MOJOK.CO – Gimana nasib rakyat Afghanistan usai Taliban menang? Apa negara itu bakal jadi ‘safe house’ bagi jihadis global? Pengaruhnya buat Indonesia gimana?
Alunan surat An-Nasr melantun di Istana Kepresidenan Afghanistan Senin (16/8) kemarin. Deretan pria berserban khas Kandahar dengan memegang senjata meriung di tempat duduk Presiden Afghanistan Ashraf Gani yang kabur ke Tajikistan. Pemandangan yang menandakan kekuasaan di Afghanistan secara de facto sudah berganti.
Setelah 20 tahun terusir dari kekuasaan dan bertahan di wilayah-wilayah terpencil Afghanistan, kaum santri (Taliban dalam bahasa Pashtun berarti murid/santri) yang kali pertama muncul dari Kandahar kini menjadi penguasa Afghanistan.
Pemandangan itu menjadi puncak drama setelah Presiden AS saat itu, Donald Trump, menandatangani perjanjian dengan Taliban pada Februari 2020 untuk menarik pasukannya selambat-lambatnya 14 bulan setelah penandatanganan perjanjian tersebut.
Ada yang mengecam, ada yang khawatir. Bagaimana dengan nasib rakyat Afghanistan ke depannya? Bagaimana nasib kaum hawa di sana? Apakah Afghanistan akan menjadi rumah aman dan inkubator para jihadis global alias kelompok teror?
Terlebih lagi, bagaimana pengaruhnya dengan Indonesia?
Kesalahan Amerika dan sekutunya
Jika ada yang patut dipersalahkan dari situasi tersebut, maka yang langsung ditunjuk adalah AS dan sekutunya.
Apapun intensi dan strateginya, apa yang dilakukan AS ini adalah bencana itu sendiri. Pemandangan AS mengevakuasi stafnya, baik warga AS maupun staf lokal, mengingatkan ketika negeri adikuasa itu harus meninggalkan Saigon dan menelan pil pahit.
Sama seperti di Vietnam, sebenarnya hampir semua pertempuran dimenangkan oleh para GI (tentara Amerika), namun tetap saja mereka yang kalah dalam peperangan. Dan sebagai pihak yang terusir pergi.
Bermula ketika hasil penyelidikan insiden 9/11 mengarah ke Osama Bin Laden. Pemerintah AS kemudian meminta pemimpin Taliban yang berkuasa di Afghanistan saat itu, Mulah Muhammad Omar untuk menyerahkan Osama.
Tentu saja, Omar menolak. Sebab, Osama adalah menantunya, dan salah satu pantangan dalam adab Pashtun adalah menyerahkan keluarganya.
AS meminta DK PBB untuk menyerbu Afghanistan, namun ditolak. Tanpa lisensi PBB, AS dan sekutunya di Nato langsung tancap gas menyerbu Afghanistan pada 2001.
Kaum santri itu pun terusir dari kekuasaan dan bertahan menerapkan perang gerilya kota. Baik Osama dan Mullah Muhammad Omar tak pernah tertangkap. Omar sendiri kelak meninggal pada 2013, dirahasiakan, dan baru diungkap dua tahun kemudian oleh anaknya. Pemimpin kaum santri Afghanistan ini kemudian jatuh pada Maulawi Hibatullah Akhundzada.
Selama 20 tahun, AS berperang tanpa kejelasan. Setelah perburuan Osama maupun Omar tak menunjukkan hasil, agar tak kehilangan muka, AS mengubah strateginya. AS kemudian berusaha mengubah Afghanistan menjadi negara demokratis.
Tujuannya jelas, agar menjadi negara demokratis kuat yang berpihak untuk kepentingan AS. Juga berusaha memperkuat angkatan bersenjata Afghanistan menjadi kekuatan yang mampu menandingi Taliban.
Untuk itu, selama 20 tahun, AS mengucurkan anggaran sebanyak USD 83 miliar (Rp1.200 triliun). Dana itu baru untuk mempersenjatai Angkatan Bersenjata Afghanistan saja. Sementara untuk biaya perang selama 20 tahun, AS sudah menghabiskan anggaran sebanyak USD 1 triliun. Saya tidak punya kalkulator yang bisa menghitung berapa banyak nol di belakangnya ketika dikonversi ke rupiah.
Proyek itu gagal. Pemerintahan yang dibentuk ternyata tidak becus. Baik karena tidak punya kemampuan untuk menggalang kekuatan, atau pun karena korupsi yang parah.
Paling terkenal adalah AS menganggarkan jutaan dolar untuk membentuk pasukan. Mitra lokal kemudian menyebutkan ada ribuan pasukan yang harus dipersenjatai dan digaji. Belakangan, diketahui bahwa ribuan pasukan itu fiktif dan uangnya entah menguap ke mana.
Ini memusingkan pemerintah AS. Mereka terjebak di sana. Pasukan AS di sana hadir hanya untuk menahan Taliban saja, yang berulang kali melakukan serangan sporadis maupun bom bunuh diri. Posisi yang memusingkan empat presiden, hingga akhirnya Joe Biden mengambil langkah dan mengatakan, “Tak ingin mewariskan masalah Afghanistan ke presiden kelima.”
Rencana penarikan mundur ini sebenarnya sudah mulai serius diambil sejak era Donald Trump. Namun, ini bukannya tanpa kontroversi.
Pentagon, atau militer AS, yang paling keras menolak rencana tersebut. Mereka beralasan bahwa, “Meninggalkan Afghanistan sebelum mereka kuat, akan berakibat bencana. Taliban akan segera berkuasa, dan arti peperangan selama 20 tahun menjadi sia-sia.”
Sebuah alasan yang kuat, sebenarnya. Namun, banyak kalangan yang menilai bahwa Afghanistan juga menjadi proyek bagi Pentagon untuk mendapatkan uang. Juga untuk menguji senjata baru dalam arsenal mereka. Cara terbaik menguji senjata baru tentu melalui perang, bukan?
Pada Juni lalu, Pentagon meminta bertemu Joe Biden. Ini adalah kesempatan terakhir bagi mereka untuk membelokkan keinginan Biden. Di awal pertemuan, Pentagon mempresentasikan dengan baik kemungkinan-kemungkinan buruk (termasuk bahayanya menjadi inkubator teroris yang bisa mengancam keamanan AS secara langsung), dan Biden awalnya manggut-manggut saja.
Setelah presentasi, Biden mengajukan satu pertanyaan sederhana.
“Kira-kira sampai kapan kita harus bertahan di sana?” tanyanya.
Tak ada satu pun petinggi militer AS yang bisa menjawab itu.
Rupanya, Biden sudah bertanya ke sejumlah staf ahli sebelum pertemuan itu. Hasilnya, dia mendapat informasi bahwa mau bertahan satu bulan lebih lama atau bertahan lima tahun lagi, situasinya akan tetap sama.
Dengan tingkat inkompetensi dan korupsinya, pemerintah demokratik Afghanistan tidak akan mampu bertahan melawan Taliban yang menunjukkan persistensinya. Akhirnya, Biden mengambil langkah kontroversial itu: menarik semua personilnya sebelum 11 September.
Bagaimana, dengan nasib rakyatnya? Nasib perempuan yang katanya akan mengalami setback mundur beberapa abad? Hal ini ketika ditanyakan ke Biden, jawabannya sederhana, “Kita tak bisa terus-menerus terlibat mengurusi masalah negara lain.”
Jika AS yang punya kemampuan bertempur dan melakukan pendudukan berpuluh-puluh tahun saja menyerah, tentu tak ada pihak lain yang bisa. Memikirkannya saja tentu bisa, tapi berbuat sesuatu? Nyaris mustahil.
Inkubator teroris
Terdapat sejumlah analis yang menyatakan bahwa kemenangan Taliban itu merupakan warning. Salah satunya menilai bahwa semua ini tak akan terjadi jika nasionalisme Afghanistan terbentuk sempurna. Ini juga jadi bukti nyata bahwa kelompok jahat yang menggunakan kedok agama pun bisa memperoleh kekuasaan.
Pandangan ini sah-sah saja, meski tidak sepenuhnya tepat. Selain nasib perempuan, kebanyakan narasi kecaman terhadap kemenangan Taliban adalah soal inkubasi teroris.
Jejak sejarah sebelumnya memang menunjukkan hal itu. Apalagi, mereka punya cara pandang Islam yang sama dengan kelompok jihadis. Penegakan syariah, penghancuran bid’ah, penghancuran patung-patung dan situs bersejarah.
Namun, mereka juga berbeda. Sejak dari awal, tujuan Taliban ini adalah meraih kekuasaan di Afghanistan dan mendirikan Kerajaan Islam. Seperti Hamas yang memperjuangkan kemerdekaan di Palestina, maupun MILF di Mindanao yang berusaha untuk merdeka. Bukan pada jihad global seperti Al-Qaeda dan ISIS.
Dengan demikian, sejumlah analisa di atas tidak begitu tepat. Yang pertama, karena Taliban bisa bertahan selama 20 tahun tentu saja karena mereka punya basis dukungan akar rumput yang kuat. Dengan kata lain, banyak masyarakat Afghanistan yang mendukungnya. Hal ini harus diakui.
Situasi ini nyaris sama dengan saat kemunculannya pada 1994 lalu. Setelah Uni Soviet mundur dan Mujahidin mengambil kekuasaan, ternyata tidak dibarengi dengan kestabilan. Presiden Gulbuddin Hekmatyar bertikai dengan kelompok-kelompok yang dulu ikut melawan Soviet. Akhirnya, muncul kekacauan di seluruh negeri.
Pada 1994, muncul Mulah Muhammad Omar dengan 50 “santri”-nya. Dengan mengusung nama Taliban, atau kaum santri, mereka dengan cepat menegakkan aturan. Dan mereka melaksanakannya dengan adil.
Dengan cepat pula, mereka beroleh pengikut. Akhirnya, mereka mengontrol daerah Kandahar, dan daerah itu menjadi tertib. Tidak ada lagi peperangan, yang salah dihukum dengan adil (termasuk potong tangan bagi yang mencuri). Perdagangan tumbuh, dan mereka memperoleh simpati.
Dalam waktu singkat, Taliban meluaskan pengaruhnya. Pada 1996, mereka berhasil mengalahkan semua kelompok yang bertikai dan menjadi penguasa. Sebelum akhirnya, mereka disingkirkan oleh AS pada 2001.
Yang kedua, ini tidak ada kaitannya dengan nasionalisme—juga Taliban tidak berkedok agama. Mereka tak pernah menutup-nutupi tujuan politiknya: Kerajaan Islam dan menerapkan hukum Islam dalam negara itu.
Lewat kombinasi teror, melenyapkan musuh politik, dan menertibkan aturan, Taliban membuktikan bahwa mereka bisa memperoleh kekuasaan.
Apakah dengan berkuasanya Taliban akan menjadikan Afghanistan sebagai inkubasi teroris?
Jika Taliban yang dulu, maka jawabannya iya. Namun, Taliban sekarang tampaknya mulai beradaptasi.
Mereka terlihat tampak melembutkan sikapnya terhadap perempuan. Dalam twitnya, juru bicara Taliban Suhail Shaheen menyatakan bahwa pihaknya telah memerintahkan tentaranya untuk tidak masuk ke dalam rumah tanpa izin.
Hidup, harta benda, dan kehormatan warga Afghanistan tak boleh diusik. Tentaranya juga diinstruksikan untuk melindungi. Meski di lapangan banyak yang berbeda, namun twit Shaheen menunjukkan bahwa ada pendekatan berbeda dengan Taliban kali ini.
Termasuk soal inkubasi teroris. Tampaknya, mereka belajar dari kesalahan yang dulu. Penolakan menyerahkan Osama Bin Laden pada 2001 membuat mereka terusir selama 20 tahun. Kini ketika kekuasaan sudah digenggam, tampaknya mereka juga mulai mahir memainkan geopolitik.
Salah satunya adalah pendekatan dengan Tiongkok. Mereka bahkan sudah menandatangani perjanjian untuk membangun infrastruktur Afghanistan. Ini adalah langkah tidak populis di kalangan umat Islam, namun dilakukan juga.
Untuk mengimbangi dominasi AS. Setidaknya bekerja sama dengan Tiongkok bisa membuat AS berpikir dua kali untuk melakukan penyerbuan seperti dulu.
Taliban tahu bahwa urusan soal teroris ini bisa membawa petaka bagi rezim-nya. Maka, meski tetap saja ada kemungkinan banyak tokoh teroris yang lebih “aman” di Afghanistan, namun dukungan terbuka terhadap mereka tidak akan bisa dilakukan. Jika tidak ingin diserbu lagi.
Namun, lagi-lagi, soal ini sangat bergantung pada perkembangan apa yang terjadi dalam satu tahun ke depan. Semuanya masih bisa terjadi.
Pengaruhnya bagi Indonesia
Setelah Taliban resmi menduduki Kabul, saya sempat melakukan pembicaraan via telepon dengan tiga orang mantan jihadis. Berdiskusi mengenai apa efeknya bagi Indonesia.
Soalnya, mau bagaimanapun juga, Indonesia adalah salah satu negara yang paling parah terpapar terorisme. Baik karena banyak warganya yang telah terpapar maupun juga karena yang paling parah terkena serangan teroris.
Semuanya sepakat bahwa kemenangan ini meningkatkan moral di kalangan para ikhwan jihadis di Indonesia. “Namun, ada juga yang menyayangkan kenapa Taliban harus bekerjasama dengan Tiongkok. Kan, itu negara komunis,” kata seorang mantan jihadis senior Indonesia.
Meningkatnya moral ini karena satu hal: saat ini hanya Taliban lah simbol Islam yang sedang berjaya. ISIS sudah tumbang. Al-Qaeda nyaris tak pernah terdengar lagi. Palestina bukan “proyek” prioritas mereka dan situasinya selalu seperti itu-itu saja. Abu Sayyaf begitu-begitu saja, dan bahkan dianggap sebagai tanzhim “kompetitor”.
“Soal pengaruh, sebenarnya ada dua jenis pengaruh. Langsung dan tidak langsung,” kata jihadis lainnya.
“Yang di Indonesia adalah pengaruh tidak langsung. Karena, memang sudah tidak ada orang Indonesia di sana,” tambahnya.
Menurutnya, yang paling berbahaya adalah soal meluasnya berita kemenangan Taliban yang diklaim sebagai kemenangan Islam melawan AS di media-media bawah tanah. “Isinya sudah macam-macam,” terangnya.
Meski tidak secara drastis menaikkan potensi aksi teroris (karena Indonesia, potensi ini sebenarnya selalu konstan ada), namun yang berbahaya adalah pada moral jihadis. Mereka bisa saja menjadi lebih bersemangat berorganisasi, bercita-cita, dan kemudian merancang aksi-aksi untuk menirunya.
Karena pengaruh tidak langsung, dia mengatakan bahwa hal tersebut relatif mudah ditangkal. Yang menarik adalah caranya.
“Ya pemerintah harus menunjukkan kebijakan yang pro rakyat. Bikin pemerintah bersih, mudah dipercaya, dan tanggap dalam membantu rakyatnya. Karena, mereka tak akan besar tanpa dukungan rakyat,” katanya.
Sebaliknya, jika pemerintahnya tidak benar, sering menyakiti hati rakyat, hal ini akan berbahaya. Karena bisa menumpang pada rakyat yang tidak puas.
Hm, jika seperti ini caranya, bisakah teman-teman memprediksi apakah boosting semangat dari kemenangan Taliban ini pengaruhnya besar tidak di Indonesia? Apakah pemerintahnya sudah benar, sudah bersih, dan sering membantu rakyatnya?
Tentu saja jawabannya adalah… &s^!%&#$.
BACA JUGA