Hari-hari ini, politik masih menjadi ‘perbincangan langit’: soal koalisi partai, otak-atik capres-cawapres, manuver elit, dll. Belum menjadi ‘obrolan bumi’, yakni politik yang kelak akan menggerakkan rakyat biasa untuk memilih siapa pasangan capres-cawapres yang mereka percaya.
Di kalangan petinggi media juga para lembaga survei, jamak diketahui bahwa salah satu hal yang paling susah dipindai adalah perilaku praktek politik orang biasa. Pada Pilgub DKI tahun lalu, angkanya cukup tinggi dan sangat menentukan kemenangan Anies-Sandi, yakni 17-18 persen. Angka inilah yang dulu mampu digerakkan oleh tim Anies-Sandi untuk mendudukkan pasangan itu sebagai pemenang.
Pada Pilpres kali ini, angka itu melebar karena cakupan wilayah dan kulturnya pun melebar, yakni 25-28 persen. Sungguh angka yang sangat fantastis. Kira-kira itulah yang membuat kenapa para konsultan politik dan lembaga survei lebih berhati-hati lagi dalam bekerja. Apalagi dengan pengalaman Pilkada Jawa Tengah dan Jawa Barat, yang hanya dalam hitungan hari memunculkan lompatan persentase suara pada Sudirman-Ida (Jateng) dan (Sudrajat-Saikhu) yang tinggi sekali, melampaui survei-survei yang pernah ada.
Dalam bahasa politik populer, ada sesuatu yang sedang berdenyut dan bergerak tapi sulit dipindai dan dipotret dengan baik. Dan acap kali perilaku politik mereka membuat kejutan politik karena persentasenya sangat tinggi.
Dalam politik di Indonesia, apa yang ada di langit elit, memang tidak mudah untuk dibawa turun ke bumi jelata alias orang-orang biasa. Hal yang kadang diberi predikat: awam. Mudahnya, kita comot contoh dari ruang literasi media.
Misal, banyak pengamat media di Indonesia yang memandang sinetron sebagai tontonan yang tidak mendidik dan cenderung menghina akal sehat manusia. Kadang dianggap sebagai media pembodohan. Tapi apa yang terjadi pada masyarakat penonton sinetron yang jumlah mereka puluhan juta itu? Sinetron hanyalah tontonan biasa. Hiburan. Tidak lebih. Mereka tahu sinetron tidak membuat mereka lebih pintar, tapi juga tidak membuat mereka lebih bodoh. Jadi, apa yang ada dalam kepala intelektual, tidak mesti sejalan dengan apa yang ada di benak masyarakat. Ini bukan salah atau benar. Para ahli, secara konseptual benar. Sedangkan apa yang dirasakan masyarakat, secara faktual ada.
Demikian juga dalam ranah politik. Ada banyak hal yang mau digeser dan dipelintir, tidak akan mempan. Misal: bagaimana rezim Jokowi bisa mengontrol harga saat Lebaran lalu.
Para ibu di seluruh Indonesia, mau dibilang Jokowi ini atau itu, tidak penting buat mereka. Pengalaman politik (baca: ekonomi) mereka menyatakan bahwa mungkin dalam sepanjang sejarah lebaran di tanah air ini, rezim Jokowi-lah yang yang berhasil mengontrol harga dengan sangat baik di tahun ini. Anda mau tanya ibu-ibu di tingkat ranting dari PKS, Gerindra, atau Demokrat, mereka akan bicara sama.
Hal serupa terjadi pula dalam pengalaman mudik: pembangunan infrastruktur dan tidak macet. Orang mau membelokkan apapun, tapi secara faktual pengalaman tidak macet saat mudik dialami oleh puluhan juta orang. Termasuk infrastruktur. Mau uangnya dari utang atau apapun, mereka tidak peduli. Mereka hanya peduli pengalaman empirik bahwa jalan-jalan bagus, bandara banyak, stasiun makin bersih, pelayanan pelabuhan membaik. Titik. Tidak ada perdebatan. Yang ada perdebatan soal ini hanya di tingkat elit.
Itu dari sisi positif Pemerintahan Jokowi. Ada sisi negatif yang juga bisa mengancam Jokowi untuk terpilih lagi dari sisi pengalaman politik rakyat biasa. Apa itu?
Kesehatan. Jelas isu ini sangat berpengaruh besar atas penilaian rakyat pada rezim Jokowi. Orang yang lapar dan orang yang sakit, punya pengalaman empirik yang tidak bisa disulap sekejap mata. Pelayanan BPJS yang menurun kualitasnya atau hilangnya obat tertentu, misal obat untuk penderita kanker, bisa membuat rakyat biasa mengambil tindakan politik tanpa dipengaruhi faktor apapun. Mereka tidak butuh penjelasan. Pelayanan menurun, obat itu tak masuk daftar. Lenyap. Selesai.
BBM. Ini hal yang sama. Perdebatan soal pentingnya subsidi atau tidak, pasar BBM yang sehat atau tidak, itu bukan perdebatan bagi awam. Yang mereka saksikan adalah premium habis. Titik. Siapa pun tidak bisa menukar pengalaman ini dengan apapun. Habis ya habis. Faktanya begitu.
Pajak. Ini juga kerap membuat resah. Perilaku para pegawai pajak yang getol memburu wajib pajak. Ini bukan soal benar atau tidak. Ini soal apa yang dirasakan para wajib pajak. Jika wajib pajak di Indonesia yang diburu, direpoti atau dipersulit oleh pegawai pajak jumlahnya 1 juta saja, sedangkan rata-rata mereka punya pegawai 5-20, kalau kita ambil angka moderat: 10, maka ada 10 juta pemilih yang akan memilih berdasarkan keputusan atas pengalaman mereka saat diburu pajak. Ini bukan angka yang sedikit. Apalagi pengambilan asumsinya sangat moderat.
Tapi yang menguntungkan bagi Jokowi adalah rival politiknya tidak cepat mengeksploitasi isu itu sebagai senjata politik. Para rival Jokowi masih dengan bahasa level atas: anggaran bocor, BUMN banyak yang hampir bangkrut, cadangan devisa menipis, dll. Mungkin itu benar. Tapi itu bukan tusukan ke jantung persoalan yang sedang dialami oleh rakyat biasa.
Itu artinya, Pemerintahan Jokowi masih bisa memperbaiki layanan dan persoalan yang menjadi pengalaman langsung rakyat biasa itu. Sebelum kelak bikin repot.