Kata Paling Indah dalam Bahasa Indonesia untuk Menggantikan Istilah Hidrogen

Menurut saya, Bahasa Indonesia harus memiliki kata non-Latin untuk hidrogen. Sudah saatnya.

Kata Paling Indah dalam Bahasa Indonesia untuk Menggantikan Istilah Hidrogen MOJOK.CO

Ilustrasi Kata Paling Indah dalam Bahasa Indonesia untuk Menggantikan Istilah Hidrogen. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COBahasa Indonesia itu punya produk budaya dalam bentuk ragam bahasa yang nggak minder. Lagian keren juga kalau dilafalkan: tirtadhatu. Hidrogen.

Bahasa Indonesia tidak mempunyai istilah sendiri untuk sebuah kata bernama “hidrogen”. Bagi saya, fakta kayak gini merupakan bukti kalau kita memang kurang kreatif dalam berbahasa. Padahal, Bahasa Indonesia dengan ribuan “bahasa pendukung”, punya banyak opsi untuk sebuah alih bahasa sebuah istilah.

Sebentar, sampai sini kamu nggak merasa panik atau justru malas karena saya mengulas sebuah topik, yang kayaknya agak berat, kan?. Tapi tenang, jangan panik. Walaupun membahas topik rumit seperti bahasa dan hidrogen, tulisan ini tidak akan memuat rumus Matematika atau Kimia yang jelimet seperti deret fourier (baca: foye) atau rumus Van der Waals.

Mungkin akan jadi agak berat karena kita perlu bersama-sama memikirkan jalan keluar sebuah masalah. Jangan sampai bangsa Indonesia dikatai sebagai bangsa yang tidak punya cinta kepada bahasanya sendiri. Bikin istilah untuk kata hidrogen saja nggak bisa. Kurang lebih begitu. Soalnya, kalau mau menggeser kata hidrogen ke Bahasa Indonesia, kita bisa menggunakan bentuk serapan dari bahasa daerah atau mengadopsi Sanskerta. Opsinya itu sebetulnya banyak.

Hidrogen itu apa, sih?

Sebelum membedah perlunya menamai hidrogen dengan kata asli Bahasa Indonesia, mari kenalan dengan apa itu hidrogen dan sejarahnya. Menurut KBBI, hidrogen adalah gas tidak berwarna, tidak berbau, tidak ada rasanya, menyesakkan, tetapi tidak bersifat racun; unsur dengan nomor atom 1, berlambang H, dan bobot atom 1,0080. 

Hidrogen sendiri berasal dari Bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari kata hydro yang berarti ‘air’ dan genes yang berarti ‘membentuk’. Zat hidrogen ini ditemukan oleh Henry Cavedish pada 1766. Namun, hidrogen itu sendiri baru mendapatkan nama dari Antoinne Lavoisier pada 1783. Lavoisier adalah seorang ilmuwan dari Prancis.

Bahas Indonesia harus punya istilah sendiri

Menurut saya, Bahasa Indonesia harus memiliki kata non-Latin untuk hidrogen. Ada beberapa alasannya. Kita mulai dari kenyataan bahwa negara lain memiliki kata-kata bukan serapan untuk Hidrogen. Kenyataan bakal meneguhkan identitas bahasa dari suatu bangsa itu sendiri. 

Buktinya bisa kamu dapatkan hanya dengan searching di Wikipedia. Lalu, cari artikel dari bahasa lain yang memuat tentang hidrogen. Kamu akan menemukan variasi kata dari Bahasa Jerman untuk hidrogen, yaitu wasserstoff

Mempertimbangkan fakta bahwa bahasa lain memiliki kata asli untuk hidrogen, harus diakui, Bahasa Indonesia memang kalah atau bahasa halusnya yakni “kurang kreatif” menyerap atau membuat neologisme kata. Kita jadi kurang memiliki identitas dalam bidang keilmuan, tidak terkecuali di bidang Kimia. 

Sudah sering, misalnya, para polisi Bahasa Indonesia sering mengadili pelaku pencampur bahasa. Misalnya saya sendiri yang kena tegur karena suka mencampur Bahasa Indonesia dengan Jawa, Inggris, dan terkadang bahasa Pasar Atom. Namun, tidak ada yang mengadili atau memprotes “cukongisasi” kata Latin yang mungkin berlebihan seperti di atas.

Pengganti kata hidrogen di Bahasa Indonesia

Untuk menggantikan, atau setidaknya mensubtitusi kata hidrogen, saya akan menyarankan kata tirtadhatu. Kata ini merupakan saran dari Bapak Revi Soekatno, seorang dosen Bahasa Jawa di Belanda. 

Kata tirtadhatu sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kuna yang terdiri dari kata tirta yang bermakna ‘air’ dan dhatu yang berarti ‘anasir atau unsur terkecil’. Menurut saya, kata tirtadhatu itu terdengar indah di telinga. Sumbernya juga dari salah satu bahasa yang membuat Bahasa Indonesia itu menjadi sangat kaya. Oleh sebab itu, muncul rasa bangga ketika orang asing menyebut hidrogen dengan kata tirtadhatu.

Sinisme

Saya memperkirakan akan banyak orang sinis di luar sana. Mereka akan berusaha menemukan kelemahan dari proses alih bahasa ini. Saya sudah memperkirakan jika kelak muncul pertentangan bahwa kata tirtadhatu terdengar “kurang keren” jika dibandingkan hidrogen. Kedua, dianggap terlalu jawasentris.

Saya memaklumi protes-protes seperti ini. Oleh sebab itu, saya malah senang apabila banyak orang ikut urun andil dalam mencari istilah paling pas untuk hidrogen di Bahasa Indonesia. Misalnya ramai-ramai kita membedah KBBI. Siapa tahu ketemu kata indah di sana untuk menggantikan hidrogen.

Jangan asal comot kata

Eits, tapi jangan asal pakai sebuah kata untuk menggantikan hidrogen. Setidaknya, kita perlu paham konteks. Kenapa begitu?

Beberapa orang cenderung menerjemahkan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia secara kata per kata. Mereka nggak memerhatikan konteksnya lebih jauh. Padahal, kalau dipikir-pikir, penerjemahan itu erat kaitannya dengan konteks. Kalau nggak sesuai, ya kita jelas bakal terjun bebas ke lembah kesalahan penerjemahan.

Misalnya gini:

Ada kata dalam Bahasa Inggris yang punya makna tumpang tindih. Bahkan, makna sebuah kata bisa dibagi menjadi dua jenis, yaitu primer dan sekunder. Apa bedanya?

Makna primer adalah saat kata tersebut digunakan sendirian. Single. ‘Jomblo’. Namun, ia bisa juga memiliki makna sekunder ketika bergabung dengan kata lain dan menciptakan konteks baru.

Misalnya, kata run dalam Bahasa Inggris. Kita tentu tahu bahwa kata ini berarti ‘lari’ di Bahasa Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam kalimat sederhana “They are running together.” Sampai di sini, sepakat ya?

Tapi, apa jadinya kalau kita menemukan kalimat “Your nose runs,” atau “We are running out of time” yang merupakan penggunaan kata run sebagai makna sekunder? Memangnya, kamu mau menerjemahkannya dengan “Hidungmu lari-lari” dan “Kita melarikan waktu” di Bahasa Indonesia?

Oleh sebab itu, arah dan tujuan Bapak Revi Soekatno memilih kata tirtadhatu untuk menggantikan hidrogen di Bahasa Indonesia jadi jelas. Selain kata tersebut terdengar indah, konteksnya juga pas.

Yah, pada akhirnya, semua ini hanya sebatas saran dari saya. Paling tidak, Bahasa Indonesia itu punya produk budaya dalam bentuk ragam bahasa yang nggak minder di depan bahasa asing. Lagian keren juga kan kalau dilafalkan: tirtadhatu. Hidrogen.

BACA JUGA Musabab Kita Kerap Gagal Menggunakan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Muhammad Hafidz

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version