MOJOK.CO – Hidup tanpa rencana adalah sebuah anomali perilaku manusia. Jika ini berlangsung lama, sebaiknya segera dicari cara menyelesaikannya.
Setelah melalui masa pandemi corona selama hampir 50 hari, saya menyimak berbagai pendapat dan keluhan dari para pengusaha, masyarakat biasa, teman dekat, juga cerita-cerita dari tetangga, maka saya bisa menyimpulkan sementara bahwa kita semua sedang bersama melalui tahapan hidup yang agak ganjil. Hidup tanpa rencana.
Manusia dan organisasi (kata dasarnya organ yang merujuk pada entitas fisik manusia), punya perilaku yang hampir sama. Manusia bisa membaca masa lampau termasuk tentu saja mengolah data dan informasi, membuat refleksi tentang apa yang keliru dan apa yang kurang, maka selanjutnya dengan modal imajinasi, manusia melakukan tindakan untuk merancang langkah ke depan. Bisa proyeksi, perencanaan, ramalan, dll. Itu semua hal yang penting untuk menjalani hari yang belum terjadi, waktu yang belum dialami, tak terjangkau oleh fisik.
Tapi pandemi corona ini, jika mengacu pada variabel ekonomi (saya termasuk orang yang punya kepercayaan bahwa basis ekonomi penting untuk melihat perilaku sosial), sebanyak 90% manusia, di seluruh dunia, sedang tidak punya rencana. Kita semua, karena saya juga termasuk yang 90% itu, hanya bisa dalam kondisi menerima hidup “kesekarangan”. Hari ini apa yang terjadi, itu yang kita hadapi. Apa yang terjadi besok, tak bisa dipikir.
Misbakhun, salah satu anggota DPR yang menangani bidang ekonomi, dalam sebuah acara talkshow, menyatakan hampir setiap hari rapat dengan para pemegang otoritas keuangan di Indonesia. Mereka semua mestinya punya kapasitas untuk melakukan perencanaan, karena punya perangkat yang kuat, dan memang itulah yang menjadi salah satu kegiatan yang mesti mereka lakukan. Tapi ternyata, lagi-lagi menurut Misbakhun, mereka semua juga meraba-raba. Seberapa dalam krisis ekonomi akibat pandemi corona ini. Kalau kedalamannya tidak bisa ditebak, cara mengatasi coronanya juga tidak bisa ditebak, semua hal yang berupa rencana dan proyeksi yang hanya kabut gelap di tengah malam pekat. Tidak ada yang tahu.
Jika itu yang terjadi pada level negara, yang terjadi pada level masyarakat hampir sama. Bagi mereka yang bisnisnya ambruk, dipecat, tidak bisa lagi bekerja, semua hanya konsentrasi pada apa yang bisa dilakukan hari ini. Dan ini bukan bombastis jika banyak orang yang hanya bisa berpikir apa yang bisa dimakan hari ini. Esok, entahlah. Setidaknya, ada 5 juta lebih masyarakat Indonesia yang melakukan hal seperti ini. Selebihnya, hanya tahu uangnya bakal bisa bertahan sampai seminggu, dua minggu, sebulan, dan maksimal dua bulan. Jika angka itu kita kumpulkan, ternyata kurang-lebih 80% masyarakat Indonesia yang tidak tahu bakal seperti apa nasib mereka dua bulan ke depan. Artinya ada lebih dari 180 juta orang yang dalam kondisi tidak tahu masa depan. Tidak bisa membuat perencanaan, tidak sanggup melakukan perkiraan. Tentu itu hal yang patut kita perhatikan bersama. Dan mungkin, angka itu akan terus bertambah, seiring dengan makin banyaknya usaha yang berguguran dalam satu atau dua minggu ke depan.
Persoalan ekonomi ini, tentu akan mengubah lanskap sosial kita. Di tingkat individu, ada banyak hal yang bisa diperhatikan dari sekarang, mulai dari tingkat depresi, kriminalitas yang naik, masyarakat yang mudah sensitif, pudarnya rasionalitas, menipisnya kolektivitas (karena akan tiba saatnya semua orang harus memikirkan perut diri sendiri dan keluarganya), ketidakpercayaan satu sama lain, dan lain sebagainya. Kalau kata teman saya yang pebisnis ulung, akan tiba saatnya sebagian besar masyarakat kita dalam kondisi sama-sama tidak punya uang. Dalam kondisi seperti itu, kita akan sama-sama tidak tahu, bagaimana ekspresi setiap manusia. Dengan begitu, ekspresi kolektifnya juga makin tak tertebak. Pada titik seperti inilah pemerintah mesti lebih berhati-hati.
Ada baiknya mulai sekarang, berbagai elemen masyarakat seperti para pemimpin informal untuk dikumpulkan dan diajak bicara. Orang-orang yang dipercaya masyarakat, dari tingkat teritori kampung sampai nasional. Mulai kiai, spiritualis, seniman, dan para pimpinan komunitas. Karena dalam level ekspresi dalam situasi “manusia tanpa rencana” ini, pimpinan formal dari gubernur sampai kepala desa tidak mungkin bisa menjangkaunya. Para pemimpin formal punya beban dan tanggung jawab sendiri, sebagaimana yang selama ini sudah mereka kerjakan. Tapi masyarakat, punya dua jenis pimpinan, yakni pimpinan formal dan informal. Dalam berperilaku keseharian, pemimpin informal ini yang paling dekat dengan mereka. Dalam banyak hal, mereka lebih percaya kepada Gus Mus atau Emha Ainun Nadjib, atau Gunarti seorang pemimpin perempuan dari Kendeng, dan masih banyak yang lain lagi, daripada dengan pemimpin formal mereka mulai dari gubernur sampai kepala desa, terutama untuk memandu dan kehidupan masyarakat. Keterikatan mereka dengan pemimpin informal adalah keterikatan batin. Ini kompatibel dengan apa yang tengah dihadapi masyarakat, karena hantaman ini paling membahayakan mental dan batin mereka.
Hidup tanpa rencana adalah sebuah anomali perilaku manusia. Jika ini berlangsung lama, sebaiknya segera dicari cara menyelesaikannya. Harus ada yang mendampingi mereka. Tentu saja, dengan terus memaksimalkan beragam cara untuk menghadang pandemi dari sisi medis, dan dari sisi ekonomi. Semua mesti berjalan beriringan. Menjadi satu kesatuan.
BACA JUGA 2024: Ketika Saya Bertemu Presiden Jokowi dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.