Sebetulnya Enak Nggak Sih Jadi Penulis Itu?

KEPALA SUKU-MOJOK

KEPALA SUKU-MOJOK

Pertanyaan yang saya pilih menjadi judul di atas adalah jenis pertanyaan yang sering dilayangkan kepada saya, tapi lewat obrolan tak resmi. Artinya, banyak orang ingin tahu tapi tidak dilontarkan di depan publik. Padahal sebetulnya ini jenis pertanyaan yang wajar ditanyakan, terutama bagi mereka yang ingin menekuni dunia menulis.

Tapi pertanyaan ini sebetulnya agak sulit dijawab. Sebabnya sederhana, apa sih yang dimaksud dengan ‘enak’ dalam konteks itu? Yang pasti bukan enak dalam makna makanan.

Kalau saya pribadi, berprofesi sebagai penulis itu enak. Enak dalam banyak hal.

Pertama, ini jenis pekerjaan yang tidak memerlukan banyak alat. Bahkan sudah beberapa tahun ini, alat saya cuma hape. Tiga buku termutakhir saya, dan tiga lagi yang akan terbit, semua saya tulis di hape. Ringkas, mudah dibawa, dan kalau rusak atau ngadat, segera bisa membeli lagi karena harganya tidak begitu mahal.

Kedua, bisa bekerja di mana saja. Ya, saya bisa bekerja di kafe, kamar, bandara, stasiun, dll. Bahkan saya sering sekali bekerja sambil tiduran. Enak rasanya. Walaupun sering juga pas sedang tiduran sambil menulis di hape, lalu tertidur.

Ketiga, royalti. Ini juga penting. Penulis kan butuh uang. Kalau bisa ya yang banyak. Tapi bagi saya yang penting cukup. Penulis mendapat uang dari dua sumber utama: honorarium dan royalti. Honorarium biasanya didapat kalau karya seorang penulis dimuat di media massa, baik onlen maupun digital. Kalau royalti didapat dari penerbitan buku. Saya paling suka dengan royalti. Karena mirip tabungan. Penulis biasanya mendapatkan royalti setiap enam bulan sekali dari pihak penerbit. Karya-karya saya tidak bisa disebut best seller atau mega best seller. Tapi juga tidak bisa disebut tidak laku. Karena karya saya lumayan banyak yang diterbitkan, jadinya ya lumayanlah buat saya. Nah, sekarang bayangkan kalau seorang penulis menerbitkan belasan buku apalagi jika laris semua. Rasanya seperti tidak bekerja tapi terus dibayar. Enak kan?

Keempat, kesal saja bisa jadi duit. Banyak penulis yang bisa menulis dengan cepat. Saya mungkin salah satunya. Sementara ide bisa didapat dari mana saja. Kalau saya kesal terhadap sesuatu yang tiba-tiba saya rasakan, tinggal saya ambil hape, tak tik tik tok menuliskan hal yang saya rasakan, selesai, lalu kirim. Beberapa hari kemudian tinggal menerima honorarium. Kalau kesal saja bisa jadi duit, apalagi kalau bahagia…

Kelima, obat stres paling murah. Sebagaimana kebanyakan manusia yang hidup di zaman sekarang, saya juga mudah stres. Dan sebagaimana kebanyakan orang, saya punya sekian siasat untuk meredakan stres. Nonton, jalan, ngopi bersama teman-teman, bercengkerama dengan keluarga, dll. Tapi dari sekian hal itu, obat stres paling murah bagi saya adalah menulis. Menulis apa saja. Kalau yang jenis seperti ini biasanya di catatan pribadi. Tidak dikirim ke media massa. Bahwa nanti sebagian dari tulisan itu bisa untuk bahan tulisan ke media massa atau bahkan menjadi bagian dari sebuah buku, itu soal lain.

Keenam, tidak perlu berinteraksi dengan banyak orang. Saya termasuk orang yang kurang bisa basa-basi. Tidak terlalu suka bertemu dengan banyak orang. Dalam hal seperti inilah, menjadi penulis merupakan profesi yang pas bagi saya. Mau berbulan-bulan gak bertemu dengan orang pun tidak masalah.

Ketujuh, tetap bisa berbagi. Berkarya adalah kesediaan berbagi. Berkarya dalam bidang penulisan berarti membagikan pemikiran, imajinasi, dan kreativitas kita kepada orang lain. Bagi saya, ada kepuasan yang tidak bisa dibayar apapun jika saya bisa membagikan itu semua kepada orang lain.

Jadi bagaimana? Tertarik menjadi penulis? Silakan…

Exit mobile version