Beberapa hari lalu, saat menengok seorang sahabat yang baru saja dikaruniai anak, saya ditanya oleh seorang kawan yang kebetulan berada di sana: Kenapa sebagian besar buzzer Jokowi merapat ke Ganjar? Dia bertanya sambil menunjukkan data lalu lintas percakapan di media sosial.
Sebetulnya pertanyaan itu tidak terlalu sulit untuk dijawab. Di antara sekian banyak nama yang masuk dalam bursa survei calon presiden, sosok yang paling mendekati Jokowi adalah Ganjar Pranowo. Ganjar dianggap sangat njawani seperti Jokowi, dan dianggap representasi figur nasionalis. Apalagi keduanya berasal dari partai yang sama. Belum lagi dari sisi karier politik, keduanya pernah menjadi kepala daerah.
Tentu ada banyak perbedaan di antara kedua tokoh tersebut. Hanya saja, dibanding tokoh-tokoh lain yang berada dalam pemindaian capres, Ganjar dianggap yang paling dekat.
Pertanyaannya, kenapa dukungan buzzer tidak kepada Puan Maharani, sebagai salah satu tokoh yang mungkin jelas-jelas sedang dipersiapkan untuk berkontestasi dalam pilpres kelak.
Sebelum menjawab hal tersebut, kita masuki dulu tahap secara awal analisis ini. Para buzzer Jokowi punya sejarah panjang pertikaian dengan elite politik di Indonesia. Maka secara “natural” mereka mau tidak mau harus mencari figur baru untuk suaka politik. Harus ada capres kuat yang berpotensi menang, yang harus mereka dukung sehingga kehidupan ekonomi dan kartu politik mereka tetap hidup. Selain, tentu saja, untuk mengantisipasi supaya tidak ada ajang balas dendam dari rival politik Jokowi ketika sudah tidak berkuasa lagi.
Perasaan dan perilaku semacam itu wajar sekali. Para buzzer sudah menggadaikan banyak hal, mempertaruhkan sekian hal, yang memang berisiko tinggi untuk dilakukan aksi balas dendam. Tentu balas dendam di sini, tidak semata bisa diartikan secara fisik. Saat Jokowi berkuasa, mereka tidak bisa disentuh. Tapi, kekuasaan politik tidak pernah langgeng. Ada pasang, ada surut. Ketika kekuasaan tidak dalam genggaman, ketika kekuatan sedang surut, apa pun bisa menimpa para buzzer ini.
Sialnya, hampir semua tokoh politik penting yang masuk ke dalam bursa capres potensial, pernah mereka musuhi dengan keras. Sebut saja: Prabowo Subianto, Anies Baswedan, AHY. Belum lagi misalnya dari kekuatan besar yang seperti tengah menepi sejenak seperti para mantan anggota FPI di bawah kendali HRS.
Dengan peta seperti itu, kira-kira hanya tersisa 3 figur kuat yang bisa mereka gadang-gadang untuk menjadi presiden sekaligus penyelamat kehidupan mereka. Tiga nama itu adalah Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Puan Maharani. Ridwan Kamil, dalam berbagai survei, jarang masuk 3 besar. Dan nasib politiknya belum menentu. Terlebih, Ridwan masih punya potensi untuk jadi Gubernur Jabar yang kedua kali jika kelak tidak bisa berkontestasi dalam pencapresan. Ridwan jelas tidak bisa mereka andalkan.
Para buzzer ini juga tidak bisa dengan mudah masuk dalam lingkar pendukung Puan. Puan sebagaimana kita tahu, adalah sosok yang dibesarkan oleh dinamika partai politik, yang dalam hal ini tentu saja adalah PDIP. Puan percaya betul dengan kekuatan partai yang sangat teruji. Dia tidak mungkin mudah mempercayakan secuil pun perhatiannya kepada kekuatan nonpartai. Belum lagi, Puan “dijaga” betul oleh barisan para kader PDIP dari anasir-anasir seperti buzzer. Dengan begitu, jika kelak Puan berkuasa, belum tentu dia mau memberikan suaka politik bagi para buzzer.
Ganjar memiliki segala hal yang tidak dimiliki oleh kedua tokoh tersebut, dari sisi kepentingan buzzer. Ganjar punya elektabilitas yang bagus dibanding Ridwan Kamil, dan Ganjar relatif terbuka terhadap kekuatan relawan termasuk relawan berkategori yang bekerja di ranah media sosial sebagaimana yang disuntuki oleh para buzzer. Apalagi, Ganjar dianggap punya kepekaan dalam menggunakan media sosial, plus dia sedang dalam proses tarik-ulur yang lama untuk bisa mencalonkan diri sebagai capres. Dengan bertaruh lebih lama, artinya investasi politik para buzzer akan bisa dianggap relevan dan penting. Para buzzer juga merasa cukup punya waktu untuk ikut memoles Ganjar sehingga jika kartu terburuk yang jatuh di meja perjudian, mereka berharap Ganjar meninggalkan PDIP dan berlabuh di partai lain.
Dari situ, segalanya gamblang. Para buzzer tidak punya pilihan lain selain memilih Ganjar untuk menyelamatkan nasib mereka kelak.
Pertanyaannya adalah apakah merapatnya para buzzer politik ke Ganjar akan menguntungkan pergerakan Gubernur Jateng tersebut?
Jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Menguntungkan tentu saja, kalau dilihat dari kerja media sosial. Para buzzer ini punya kekuatan yang besar, terlatih, dan teruji dalam membela Jokowi selama hampir dua periode. Didukung oleh pasukan dengan pengalaman panjang dan teruji seperti itu, tentu saja baik buat Ganjar, ia bisa dibikin makin kinclong. Popularitasnya bisa naik makin cepat, dan dengan demikian elektabilitasnya diharap juga ikut naik.
Tapi, Ganjar bisa juga rugi. Pertama, karena masyarakat kita sebetulnya sudah mulai jenuh dengan politik polarisasi yang selama ini digeret dalam lokomotif media sosial. Kejenuhan itu membuat sebagian besar masyarakat makin kehilangan respek terhadap para buzzer. Dalam berbagai riset, ketidaksukaan masyarakat sipil terhadap buzzer politik makin menguat. Dan jika mereka mencari suaka pada Ganjar, maka Ganjar berpotensi kesulitan merebut suara masyarakat sipil yang notabene dari kalangan kelas menengah yang terdidik dan kritis. Termasuk di antaranya, akan punya potensi kehilangan insentif suara dari para pemilih pemula, yang sejak mereka lahir sudah paham dunia media sosial, dan merasa eneg dengan pola komunikasi buzzer politik.
Kedua, bisa saja PDIP makin tidak mempertimbangkan Ganjar karena merasa bahwa Ganjar masih sibuk memoles diri untuk pencapresan. Padahal bisa jadi, Ganjar sedang tidak melakukannya lagi atau tidak melakukannya dalam porsi besar. Dia sedang melakukan aksi buying time, sembari menunggu momentum baik untuk bermanuver. Kalau dia dipoles dan diangkat terus, para keder PDIP makin resisten terhadap Ganjar dan peluang untuk maju dari PDIP makin kecil.
Para buzzer tentu saja tidak masalah jika Ganjar keluar dari kandang banteng. Masalahnya, apakah ia berani?
Yang jelas, apa pun itu, para buzzer sedang ketar-ketir. Nasib mereka hanya tinggal hitungan waktu. Aksi balas dendam politik sedang mengintai mereka dari berbagai sisi. Kecerdikan mereka sedang diuji. Termasuk nasib baik mereka. Sebab, politik juga seperti hidup ini. Ada pasang, ada surut. Kadang di atas, kadang di bawah. Ada karma politik, tentu saja.