Kecerdasan Yang Mulia Amien Rais

ESAI AMIEN RAIS Mojok

ESAI AMIEN RAIS Mojok

Kepada saya semasa kecil, Ayah yang Muhammadiyah tulen selalu bilang, banyaklah belajar dan baca buku supaya ketika besar bisa seperti Amien Rais.

Kekaguman Ayah, yang anti-Syiah, kepada Amien membuatnya rela membaca buku karangan Ali Syariati, sosiolog Iran dan pendukung Revolusi Iran yang Syiah, hanya karena buku itu diterjemahkan dan diberi pengantar oleh Amien Rais. Buku itu berjudul Tugas Cendekiawan Muslim. Saya pernah membacanya, dengan malas-malasan, membuat saya sampai hari ini lupa-lupa ingat apa isinya. Bertahun kemudian, tepatnya saat menulis esai ini, saya berusaha keras mengingat apa yang Amien tulis di pengantar buku itu.

Ali Syariati menempel dalam ingatan saya karena ialah yang memperkenalkan saya kepada istilah rausyan fikr, cendekiawan yang tercerahkan. Sebagai anak muda, konsep rausyan fikr terasa seksi. Keren sekali membayangkan seseorang fasih beragama sekaligus memahami pengetahuan lokal di sekitarnya.

Sebagai penerjemah karya Ali Syariati, saya yakin Amien membaca dan memahami bagaimana intelektual Iran itu berpikir, bekerja, dan berpihak; memahami bagaimana Ali mengabdikan seluruh hidupnya untuk memajukan kemanusiaan lewat tradisi berpikir kritis, ideologi yang dipegang dengan konsekuen, dan keberpihakan kepada kelompok yang lemah. Tapi, apakah Amien masih mengingat hal-hal itu hari ini?

Mari tengok sikap Amien pada beberapa hal.

Ketika Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat keluar, Amien bersuara keras menentang. Perppu ini memang bermasalah karena memberi kekuasaan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM untuk membubarkan tanpa prosedur hukum ormas yang pemerintah anggap berlawanan dengan negara. Tanpa kesempatan membela diri lewat proses pengadilan, organisasi apa saja yang dianggap bertentangan dengan Pancasila bisa dicabut legalitasnya.

Di kantor DPP PAN, Rabu kemarin, ia mengatakan bahwa sasaran pertama perppu tersebut adalah HTI. Dan kemudian mengaitkannya dengan Komunisme.

“Kalau HTI dibubarkan kemudian Komunisme dikembangkan, itu apa hasilnya? Jelas sekali PKI di depan mata dibiarkan, ya toh? Nggak diapa-apakan. Kalau HTI nggak pernah berbuat, hanya punya prinsipil yang berbeda dengan kita dan nggak ada kata ‘makar’. Jadi, ini kesalahan fatal bagi Jokowi kalau HTI dibubarkan,” katanya.

Mantap, mau mengkritik perppu yang ingin membubarkan HTI saja harus bawa-bawa hantu komunis (lagi). Dan di sinilah kita sekarang, terjebak kembali pada topik paling basi di Indonesia setengah abad ini: kebangkitan PKI/Komunisme.

Mau tak mau kita harus membahasnya, apa yang ia maksud “PKI di depan mata dibiarkan?”. Siapa yang berani-beraninya membiarkan Komunisme hidup di kolong langit Indonesia ini?

Sebagai orang yang tinggal di Yogya, saya kira Amien Rais pernah mendengar berita tentang penerbit-penerbit buku yang dirazia polisi dan tentara pada Mei 2016 karena menyediakan buku Kiri. Kiri lo ya, bukan PKI. Doktor lulusan Amerika pasti tahu bedanya. Razia serupa tidak cuma terjadi di Yogya, tapi di kota-kota lain secara bersamaan.

Amien Rais tahu, tapi tidak ngomong apa-apa. Karena yang ia khawatirkan cuma Islamofobia, bukan fobia buku. Sekalipun fobia buku itu melanggar hukum, karena di zaman Mahfud M. D. (Muhidin M. Dahlan pasti sudah bosan sekali mengulang-ulang soal ini), MK telah memutuskan bahwa penyitaan buku tanpa proses pengadilan adalah perbuatan melanggar hukum.

Tak cuma buku Kiri yang tak boleh hidup di bawah langit Nusantara-nya Gaj Ahmada, singkatan PKI pun tak boleh (kecuali di spanduk-spanduk anonim yang menyerukan bahaya laten kebangkitan P*I). di Ternate, juga pada Mei 2016, Adlun Fiqri dan Supriyadi Sawai digelandang tentara karena memakai kaos bertuliskan “PKI: Pencinta Kopi Indonesia”.

Itulah Amien Rais hari ini. Seorang anti-komunis yang dulu menerjemahkan buku Ali Syariati, intelektual Syiah-Iran yang mengembangkan pemikirannya dari kritik terhadap Marxisme dan Sosialisme—yang artinya, Ali adalah pembaca karya-karya marxis dan sosialis.

Namun, kita perlu maklum: mungkin Amien yang dulu adalah Amien muda yang berapi-api, masih berpihak pada nalar, kemanusiaan, dan akal sehat. Sehingga, wajar ketika Amien muda menerjemahkan karya intelektual Syiah yang beraroma marxis, Amien tua justru menunjukkan kebencian buta  kepada Komunisme.

Komunisme, Marxisme, dan Sosialisme bukan satu hal yang sama, seperti pula tidak semua gerakan Islam yang dianggap “radikal” sama. Tapi, bagi orang yang gampangan, memang gampang mengasosiasikan gambar Che Guevara sebagai aspirasi pemberontakan atau menganggap Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis-Suseno sebagai buku kanon tentang Komunisme.

Masalahnya, Amien Rais (mestinya) bukan orang gampangan. Dia tahu bedanya belajar Komunisme, mengkritik Komunisme, atau menjadi pendukung Komunisme; tahu bedanya Komunisme dan PKI; tapi dia mengeksploitasi sifat gampangan dan ketidaktahuan orang tentang itu. Sama seperti ketika ia memanfaatkan Reformasi lalu tampil sebagai “poros tengah” dan kemudian menjadi “Bapak Reformasi”.

Jadi, maklum saja ketika Amien mengatakan “PKI di depan mata dibiarkan” walau dia tahu PKI sudah “dibersihkan” dengan cara paling gila dan barbar lebih dari lima puluh tahun lalu. Amien paham betapa paranoidnya Indonesia pada Komunisme, membuat hantu satu ini selalu laku dijual. Makanya dia bisa bilang, pada Juni tahun ini, dalam konteks “kebangkitan PKI”:

“Ada kebohongan nasional yang secara sistematik itu dibuat oleh tokoh kita. Mereka bilang Komunisme sudah usang, tidak usah ditakuti, sudah tidak ada di mana-mana. Orang seperti ini sangat tidak bertanggung jawab, pura-pura bodoh.”

Dan kemudian menciptakan teori yang membuatnya terdengar segila Taufiq Ismail,

“Belum lagi pornografi, narkoba, menggiatkan juga itu kita sudah terjebak dengan Komunisme kultural.”

Orang dengan perspektif HAM dengan lugu akan susah payah menyusun argumentasi menolak Perppu Ormas selogis mungkin. Dasarnya, perppu tersebut melanggar HAM karena melangkahi proses pembuktian hukum. Dengan demikian, jika HTI, PKI, FPI, PMI, atau apa pun itu hendak dibubarkan, proses itu haruslah melalui proses pengadilan (sebagaimana proses pada pelarangan buku).

Tapi itu cara yang bikin capek aja. Buang-buang waktu. Nggak menjual. Nggak click bait. Yang Mulia Amien Rais yang cerdas tidak akan melakukan itu. Ia akan menolak Perppu Ormas dengan bilang bahwa menerbitkan Perppu Ormas adalah langkah fatal Jokowi. Pemerintah harus melakukan langkah persuasif kepada ormas anti-Pancasila, bukannya langsung reaktif main bubarin. Atau kalau mau bubarin, bubarin dulu itu komunis di depan mata.

Benar kata Ayah, banyak membaca buku (Kiri) bisa membuat seperti Amien Rais: cerdas. Secerdas penasihat para Kurawa dalam kisah pewayangan. Bukan Bisma, tapi Sengkuni.

Exit mobile version