Tentu sudah banyak yang tahu, barusan Mojok punya sedikit masalah dengan sebuah blog yang mengopi dan menayangkan hampir semua tulisan Mojok, sesaat setelah artikel tersebut diunggah.
Saya sebut sebagai ‘sedikit masalah’ karena orang yang bersangkutan sedang akan menyelesaikan masalah itu kepada Mojok. Tapi yang menarik bukan itu.
Di kolom komentar Facebook tempat saya mengunggah protes, ada beberapa orang yang sengaja membela aksi itu. Alasannya ada dua. Pertama, seakan mencomot itu tidak salah karena tidak tahu dasar hukumnya. Bagi saya, orang-orang semacam ini hanya perlu diberitahu bahwa perbuatan itu tidak etis tapi juga memang ada aturan pidananya.
Tapi yang aneh yang kedua, merasa bahwa itu tindakan halal untuk mendapatkan uang. Dan mereka mengaku para bloger. Astaghfirullah…
Saya seorang penulis. Hampir sebagian teman saya bloger. Agus Mulyadi juga seorang bloger. Dan waktu kasus ini saya angkat, banyak bloger yang mengontak saya untuk terus memperkarakan dan memberi pelajaran kepada publik dalam kasus itu. Sebab kata mereka, ada orang-orang yang merusak nama baik para bloger.
Para bloger ini penulis. Mereka menulis apa saja di blog mereka. Sungguh itu profesi yang terhormat.
Tapi profesi itu dirusak oleh orang-orang yang seolah-olah bloger. Kenapa dibilang seolah-olah? Karena pada dasarnya mereka bukan penulis. Mereka hanya semacam orang nista yang mengambil tulisan di berbagai media, termasuk diambil dari para bloger. Itu semua semata dilakukan untuk mendapatkan uang. Mereka pencuri. Bukan bloger. Bukan penulis.
Kita semua sebagai insan kreatif, tentulah berhak marah dan kecewa atas hal itu. Terlebih para bloger. Sudah ‘gerombolan’ tersebut merusak nama baik bloger, mereka juga mencuri karya-karya para bloger.
Dalam soal ini, saya kira kita punya problem serius dalam persoalan etis. Para elit politik makin banyak yang merasa tidak malu melakukan korupsi. Ketahuan korupsi masih cengangas-cengenges. Sementara itu, di sisi berbeda, ada sekelompok masyarakat di dunia maya yang bangga hidup dari mencuri karya orang. Dan kebanggaan itu diumbar begitu saja.
Pagi ini, saya mengantar anak saya wisuda. Baru TK sih… Dan saya merenung. Bagaimana mungkin ada orang atau orangtua yang bangga sebagai kriminal. Apakah mereka tidak berpikir bahwa uang itu dimakan keluarga mereka (jika mereka berkeluarga), atau setidaknya dimakan menjadi darah dan daging.
Apakah mereka tidak perlu lagi punya kehormatan? Apakah mereka tidak malu kepada bapak-ibu mereka, anak-anak mereka. Apalagi jejak digital itu nyaris susah hilang.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bisa mereka tak malu kalau kelak anak-anak mereka tahu bahwa bapak atau orangtua mereka maling.
Dan maling yang bangga. Melakukan perbuatan nista dengan bangga. Makan uang haram dengan bangga.
Naudzubillah…