Belajar dari Masjid Aljihad

Sejak mulai tinggal di rumah yang sekarang ini kami tempati, kira-kira delapan tahun lalu, saya melakukan salat Jumat di masjid Aljihad. Saya sangat kagum dengan manajemen masjid ini. Terutama dalam menangani pandemi.

Ketika pemerintah dan beberapa lembaga Islam melarang salat berjamaah lebih dari setahun lalu, takmir masjid Aljihad mengikuti saran pemerintah. Ketika pemerintah mulai memperbolehkan salat jamaah dengan protokol kesehatan, takmir masjid ini pun melaksakannya dengan ketat. Dari mulai masuk, setiap jamaah dicek suhu tubuh mereka. Setelah itu diminta untuk membersihkan tangan dengan hand sanitizer. Jika ada jamaah yang tidak memakai masker, diminta balik untuk mengambil masker. Jika ada jamaah yang tidak membawa sajadah sendiri, akan dipinjami pihak masjid, tapi jika stoknya habis, akan diminta pulang untuk mengambil sajadah sendiri. Jarak antarjamaah pun berjauhan. 

Saya yakin hampir semua masjid pasti melakukan protokol kesehatan tersebut. Lalu apa bedanya? Perbedannya adalah sampai sekarang, hal itu dilakukan dengan ketat. Takmir masjid sangat tegas namun juga tetap solutif dan ramah. Buktinya, mereka menyediakan sajadah untuk jamaah yang lupa membawanya. Hanya saja tidak mungkin menyediakan banyak sajadah.

Saya tahu, di banyak masjid yang lain, hal ini sudah mulai kendor. Mungkin ada yang kendor dalam hal pemeriksaan suhu tubuh. Ada pula yang kendor tidak menyediakan hand sanitizer. Ada pula yang kendor dalam penataan saf salat. Sudah rapat sebagaimana jika tidak ada pandemi. Bahkan, banyak teman melaporkan, di banyak kampung di luar Yogya, yang sudah sangat longgar, nyaris tidak ada protokol kesehatan. Di kampung saya, hanya bapak saya yang pergi ke masjid dengan tetap mengenakan masker

Apa yang terjadi di masjid atau tempat ibadah lain, pasti mencerminkan apa yang terjadi di keseharian masyarakat. Jika mereka longgar dengan protokol kesehatan di masjid, itu artinya mereka juga longgar dalam berbagai segi kehidupan sehari-hari. Entah di tempat kerja, di warung makan, atau di berbagai kegiatan sosial lain. Masalahnya, kenapa hal tersebut terjadi dan dibiarkan?

Kalau kita belajar dari apa yang terjadi di masjid Aljihad, kata kuncinya ada pada takmir atau pengurus masjid. Kalau takmir tegas dan ketat, jamaah akan mengikutinya. Kalau takmir permisif, jamaah akan belajar melanggar sedikit demi sedikit, yang akhirnya bisa benar-benar longgar.

Hal inilah yang sebetulnya terjadi, ketika kita mendapati banyak mal, pasar, warung, dan banyak tempat lain, yang seakan beroperasi seolah tidak ada pandemi atau seolah sudah kelar. Itu artinya, pengawasan dari ‘pengurus’ yang dalam hal ini pemerintah, baik pemerintah kampung, daerah, sampai pusat, tidak memiliki ketegasan dan sangat permisif.

Wajar jika kemudian, di saat orang rame mau mudik tiba-tiba pemerintah melarang, banyak yang kecewa. Ini bukan soal masyarakat tidak mau diatur. Tapi sejak awal masyarakat tahu, pemerintah di berbagai level, tidak pernah benar-benar serius menegakkan aturan. Dari situ muncul rasa tidak adil: dulu bebas, kenapa sekarang dibatasi? Hal itu juga tercermin pada berbagai seruan kementerian yang satu sama lain seolah bertentangan. Presiden Jokowi membuat aturan dilarang mudik. Kementerian Perhubungan menjalankan aturan itu dengan melarang berbagai moda transportasi beroperasi. Tapi menteri Pariwisata menyatakan membuka tempat-tempat wisata. Lalu Ibu Sri Mulyani membuat seruan agar warga berbelanja.

Lantas, apa yang kita lihat? Seruan berbelanja tidak diikuti oleh aturan protokol kesehatan di mal-mal dan pasar-pasar. Hasilnya, kekacauan dan keriuhan. Meski belum tentu juga mereka berbelanja karena seruan Bu Sri Mulyani. Hanya saja, seolah masyarakat makin dapat legitimasi. Lalu kalau mal-mal dan pasar-pasar membeludak sehingga makin rentan terhadap penyebaran korona, siapa yang salah? Rakyat lagi yang disalahkan?

Semua orang juga tahu, salah satu tempat yang sulit sekali diatur dengan protokol kesehatan adalah tempat wisata massal. Terutama di daerah-daerah. Begitu diizinkan buka oleh Pak Sandiaga Uno, pasti menjadi legitimasi untuk buka. Masalahnya, protokol kesehatan bakal susah dilakukan. Ini sudah dibuktikan berkali-kali terutama saat liburan panjang. Jika itu terjadi lagi, apakah rakyat yang disalahkan?

Karut-marut semacam ini, sudah terlampau sering terjadi di negeri ini dalam penanganan pandemi. Satu keputusan dengan keputusan lain, tidak nyambung dan bahkan saling bertentangan. Sialnya, yang dijadikan kambing hitam selalu masyarakat. Masyarakat tidak patuh. Masyarakat kendor.

Pemerintah mungkin perlu belajar dari takmir masjid Aljihad. Kalau takmirnya tegas, tapi tetap dengan kesantunan, jamaah akan mengikuti. Dalam soal aturan main, pemerintah adalah kuncinya. Asal konsisten, tidak mencla-mencle, tidak bertabrakan satu sama lain, masyarakat akan mengikuti. Anda ingin tahu buktinya? Buktinya ya saat awal pandemi menyerbu negeri ini. Semua masyarakat patuh. Tapi begitu pemerintah mulai membuat kebijakan aneh, buka ini buka itu, boleh begini boleh begitu, tanpa mempersiapkan infrastruktur pengawasan dan penertiban, jadinya ya semua longgar.

Pelarangan mudik, dengan segala kekacauan yang sudah terjadi di mal dan pasar, menjadi bukti bahwa pemerintah masih jauh dari kemampuan mengatur secara mumpuni. Besar slogan tanpa persiapan. Maunya besar, tapi tumpul dalam hal kemampuan.

BACA JUGA Obrolan Utusan Manusia dengan Utusan Corona dan esai Puthut EA lainnya.

Exit mobile version