Kenapa Langkah Gibran Dianggap Bermasalah?

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COMestinya tidak ada yang aneh jika seorang bapak ingin anaknya sesukses dirinya. Jadi, kenapa masuknya Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution ke politik bikin orang tidak suka?

Gibran positif maju sebagai calon wali kota Surakarta. Hampir semua partai mendukungnya, selain PKS. Sejengkal lagi putra sulung Presiden Jokowi ini bakal menjadi wali kota Solo karena besar kemungkinan dia hanya akan berhadapan dengan kotak kosong. Akhirnya, Gibran mengikuti jejak sang Bapak. Memulai karier politik di Surakarta, menjabat sebagai wali kota.

Bayangkan jika Anda seorang Bapak. Pada posisi tertentu di hidup Anda, maka yang Anda harapkan, walaupun dengan diam-diam, adalah anak Anda bakal punya posisi yang lebih baik dari diri Anda. Tapi bagaimana jika Anda menjadi orang tertinggi di satu bidang? Mungkin harapan Anda sedikit digeser, setidaknya mencapai apa yang telah Anda capai. Dari logika sederhana seperti itu saja, kita bisa mengerti kenapa seorang pengusaha sukses menginginkan anaknya menjadi pengusaha yang tak kalah sukses; seorang profesor ingin anaknya menjadi profesor juga; seorang pengacara kondang ingin anaknya menjadi pengacara tak kalah kondang; dan mungkin berawal dari logika ini pula, timbul istilah dinasti politik.

Dinasti politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara bertebaran model seperti ini, bahkan di negara yang konon dianggap sebagai moyangnya demokrasi: Amerika Serikat. Di Indonesia, kita juga mengenal dinasti Sukarno, yang sekarang ini sudah sampai pada generasi ketiga: Puan Maharani. Soeharto juga sebetulnya menginginkan jejak yang sama, kita pasti ingat betul bagaimana Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dipersiapkan Soeharto untuk menjadi politikus, termasuk sang menantu saat itu, yaitu Prabowo Subianto. SBY pada akhirnya juga memberikan tampuk kepemimpinan Partai Demokrat kepada Agus Harimurti Yudhoyono, setelah sebelumnya sang adik, Ibas Yudhoyono, berkecimpung dulu dalam dunia politik mendahului sang kakak. Kita juga tahu bahwa Almarhum Gus Dur punya anak yang sebetulnya berbakat dan digadang-gadang dapat meneruskan jejak langkah sang bapak dalam bidang politik, yakni Yenny Wahid.

Maka sebetulnya, tidak ada yang aneh sejauh ini kenapa Jokowi misalnya, menginginkan anak dan menantunya menjadi politikus. Lalu di mana letak kejanggalan, ketika Gibran Rakabuming (32 tahun) dan Bobby Nasution (29 tahun) mesti mengikuti jejak politik Presiden Jokowi? Kenapa publik mesti ramai memperbincangkannya? Kenapa ini sampai menambah daftar kekecewaan publik kepada Presiden Jokowi?

Hemat saya, itu dimulai dari hal sederhana. Terpilihnya Presiden Jokowi punya semacam modal emosional bahwa dia bagian dari rakyat jelata, orang biasa saja sebagaimana 98 persen orang di seluruh Indonesia. Sentimen memilih pimpinan yang bukan dari kalangan elite politik ini mampu diartikulasikan dalam berbagai citra yang kelak dilengketkan pada Presiden Jokowi: bajunya, sepatunya, roman mukanya, caranya berbicara, hobinya, dll. Jadilah dia presiden pilihan rakyat, dalam satu babak politik yang monumental di tahun 2014. Tahun 2019, tentu sebetulnya situasi emosi kolektif sudah berbeda. Presiden Jokowi terpilih lagi karena murni kemenangan elektoral, bukan kemenangan psikologis. Calon hanya ada dua. Musuhnya masih sama. Dan dia petahana, Itu yang menyebabkan tidak ada gairah luar biasa dari masyarakat dalam mengelu-elukan kemenangan kedua tersebut.

Dalam kurun kemenangan Presiden Jokowi yang pertama itulah, mau tidak mau sosok Gibran muncul. Orangnya terkesan cuek dengan politik dan berkali-kali menyatakan ke publik bahwa dia tidak mau terjun ke dunia politik. Pada titik inilah, deposito politik Presiden Jokowi bertambah, sebab dia tidak sedang mempersiapkan seorang putra mahkota. Jokowi menjadi pembeda dibanding presiden-presiden pendahulunya. Dia bukan dari kalangan darah biru elite politik dan tidak mau membuat dinasti politik.

Maka, jika ada suara kekecewaan dari arus bawah mengenai majunya Gibran sebagai calon wali kota Solo, jejak kekecewaan itu sebetulnya bisa ditarik dari sana. Jadi, ini problemnya bukan salah atau benar, melainkan kenapa bisa terjadi majunya Gibran dianggap sebagai masalah bagi sebagian publik. Sebab antara harapan dengan kenyataan, tidak jumbuh. Pada akhirnya, alat operasi emosi yang bisa diberikan untuk menerima kenyataan itu adalah pemakluman. Terlebih, dalam proses menjadi calon wali kota, ada proses yang berbau drama. Misalnya dengan tersingkirnya calon wali kota pilihan DPC PDIP Surakarta, Achmad Purnomo. Dan Achmad Purnomo pada pernyataannya termutakhir, saat dia dipanggil oleh Presiden Jokowi, menyatakan ke publik bahwa bagaimanapun Gibran anak presiden.

Tentu setiap generasi kedua selalu mendapatkan “rival” sejati dari generasi pertama. Mau tidak mau Megawati selalu dibandingkan dengan Sukarno. AHY selalu dibandingkan dengan SBY. Gibran, pastilah kelak akan dibandingkan dengan Jokowi. Publik bisa saja membayangkan kelak Gibran setelah menjadi wali kota Solo akan menjadi gubernur DKI atau gubernur Jawa Tengah, lalu menjadi wakil presiden, lalu menjadi presiden. Bayangan apa pun bisa dilekatkan kepada Gibran.

Namun, persoalannya bukan di sana. Persoalan terbesar Gibran adalah bagaimana kelak anak muda yang dianggap belum punya pengalaman politik dan pemerintahan ini bakal sanggup memimpin Kota Surakarta. Untuk tahu kesanggupan dan kemampuan Gibran memimpin, tentu saja butuh waktu. Yang jelas tidak butuh waktu adalah maju dan direkomendasikannya Gibran sebagai calon wali kota Surakarta karena dia adalah anak dari seorang presiden. Itu jelas sekali. Sejelas kenapa AHY dulu bisa mendapat tiket bertarung di pilkada DKI, tentu karena dia anak SBY. 

Lalu apa pelajaran penting bagi publik? Manusia berubah, kekuasaan itu menggiurkan. Sayangnya, setiap kali kita mau memilih apa pun, dua hal itu selalu kita lupakan. Memang sih, manusia itu tempat salah dan lupa. Dan yang paling sering kita lupakan adalah seolah setiap perubahan penting bakal terjadi hanya karena ada pilihan presiden sampai wali kota. Bukan perubahan karena ikhtiar bersama dalam menggeser relasi dan bobot kuasa.

BACA JUGA Pendamping Potensial Gibran sebagai Bakal Calon Wali Kota Solo dan esai PUTHUT EA lainnya.

Exit mobile version