MOJOK.CO – Budaya jujur pedagang Cina dan orang Cina sebenarnya sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Sayang, entah kenapa kita semua kayak amnesia.
Sebuah video social experiment (kemungkinan) di Taiwan mampir di sosial media saya. Skenarionya, seorang warga asing pura-pura tak sengaja bayar kelebihan dari harga barang yang dibeli di pasar orang-orang Cina.
Dari beberapa pedagang Cina yang dicoba, hasil yang didapat cukup mengejutkan. Hampir semua pedagang selalu memanggil lagi si pembeli—begitu sadar kalau bayarannya kelebihan. Lalu mereka mengembalikan kelebihan pembayaran meski itu hanya 1 Yuan.
Membaca komentar-komentar di bawahnya (orang-orang Indonesia tentu saja) semua seperti sepakat kalau pedagang Cina, terutama di Indonesia, memang jujur-jujur. Pedagang Cina kabanyakan takut dengan karma.
Saya sendiri punya pengalaman langsung seperti ini, meski bukan dengan seorang pedagang Cina. Namanya Chen Qiuping. Tapi, entah kenapa, saat kami bertemu, tamu saya yang berisi pejabat-pejabat Indonesia kompak memanggil Lingling. Nggak apa-apa, yang penting bukan dipanggil Jialing.
Dia adalah mahasiswi salah satu kampus ternama di Xiamen, kota pesisir indah nan kaya di Provinsi Fujian di mana banyak leluhur orang-orang Cina-Indonesia berasal.
Saya mengenal noni itu ketika dia menjadi volunter suatu acara akbar seputar ekonomi dan budaya yang dihelat pemerintah sana pada beberapa purnama yang lampau. Kebetulan, dia ditugaskan menjadi pemandu delegasi Indonesia yang hadir pada agenda dimaksud. Saya sendiri, seperti biasa, jualan lambe jadi interpreter.
Saya awalnya mengira dia akan berleha-leha saja dengan adanya saya. Apalagi dia tahu kalau saya sudah lama sekali tinggal di Xiamen. Hampir tidak perlu guide kalau cuma mau menyusuri setiap ruas jalan kota yang sejak 2006 punya hubungan kota kembar (sister city) dengan Surabaya tersebut.
Apalagi, sertifikat sebagai volunter yang ditandatangani langsung oleh Wali Kota Xiamen tetap akan otomatis diperolehnya meski misal dia tidak menjalankan tugasnya. Artinya tidak akan ada yang peduli apakah dia benar-benar menjalankan tugasnya atau tidak.
Akan tetapi, berbeda dengan homo sapiens julid negara +62 yang tenaganya turah-turah buat bergibah, mengawasi urusan dan kekurangan orang lain sejeli pantauan cctv dengan kalimat sakti setajam silet “maaf sekadar mengingatkan”. Di Cina, hal seperti itu nggak terjadi.
Soalnya, dalam kitab klasik Petuah Hikmah (Lun Yu), filsuf agung Konghucu telah sejak jauh-jauh hari mewanti-wanti orang-orang Cina agar “tak usah mencampuri urusan yang bukan urusanmu” (bu zai qi wei, bu mou qi zheng).
Meski tanpa pengawasan Chen Qiuping ogah bermalas-malasan. Katanya, apa yang didapat mesti sesuai dengan apa yang telah dikerjakan. Tidak kurang, juga tidak lebih. Dia tampaknya tidak mau menjadi manusia yang—meminjam istilah Sastrawan Dinasti Ming Chen Jiru dalam buku Catatan Terselip di Balik Jendela (Xiao Chuang You Ji).
“Bisa makan dan berpakaian dengan berprofesi sebagai pesilat lidah memutarbalikkan yang benar dan salah” (bu geng er shi, bu zhi er yi, yao chun gu she, wang sheng shi fei).
Makanya, sesuai jadwal yang ditetapkan, dia tetap menemani kami ke mana pun kami pergi selama dua hari. Asli saya kasihan. Apalagi, dia tidak mau makan bersama kami. Sebab, menurutnya, itu makanan khusus tamu. Bukan untuk dirinya. Dia bilang tidak ingin mengambil yang bukan haknya.
Tak ayal, ketika di hari terakhir kami salami dia amplop berisi lembaran yuan, dia tidak mau menerima. Dia menegaskan dirinya adalah volunter, sukarelawan. Dan, sesuai namanya, memang tidak patut menerima imbalan.
Chen Qiuping tetap bergeming kendati kami bilang itu hanya “xie li”, uang terima kasih. Kami berusaha menjejalkan amplop ke ransel yang digendongnya, tapi dia kukuh menolak, sebab kalau diambil, katanya, itu tak ada bedanya dengan korupsi.
Saya yang biasa berprinsip “jangan menolak rezeki” jelas tertohok dibuatnya. Sedangkan Chen Qiuping yang kemungkinan berprinsip sesuai ajaran Konfusianisme “siapa pun pasti suka harta, tapi harus dengan jalan lurus untuk mendapatkannya” (jun zi ai cai, qu zhi you dao), barangkali geleng-geleng kepala ketika kami sudah dadah-dadah kembali ke penginapan.
Sehabis itu saya memang tidak pernah bertemu dengan Chen Qiuping lagi sampai sekarang. Namun, tak sulit bagi saya untuk menemukan orang yang teguh memegang prinsip untuk berlaku lurus dan jujur seperti dia di Cina, negeri yang selama ini kerap dicap tak bermoral lantaran tak beragama.
Ya, kendati tidak diperkenalkan terhadap ilmu agama karena konstitusi Cina yang sekuler itu mengamanatkan pemisahan antara agama dengan pendidikan, tapi orang-orang Cina sudah didoktrin pelajaran hal ihwal pentingnya integritas mulai dari hal-hal yang biasa kita anggap remeh-temeh belaka.
Di kampus Cina tempat saya pernah menjadi tenaga pengajar, misalnya, peserta didik yang ketahuan menyontek akan diganjar dengan tanda khusus di rapornya. Tanda ini permanen dan mencolok. Akan gampang diketahui oleh instansi tempat dia melamar kerja kalau dia pernah berbuat curang pada suatu masa.
Di ruang publik semacam kereta cepat, mereka yang kedapatan membeli tiket ke A padahal tujuannya ke Z demi memangkas pengeluaran, akan dicatat di sistem adminitrasi publik sebagai orang yang cacat integritasnya.
Tak ketinggalan, kisah-kisah teladan tentang kejujuran dari zaman kedinastian hingga era partai komunis, juga tak henti-hentinya diajarkan di beragam kesempatan. Di pinggir jalan-jalan di Cina, mudah kita jumpai foto-foto orang jujur dan orang culas dari zaman-zaman tertentu yang sengaja ditempel pemerintah sebagai bahan edukasi dan refleksi untuk pejabat sekaligus rakyatnya.
Coba saja tanyakan pada orang-orang di Cina, niscaya mereka akan tahu bagaimana nauzubillah jujurnya seorang pejabat Dinasti Ming bernama Hai Rui yang oleh banyak penganut Islam di Cina dielu-elukan sebagai muslim yang taat itu.
Atau, mintalah mereka untuk menceritakan tingginya integritas seorang komunis muslim bernama Ma Jun yang diakui sebagai pahlawan nasional yang syahid membela komunisme dan Islam sekaligus itu.
Tapi, jangan sekali-kali tanyakan apa agama yang dianut Hai Rui dan Ma Jun ke mereka. Karena, naga-naganya pemerintah Cina sukses besar menanamkan prinsip yang sama dengan wejangan Gus Dur ini:
“Tidak penting apa agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.”