Kata Adalah Senjata dan Lagu Adalah Meriam: Dari NWA Sampai Sukatani

Kata Senjata dan Lagu Adalah Meriam: Dari NWA Sampai Sukatani MOJOK.CO

Ilustrasi Kata Senjata dan Lagu Adalah Meriam: Dari NWA Sampai Sukatani. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSuara kritis bersama lagu Sukatani harus ikut lantang! Bukankah kritik adalah bahasa paling jujur? Jangan gentar!

Jika kata adalah senjata, maka lagu adalah meriam. Paduan nada dan lirik ini bisa memekakkan telinga dan meledakkan kedzaliman. Dari Bob Dylan sampai Harry Roesli. Dari “Fuck Tha Police” karya NWA sampai “Bayar, Bayar, Bayar” karya Sukatani. Yang terakhir ini memang meledakkan otak “oknum”, dan berakhir klarifikasi.

Penghapusan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” diikuti klarifikasi Sukatani menjadi tanda tanya besar. Apa yang salah dari lagu yang liriknya mudah diingat dan dinyanyikan saat demonstrasi? Apa yang terjadi di balik layar, hingga Sukatani harus memberi klarifikasi?

Entah bagaimana kronologinya, Sukatani adalah contoh nyata lagu dapat menakuti banyak orang. Bahkan mereka yang berkuasa dan bersenjata. Pembredelan, alih-alih meneror, malah jadi bensin yang membuat api menjadi makin berkobar.

Lagu adalah “hantu kekuasaan”

Lagu lahir dari imajinasi bebas manusia. Kadang ia memadukan suara alam dengan sajak indah. Lagu menyatukan nada indah dengan pujian pada Tuhan. Dan kadang ia adalah nada kasar dan lirik lantang penuh amarah.

Lagu juga jadi alat bersuara. Berbeda dengan tulisan yang lebih konvensional, ia sederhana namun puitis. Makanya mudah terjangkar dalam benak banyak orang. Jika lagu itu cinta-cintaan, maka ia akan mengendap sebagai hal romantis dalam pikiran. Jika lagu itu kritik sosial, ia akan menghantui kekuasaan beserta instrumen pendukungnya.

Maka lumrah jika lagu tidak hanya jadi alat perjuangan, namun juga media propaganda. Isi otak masyarakat dipenuhi lagu-lagu patriotis dan menggugah mental chauvinis. Dari mars partai sampai lagu-lagu nasional.

Namun ia mudah dikemas sebagai penggugah perlawanan. Misal “Bella Ciao” yang menjadi mars melawan fasis Italia. “Solidarity Forever” jadi lagu buruh yang kini lebih sering dinyanyikan anak teknik mesin. Bahkan “Do You Hear The Peoples Sing” yang sejatinya lagu dalam film Les Miserables jadi penyemangat demonstran Hongkong.

Jika harus membahas semua lagu yang jadi hantu kekuasaan, akan jadi berjilid-jilid buku. Maka saya hanya ingin membahas 2 lagu saja, karya NWA dan Sukatani. Keduanya punya persamaan isu dan diperlakukan seperti teror berbahaya.

Baca halaman selanjutnya: Fuck tha Police, masterpiece dari NWA

“Fuck Tha Police” dan “Bayar Bayar Bayar”

Niggaz Wit Attitude (NWA) adalah pioner dari musik gangsta rap era 80 sampai 90-an. Namun, super grup ini tidak hanya bicara kehidupan glamor ala gangster. Mereka juga menjadi corong perlawanan. Terutama terhadap isu rasial dan kekerasan polisi. Lagu “Fuck Tha Police” adalah puncaknya.

Ice Cube, MC Ren, dan Eazy-E meneriakkan kemarahan dalam rima yang padat. Disempurnakan oleh musik gubahan Dr. Dre dan DJ Yella. Kombinasi apik ini menjadi seruan perlawanan yang menakutkan kepolisian Amerika Serikat dan FBI. Akhirnya pembredelan menjadi jawaban. Apakah berhasil? Kita bahas nanti.

Sukatani sendiri adalah duo punk yang memadukan lirik ganas, musik cadas, dan penampilan ala Pussy Riot. Twister Angel merangsek melalui vokal, Alectroguy menyayat dengan distorsi gitar. Karya mereka, “Bayar Bayar Bayar”, jadi lagu yang dinanti penggemar setiap manggung.

Lagu “Bayar Bayar Bayar” begitu sederhana. Liriknya juga lugas tanpa bunga. Namun kesederhanaan ini membuatnya mudah diingat. Lagu ini adalah muara dari kemarahan terhadap polisi yang serba bayar. Marah yang lugas, sederhana, namun kini terbukti berbahaya.

Buktinya adalah penghapusan “Bayar Bayar Bayar” dari semua platform resmi Sukatani. Diikuti video klarifikasi yang berisi permintaan maaf atas lagu yang (dianggap) menyinggung instansi kepolisian. Namun, apakah penghapusan dan klarifikasi menghentikan kemarahan dalam “Bayar Bayar Bayar”?

Streisand effect dan otoritas yang mati langkah

Jawaban dari setiap pembredelan karya selalu sama. Karya itu akan makin menyebar dan tertanam dalam benar masyarakat. Makin ditekan, karya akan makin membuat penasaran. Bukannya melemah, ia akan makin lantang terdengar.

Fenomena ini disebut streisand effect. Ketika ada upaya pembredelan dan penghapusan karya, masyarakat akan makin penasaran. Mereka akan membagikan karya tersebut lebih luas. Dalam kasus NWA, pembredelan “Fuck Tha Police” malah melentingkan mereka makin tinggi. Bahkan ancaman FBI dan represi aparat jadi alat promosi gratis.

“Bayar Bayar Bayar” dari Sukatani juga sama saja. Sejak muncul video klarifikasi, lagu ini tidak meredup. Bahkan makin disebarkan dan didengarkan masyarakat. Lagu yang awalnya kurang terkenal kini menjadi trending topic dan pembicaraan.

Semuanya makin sempurna. Guru yang berusaha menutup identitas demi bersuara kini jadi simbol perlawanan. Karya mereka yang sangat “subkultur” kini dicari banyak orang yang penasaran. Polemik pasti muncul, namun dukungan mengalir deras seperti banjir yang siap merobohkan gerbang keangkuhan aparat.

Inilah streisand effect, fenomena pembredelan yang menjadi bumerang. Bukannya menutupi dan menghapus kritik, ia malah memicu penasaran. Meskipun framing buruk disematkan, hasilnya adalah viral yang bagai api membakar sabana. Benar kata Eazy-E, “Every publicity is good publicity.”

Sukatani berhak berkarya, kita juga sama

Penghapusan “Bayar Bayar Bayar” masih jadi misteri. Banyak yang marah, namun ada suara skeptis. Apapun yang terjadi, api sudah berkobar. Apakah Sukatani harus minta maaf? Yang jelas, band ini jadi simbol baru pada momen demonstrasi #IndonesiaGelap.

Pembredelan adalah keniscayaan. Cepat atau lambat, apa yang disembunyikan otoritas akan terbuka makin lebar. Pramoedya Ananta Toer yang baru saja diperingati sudah membuktikan.

Lalu setelah ini apa? Pembredelan terlihat tidak akan surut. Maka suara kritis bersama lagu Sukatani harus ikut lantang! Bukankah kritik adalah bahasa paling jujur? Jangan gentar, karena kita semua berhak bersuara dan berkarya. Jangan sampai hidup kita berakhir dengan bayar bayar bayar!

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Wajar Ada Orang yang Mau Keluar Duit Ratusan Juta demi Masuk Polisi dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version