Sebagai petahana, didukung banyak partai politik, serta kubu lawan yang belum juga menemukan soliditas, tentu besar kemungkinan Jokowi bakal memenangi laga pilpres. Setidaknya, dalam bahasa yang lebih halus: Jokowi diunggulkan memenangi pilpres.
Namun menurut saya, begitu Jokowi menang, tentu dia akan memiliki sekian persoalan berat.
Persoalan pertama tentu saja di bidang ekonomi. Hampir semua ekonom saya kira sepakat bahwa pelemahan ekonomi sedang terjadi di Indonesia. Hanya sebabnya saja yang kadang antara satu ekonom dengan ekonom lain berbeda. Ada yang menyebut faktor tata kelola perekonomian dalam negeri. Ada yang bilang dominan faktor eksternal. Apapun itu, tahun 2019, perekonomian menghadapi tantangan besar.
Dalam dunia politik, persoalan ekonomi menempati variabel utama. Presiden yang baik, jika perekonomian memburuk, maka tingkat ketidakpercayaan publik kepada pemerintah bisa makin membesar. Memang ekspresi politiknya belum tentu pemakzulan presiden. Dan rasanya hal itu juga sulit terjadi di Indonesia. Tapi hal yang mungkin terjadi adalah ‘pembangkangan’ atau ketidakpatuhan masyarakat atas anjuran pemerintah. Misalnya: masyarakat diminta melepas dollar yang mereka miliki, mereka justru malah membelinya. Masyarakat diminta tidak takut melakukan investasi, mereka malah menahan uangnya. Ketidakpatuhan macam ini, akan membawa persoalan ekonomi yang lebih berat lagi.
Kedua, Jokowi besar kemungkinan akan membagi jatah menterinya kepada partai-partai pendukungnya. Sehingga persoalan negara ini bisa makin tidak tertangani dengan baik. Argumen macam ini pasti akan dibantah oleh partai politik: “Orang partai juga ada yang profesional.” O ya, pasti. Saya yakin ada banyak orang partai yang profesional. Masalahnya adalah mereka hampir pasti akan sulit melepaskan kepentingan dengan partai masing-masing. Jika hal ini dikaitkan dengan argumen pertama, maka akan menambah bobot ketidakpercayaan publik kepada pemerintah.
Ketiga, bisa jadi kursi partai pun akan diberikan kepada rival politik. Bagaimanapun Jokowi tidak ingin direcoki oleh oposisinya. Dan salah satu cara menaklukkan kaum oposisi adalah memberi jatah kursi menteri. Maka makin banyak menteri yang bakal diduduki oleh orang-orang partai politik. Jadi jangan kaget misalnya, jika nanti Demokrat dapat kursi. Atau bahkan tawaran kursi menteri bakal lebih dulu diberikan kepada Gerindra. Kenapa? Karena kemungkinan Gerindralah yang akan menjadi pimpinan oposisi dengan jumlah kursi parlemen yang besar.
Apakah Gerindra pasti menampik? Belum tentu. Tidak ada yang pasti dalam politik. Bagaimanapun Gerindra akan memperoleh suara besar pada pileg 2019 nanti. Gerindra juga sudah merasakan pengalaman betapa tidak enaknya menjadi oposisi. Sangat realistis jika kemudian kelak Gerindra mau menerima tawaran kursi menteri. Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar kalah dalam politik, dan tidak ada yang benar-benar menang.
Memang ada kemungkinan Jokowi mengambil keputusan berani yakni dengan mengisi penuh kabinetnya dengan orang-orang profesional nonpartai. Argumennya sederhana. Kalau dia menang pilpres, dia tidak akan maju untuk ketiga kalinya. Itu artinya, dia tidak akan punya banyak beban politik. Tapi apakah dia bakal seberani itu? Sejauh ini saya ragu.
Jokowi bisa saja main aman. Kursi dibagi kepada partai koalisi, dan bahkan akan dibagi kepada oposisi. Masalahnya adalah main aman seperti itu juga belum tentu aman dalam makna yang lain. Dia aman mengamankan elit politik. Tapi belum tentu aman menaklukkan dan mengambil hari masyarakat.
Keempat, jika terpilih nanti, Jokowi harus menggotong ongkos politik menjelang pemilu. Apa itu? Banyak sekali. Terutama dalam hal kebijakan populisnya. Keraguan bahkan menganulir kenaikan BBM beberapa saat lalu, tentu mudah dilihat sebagai bagian dari upaya mengambil hati masyarakat. Sekalipun itu wajar dilakukan karena memasuki tahun politik, tapi kebijakan seperti itu punya dampak yang mesti ditanggung kelak. Tidak ada beban yang bisa ditinggalkan dan ditanggalkan. Semua akan dipertanggungjawabkan pada waktunya, dengan harga yang lebih besar dan bobot yang lebih berat.
Kelima, begitu memimpin lagi, Jokowi sedang memimpin masyarakat yang sedang terbelah. Dalam soal ini, Jokowi belum piawai menyatukan masyarakat yang terpecah, sekalipun perpecahannya masih belum begitu menajam. Kemampuan Jokowi untuk merangkul pihak yang berbeda jalan politik dengannya belum teruji. Dia akan memimpin warganegara yang makin riuh, makin berisik, sekaligus makin memiliki peranti yang tidak mudah dihadang. Sebab warganegara makin mempersenjatai diri dengan dunia digital dan media sosial.
Benar kata Jokowi, musim dingin akan tiba. Mungkin akan sangat panjang. Mungkin disertai badai. Dan di saat dia memastikan persiapan menghadapi musim dingin itu, dia sekaligus mesti membagi energi dengan persoalan lain. Persoalan yang timbul karena pilihan kebijakannya dalam memasuki tahun politik, sekaligus pilihan yang akan dikerjakannya sebagai konsekuensi dari pertarungan politik yang dilakoninya.
Musim dingin yang bakal tiba, akan bisa membuat segalanya menjadi berbeda.