MOJOK.CO – Dua hari ini, setelah sekian lama, saya kembali terlibat dalam sebuah polemik. Temanya soal rokok dan perokok.
Sebetulnya, saya bukanlah aktor yang ikut berpolemik sejak awal, karena saya sedang ada acara. Jadi sesekali saja saya buka medsos, dan sesekali berkomentar.
Tapi rupanya beberapa komentar saya itu, mungkin oleh kedua belah pihak yang sedang berpolemik dijadikan rujukan. Jadilah ramai.
Tapi saya tidak berpaling muka bahwa di polemik-polemik lawas soal ini, mungkin saya salah satu aktor utamanya. Bagi saya, berpolemik ya biasa saja. Cuma dulu, polemiknya lewat tulisan atau media diskusi panel. Sekarang lewat medsos.
Mempertanyakan sebuah metodologi
Saya masuk ke tema rokok, sebetulnya, karena punya ketertarikan dengan isu ini sejak lama. Setelah lulus kuliah, saya menjadi seorang peneliti di sebuah LSM yang sangat terkenal. Saya suka di LSM itu. Alasannya, karena cocok dengan jiwa saya yang menghabiskan hampir seluruh masa mahasiswa sebagai aktivis. Berpikir kritis, meneliti, melakukan advokasi, dan lain sebagainya.
Saat itulah, setelah membaca lumayan banyak cara-cara penaklukan dunia Barat dan industri kepada negara berkembang, saya punya pertanyaan yang sangat mengganggu selama bertahun-tahun. Pertanyaan itu adalah, di Indonesia, sebetulnya ada banyak isu yang belum terakomodasi dalam kelembagaan karena mungkin tidak dianggap penting, atau orang-orang yang peduli di dalamnya, belum mengorganisir diri. Terutama untuk mudahnya, isu-isu yang saya sebut sebagai isu “anti-antian”. Misal, isu anti-gula, anti-polusi karena kendaraan bermotor, isu pemakaian bahan bakar minyak yang berlebihan, dan lain-lain. Sekali lagi, ini konteksnya hampir 20 tahun lalu, ya.
Tetapi ada satu isu yang agak berbeda. Isu itu adalah isu tentang antirokok. Khusus isu ini, puluhan lembaga terbentuk. Mereka punya struktur organisasi yang jelas. Punya kegiatan. Bahkan salah satunya berkantor di DPR. Waktu itu, saya cuma bertanya-tanya saja. Saya tidak cukup punya energi untuk meneliti.
Hingga suatu saat, saya terlibat dalam dua penelitian tentang kesehatan. Pertama, soal kesehatan dasar di beberapa provinsi. Kedua, soal keluarga berencana. Mau tidak mau, saya berpartner dengan banyak dokter. Jadi saya lumayan akrab dengan beberapa dokter yang suka melakukan riset.
Suatu saat, saya bertanya kepada dokter dari Bantul. Dokter Aji, namanya. Pertanyaan saya sederhana. Sebagai peneliti, saya penasaran dengan metodologi yang dipakai sehingga muncul kesimpulan: delapan dari 10 pengidap kanker adalah perokok.
Sebagai seorang peneliti, pertanyaan soal metodologi itu sangat penting bagi saya. Juga berdasarkan pengalaman sehari-hari. Saya lihat orang di sekitar saya adalah perokok tapi tidak kena kanker, sementara yang tidak merokok banyak yang kena kanker. Sekali lagi, saya tidak ada pretensi untuk mengatakan bahwa merokok itu sehat. Saya hanya penasaran saja dengan metodologinya, sekaligus dengan apa yang saya alami di sekitar.
Dokter Aji menjawab metodologinya. Saya cuma melongo. Itu metodologi macam apa?
Jelas itu metodologi yang dibuat dengan sudah terlebih dulu memutuskan kesimpulannya. Saat itu saya baru tahu, di Indonesia sendiri, penelitian soal prevalensi perokok terhadap kanker ternyata belum pernah dilakukan secara medis. Jadi, sudahlah metodologinya meragukan, penelitian medisnya belum ada.
Saya lama menyimpan persoalan itu di kepala, hingga akhirnya saya membaca buku Nicotine War karya Wanda Hamilton. Dari situ, saya mulai punya gambaran tentang apa yang terjadi dalam pikuk soal ini. Ketertarikan pada tema itu, yang kemudian membawa saya aktif melakukan berbagai penelitian tentang industri hasil tembakau, dari mulai pertanian, tataniaga, aturan, dan lain sebagainya.
Lumayan lama saya meneliti soal ini. Mulai 2008 sampai 2017. Hampir 10 tahun. Setelah 2017, saya kadang jadi supervisor penelitian tema ini. Jadi, ya, setidaknya perihal data minimal termutakhirkan.
Balik ke polemik di medsos dua hari ini….
Industri rokok yang rumit
Awalnya saya terganggu dengan pernyataan salah satu orang yang saya anggap pintar. Dia mempertanyakan kenapa aktivis pro-rokok (sebetulnya dalam perjalanannya, mestinya pro-kretek, ini ceritanya panjang), membela industri.
Membela industri? Ooo, mungkin dia tidak paham beda industri dan pabrikan. Ini masalah. Industri itu semua rantai, dari hulu ke hilir, peraturannya, pajaknya. Dari hulu saja kita sudah ngomong banyak hal, tentang petani tembakau dan petani cengkeh (walaupun sebetulnya dalam rokok kretek ada juga bahan seperti kapulaga, kayumanis, dan lain-lain). Tapi anggaplah hanya dua itu saja, tembakau dan cengkeh. Bagaimana sistem budi dayanya, rantai tataniaganya, letak kerentanannya, siapa yang paling diuntungkan, problem-problemnya seperti apa, dan lain sebagainya.
Demikan juga cengkeh, itu saja sudah panjang dan kompleks. Belum lagi setiap daerah berbeda. Temanggung berbeda dengan Bojonegoro, beda dengan Paiton, beda pula dengan Jember. Ada 14 provinsi penghasil tembakau. Jangankan tiap provinsi, setiap kabupaten dalam satu provinsi sangat berbeda.
Itu baru tembakau. Sangat rumit. Kalau cengkeh lebih mudah, tapi teritorinya sangat luas. Ada 24 atau 25 provinsi yang menghasilkan cengkeh. Nah, ini yang paling sering orang salah. Rokok (kretek) hanya identik dengan tembakau. Padahal, kalau dilihat dari luasan lahan dan jumlah petani yang terlibat, rokok kretek di Indonesia mestinya juga identik dengan cengkeh. Tapi cengkeh tidak pernah dilirik sebagai faktor penting. Padahal 96% hasil cengkeh adalah untuk industri rokok kretek. Dan jumlah petaninya fantastis, lebih dari sejuta keluarga petani menanam cengkeh, mulai dari Aceh sampai Papua Barat.
Itu masih bicara soal bahan baku. Belum pabriknya, termasuk buruhnya. Pabrik rokok pun variatif, ada yang UMKM, hanya mempekerjakan 30 karyawan (bahkan saya pernah menemui yang hanya punya 12 karyawan), sampai pabrikan besar yang punya ribuan karyawan. Itu baru produksi. Belum distribusi dan sistem konsumsinya. Ini bukan barang mudah, yang jika diteliti lima tahun saja, belum tentu orang mengerti dari A sampai Z. Saya juga masih banyak yang belum tahu.
Belum lagi kita kaji soal cukainya, mulai dari aturan pembuatannya, model pemungutannya, kelas-kelas rokok, sampai ke apa yang dikenal dengan istilah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Saya kebetulan pernah meneliti itu bersama para ahli ekonomi dan hukum, rumitnya minta ampun. Butuh waktu hampir setahun untuk mengerjakan penelitian tersebut.
Menghormati profesi
Berbekal sedikit pengetahuan di atas, saya misalnya, cukup terganggu dengan pernyatan orang, “Kan petani tinggal ganti saja komoditas pertaniannya.” Astaghfirullah….
Pertama, orang seperti itu, jelas politically incorrect. Dia seolah menyepelekan profesi orang lain. Petani itu seolah orang bodoh, dan tidak mempertimbangkan banyak hal ketika menanam komoditas. Lagi pula, budi daya tembakau di Indonesia tidak ada paksaan. Orang boleh menanam dan boleh tidak. Bahkan jika mereka menanam malah harus berkoordinasi dengan asosiasi petani, dinas perkebunan, dan pabrikan. Kalau ada tanaman lain yang lebih mahal, pasti mereka tidak menanam.
Banyak kok petani tembakau yang beralih ke petani cabai atau yang lain. Tentu ketika harganya bagus. Tapi ada pula petani lain yang beralih ke pertanian tembakau, atau kadang di selang-seling. Tahun ini menanam tembakau, tahun depan tidak.
Tapi pernyataan itu akan makin absurd jika dilayangkan kepada petani cengkeh. Tanaman tembakau termasuk tanaman musiman. Dalam setahun, petani tembakau mulai menanam setelah atau sebelum menanam tembakau, bisa menanam komoditas lain. Sementara petani cengkeh, untuk membuat tanaman cengkeh “belajar berbunga” membutuhan waktu empat sampai enam tahun. Tahun paling produktif tanaman cengkeh di atas 15 tahun.
Terbayang berapa investasi waktu dan tenaga petani. Terus tanaman itu mau ditebang diganti pohon pisang gitu? Tapi saya sadar, orang yang menyatakan hal seperti itu memang tidak tahu, cuma sebaiknya kalau tidak tahu, ya belajar. Jangan ngajari orang, apalagi petani.
Pernyataan demi pernyataan gegabah macam itu makin banyak ditemui di medsos selama dua hari ini. Kebanyakan komentar orang yang kontra rokok memang hanya satu: rokok itu mengganggu kesehatan dan harus dilarang. Sudah. Itu saja. Komentar lain, ya sering ngawur seperti di atas.
Saya tidak menyatakan bahwa merokok itu sehat. Namun, penelitian tentang kesehatan dalam konteks rokok, masih mengandung banyak kelemahan, sebagaimana sedikit saya paparkan di atas.
Pemantik hari kedua saya berkomentar adalah ketika seorang influencer dan Youtuber otomotif berkomentar. Menurut saya, dia arogan. Seolah rokok sumber penyakit, sementara banyak penelitian di dunia yang menyatakan bahwa emisi dari gas buang kendaraan bermotor adalah sumber utama berbagai penyakit. Saya sungguh tidak bisa mengerti, ada orang dengan kerjaan meng-endorse kendaraan, merasa jiwanya lebih suci dibanding petani tembakau, cengkeh, atau pengusaha rokok, atau segala profesi yang terkait rokok.
Menurut saya sih, hal seperti itu tidak perlu, ya. Tidak baik mengomentari sesuatu yang merupakan profesi orang, apalagi profesinya sendiri sebetulnya juga perlu dipertanyakan. Saya, secara pribadi, tidak bermasalah dengan profesinya. Saya mempermasalahkan arogansinya, merasa lebih baik dibanding profesi lain.
Kalau mau lebih politis lagi, saya bisa bilang dengan gamblang. Industri rokok di Indonesia punya kontribusi besar. Misalnya, mulai dari kemerdekaan bangsa ini, sampai soal pendidikan, terutama pondok pesantren, saat pendidikan formal belum seperti sekarang.
Industri nasional ini pula yang ingin dihancurkan pihak lain dengan segala cara. Sementara industri otomotif agak sebaliknya. Kebijakan industri otomotif kita selalu saja dijegal jika hendak tumbuh. Mestinya, orang seperti influencer tersebut, dengan seluruh kekuatan dan pengaruhnya, bisa mendesak dan setidaknya berkampanye agar industri otomotif Indonesia bisa tumbuh. Tapi, ah sudahlah….
Saya pembela rokok?
Jadi, apakah saya pembela perokok? Saya kira jawaban saya: tidak. Saya sering menegur orang yang merokok di tempat yang tidak semestinya. Saya pernah mengejar pengemudi mobil yang sembarangan membuang rokoknya di jalan. Kalau bertemu orang yang belum pernah saya temui, bahkan di ruang yang diperbolehkan merokok, saya pasti bertanya terlebih dahulu, apakah jika saya merokok, mereka terganggu? Jika terganggu, saya tidak merokok, dan saya tidak merasa sakit hati.
Sebelum mengakhiri tulisan ringkas ini, satu hal yang saya tidak suka dalam kampanye antirokok. Seolah manusia disekat oleh batasan yang jelas: kamu perokok, aku tidak. Hal seperti ini, dulu tidak terjadi. Sebagai orang yang pernah lama berkecimpung dalam dunia advokasi, saya tahu strategi ini. Tapi ini strategi jahat. Orang di-stigma, diberi batasan sosial, dihadap-hadapkan sebagai masyarakat sipil, hanya karena orang itu merokok dan yang tidak merokok.
Maka itu, saya agak terkejut ketika salah satu kenalan saya di medsos, semalam mengatakan kenapa saya keras sekali kepada orang antirokok? Lho, bukankah sebaliknya? Tapi, okelah. Apapun itu, sebaiknya jangan menambah variabel baru di dunia ini, yang bisa memecah kerukunan orang.
Kita butuh kehangatan sebagaimana yang mungkin kita alami di kampung atau di komunitas kita yang lain. Masak manusia dibedakan hanya karena yang satu merokok dan yang satu tidak? Masak harus begitu sih, hidup ini?
BACA JUGA Politik Gaya Mataraman Pilpres 2024: Yang Tidak Sabar Pasti Kecewa dan tulisan lainnya dari Puthut EA di kolom KEPALA SUKU.