah makin rakus dan destruktif terhadap lingkungan. Jangan-jangan ini hanya diam sementara para manusia yang rakus dan pongah. Apakah semua itu sudah dipikirkan pemerintah? Apakah pemerintah akan segera mengatur dengan ketat setiap industri ekstraktif yang cenderung eksploitatif terhadap lingkungan, atau justru malah mendukungnya untuk mengejar pertumbuhan palsu ekonomi yang ternyata destruktif itu?

Sudah beberapa hari ini kita dibombardir dengan apa yang disebut Kenormalan Baru (New Normal), tapi jika kita teliti lebih lanjut, semua hanya berupa petunjuk teknis bagaimana melaksanakan normal baru itu, tanpa perubahan dan cara pandang baru. Kita diminta menjaga jarak, memakai masker, rajin mencuci tangan, dan sejenisnya. Namun, kita tidak diminta untuk merefleksikan dengan cara pandang baru bahwa jika kita serakah dan gegabah terhadap alam, alam akan memberi kita hukuman. Dan bisa jadi, hukuman ke depan, lebih keras dari corona. Lebih mematikan. Lebih membuat kita menderita baik secara fisik maupun psikis.

Apakah normal baru diiringi oleh kesadaran baru? Dan apakah kesadaran baru diikuti dengan tata aturan baru? Kenapa pemerintah tidak segera membuat semacam renungan nasional yang mengakui bahwa kita bangsa Indonesia, selama ini ikut serta bersama bangsa-bangsa lain, mengeksploitasi alam secara berlebihan, dan karena pandemi corona ini maka kita sebagai sebuah bangsa menyepakati akan menjadi salah satu pelopor untuk usaha bersama agar perusakan alam segera dihentikan. Setelah itu diikuti dengan sekian aturan baru yang lebih ketat, yang terutama berurusan dengan tambang, pertanian homogen skala luas, pemakaian bahan bakar fosil yang masif, dll.

Jangan-jangan tidak ada pelajaran yang bersifat lebih etis dan paradigmatik soal pandemi corona ini. Sehingga diamnya kita, lesunya kita, puyengnya kita, itu hanyalah jeda sementara, yang kelak akan membuat kerusakan yang lebih besar di bumi ini.

Kemudian ketika kita kelak akan mengalami semacam pandemi corona yang lebih mematikan, kita kembali menangis melolong, menyesal, dan terlihat begitu bodoh. Namun sayang, ketika hal itu terjadi lagi, kita semua sudah telat. Lalu alam akan meninggalkan kita dengan mengumpat: dasar manusia tak tahu diuntung!

BACA JUGA Penanganan Corona Masih Terlalu Maskulin dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version