Kenangan Nikah Siri Waktu Kuliah di Bandung

Kenangan Nikah Siri Waktu Kuliah di Bandung MOJOK.CO

Ilustrasi Kenangan Nikah Siri Waktu Kuliah di Bandung. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CODua mahasiswa yang tengah kuliah di Bandung “nekat” nikah siri untuk menghindari zina. Inilah kenangan keduanya yang dituturkan langsung ketika kami reuni.

Dalam sebuah reuni, seorang teman buka kartu. Ceritanya cukup seru dan membuat yang mendengarkan terperangah dan geleng-geleng kepala. Dia, Pipin (nama samaran), asal sebuah kota kecil di Jawa Barat, bercerita. 

Waktu berstatus mahasiswa di sebuah kampus di Bandung angkatan 1989, dia berkenalan dengan mahasiswi adik angkatan, asal Sulawesi. Sebut saja namanya Lusi. Mereka berdua kemudian jatuh cinta, berpacaran, hingga akhirnya memutuskan nikah siri.

Perkenalan Pipin dan Lusi bermula sebagai tetangga indekos. Diam-diam, mereka saling memperhatikan, berkenalan, dan menjalin hubungan asmara.

Mereka sering pergi berduaan untuk jalan-jalan, nonton bioskop, atau rekreasi alam di pinggiran Kota Bandung. Tentu, seringnya jalan berdua ini membuat hubungan asmara mereka kian lengket. Peluk cium sudah biasa. Tapi, se-hothot-nya percintaannya, mereka berusaha menahan diri hanya “sebatas itu”. Mereka berdua sama-sama bisa saling mengingatkan, sehingga tidak kebablasan.

Awal dua mahasiswa dimabuk cinta mengenal istilah “nikah siri”

Suatu ketika, mereka berkenalan dengan dua sejoli beda fakultas. Yang pria adalah warga Tamansari, sementara pacarnya adalah wanita asal Padang. Tak lama, perkenalan dengan mereka kian akrab. Sampai akhirnya mereka membocorkan rahasia hubungan asmaranya.

“Kami sudah nikah siri,” ungkap pasangan itu seraya tersenyum. Istilah lainnya adalah nikah di bawah tangan. Artinya, mereka nikah tanpa sepengetahuan orang tua kedua mempelai. Saat akad diwakili oleh wali hakim. 

Ijab kabul pernikah dilakukan oleh seorang ustaz yang bertindak sebagai penghulu dan dari aliran yang menghalalkan cara nikah siri. Lalu, si ustaz mengajak seseorang yang dijadikan sebagai saksi.

Tentunya, nikah siri itu tanpa bukti hitam di atas putih, apalagi buku nikah. “Ini adalah cara kami menghindari zina akibat berpacaran. Nanti kalau sudah selesai kuliah dan punya pekerjaan, kami baru akan menikah resmi,” dalih dua sejoli itu.

Setelah itu, kedua sejoli itu menawari Pipin dan Lusi langkah serupa. Katanya, ini bisa menjadi solusi dari pacaran yang rawan melanggar larangan mendekati zina yang digariskan Islam. Mendengar pengakuan dan tawaran mereka, awalnya Pipin dan Lusi cuma bisa tersenyum, antara tertarik dan khawatir. 

Tapi, tawaran dari dua sejoli tadi ternyata terus membayangi pikiran keduanya. Sampai akhirnya Pipin membaringkan diri mengajak Lusi untuk nikah siri.

Kebimbangan

Malam itu Lusi tidak menjawab. Tapi, melihat dari raut mukanya, dia seperti “ya” dan “tidak”. Bimbang.

“Tapi, yang pasti, selama ini di antara kami memendam hasrat untuk dapat menjalin hubungan lebih intim. Hanya saja, senantiasa dihantui beban dosa yang lebih besar. Sebab, sejelek-jeleknya akhlak kami dalam berpacaran, masih ada membekas ajaran agama yang ditanamkan orang tua sejak kecil,” kata Pipin.

Untuk mengatasi kebuntuan, Pipin kemudian menawarkan diri untuk mengunjungi orang tuanya di Sulawesi. Dan ketika liburan semester datang, dia tidak lagi menunda-nunda kesempatan. 

Setelah Lusi berangkat mudik duluan, Pipin segera menyusul. Setibanya di sana, dia disambut dengan baik. Pada hari kedatangan itu pula, setelah beristirahat, mandi dan makan, Pipin berkesempatan berkenalan lebih jauh dengan orang tuanya. Sejurus kemudian, dia langsung menyampaikan niatan untuk menikahi Lusi.

“Kami sama-sama berada di rantau, jauh dari pengawasan orang tua, kami berpacaran dan sulit dipisahkan. Supaya hubungan kami ini halal, tolong segera nikahkan kami secara sederhana saja. Kelak, kalau kami sudah selesai kuliah dan memiliki penghasilan, baru dilangsungkan resepsi pernikahannya,” pinta Pipin.

Sayang, kedua orang tua Lusi menolak mentah-mentah niat baik Pipin. Bagi kedua orang tua Lusi, ini belum waktunya. Padahal, salah satu pesan Nabi Muhammad SAW, salah satu yang harus disegerakan, adalah menikahkan anak perempuan jika sudah menemukan jodohnya.

Memberanikan diri

Pipin pulang sendiri ke Bandung dengan tangan hampa. Beberapa waktu kemudian Lusi menyusul. Mereka melanjutkan berpacaran seperti biasanya. Tapi, kali ini, mereka masih terus mempertimbangan untuk mengambil langkah nikah siri.

Memang ada pro kontra terhadap keabsahan nikah siri berdasarkan syariat Islam. Malah, mayoritas pendapat orang alim menganggapnya haram. Tapi, terdorong oleh desakan libido yang meronta-ronta dan ingin menyelamatkan diri dari beban dosa besar, akhirnya mereka bersepakat untuk nikah siri.

Suatu malam, atas rekomendasi dua sejoli yang sudah nikah siri tadi, mereka menghadap seorang ustaz. Dia ini sudah biasa menjadi penghulu bagi pasangan mahasiswa. Si ustad menjelaskan tentang dalil yang membolehkan nikah siri, yang sudah tidak saya ingat. “Sudah banyak mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang melakukannya,” kata dia.

Dengan mahar tiga gram emas, seperangkat alat salat, dan Al-Qur.’an ditambah upah penghulu dalam nominal ratusan ribu, mereka akhirnya menikah siri. Rasa haru menyelimuti perasaan mereka hingga tanpa sadar berurai air mata. Namun, pada saat bersamaan, mereka merasa telah “mengkhianati” orang tua, khususnya dari pihak wanita, yang seharusnya menghadirkan ayah sebagai wali.

Setelah menikmati hidangan alakadarnya yang disediakan penghulu, mereka pamit pulang. Pipin dan Lusi langsung menuju tempat indekos Lusi. 

Di dalam kamar, mereka sama-sama terdiam. Berbagai rasa dan pikiran berkecamuk dalam dada dan kepala. “Berbeda dengan suasana hati sebelum nikah siri, kali ini hawa nafsu untuk bermesraan tidak menggebu-gebu, malah kami hanyut dalam diam dan membisu,” kata Pipin.

Kemudian Pipin memutuskan untuk pamit pulang ke kos. “Sayang, kita nampaknya harus saling menenangkan diri. Aku pulang dulu, besok kita ketemuan,” ucap Pipin sambil merangkul pundaknya dan mengecup kening Lusi.  

Hari-hari setelah nikah siri

Pada hari-hari berikutnya, suasana hati dua mahasiswa itu berangsur pulih dan kembali normal. Pengantin baru nikah siri ini berangkat berbulan madu di penginapan wisata pemandian air panas Sari Ater, Subang, yang berjarak tempuh dua jam dari Kota Bandung dengan sepeda motor.

Mereka berhasil merahasiakan status nikah siri itu dan tidak menimbulkan kehamilan. Hubungan keduanya juga berjalan mulus hingga akhirnya menikah resmi empat tahun kemudian dan tinggal di Jakarta. Kini mereka dikaruniai seorang putri dan dua putra. Si sulung yang putri, kuliah di sebuah PTN di Kota Bandung. Ibunya, Lusi, sering mengawalnya.

“Kalau tidak dijaga ketat, kami khawatir si putri terjerat cinta yang memaksanya mengambil langkah seperti orang tuanya. HAHAHA. Mending kalau mendapatkan lelaki setia dan bertanggung jawab seperti aku. Kalau tidak, bisa habis manis sepah dibuang dengan status janda tanpa bukti buku nikah,” ujar Pipin sambil ngakak.

Penulis: Asep K Nurzaman

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Sisi Gelap Nikah Siri di Jogja, Mahasiswa Berani Melakoni dengan Dalih Hindari Zina dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI. 

Exit mobile version