Karl Marx Tu Awardee Permanen Beasiswa Friedrich Engels Lho, Maaf Sekadar Mengingatkan - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal PemiluBARU
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal PemiluBARU
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Beranda Esai

Karl Marx Tu Awardee Permanen Beasiswa Friedrich Engels Lho, Maaf Sekadar Mengingatkan

Geger Riyanto oleh Geger Riyanto
25 Mei 2020
0
A A
antikapitalis kok pakai produk kapitalis Karl Marx Tu Awardee Permanen Beasiswa Friedrich Engels Lho, Maaf Sekadar Mengingatkan

antikapitalis kok pakai produk kapitalis Karl Marx Tu Awardee Permanen Beasiswa Friedrich Engels Lho, Maaf Sekadar Mengingatkan

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Sejarah Karl Marx ini harus diingat lho. Terutama buat kaum yang suka ngritik, “Mengkritik kapitalisme kok pakai produk kapitalis.”

Menjadi juru kritik di hadapan netizen +62 mensyaratkan Anda lebih tabah dibanding hujan di bulan Juni.

Anda terjaga semalaman. Jam-jam berharga Anda raib buat menyusun argumentasi penolakan tenaga kerja asing. Kepala Anda mengebul tak henti-henti sebagaimana rokok Anda. Bagaimana caranya menolak mereka tanpa terdengar seperti nasionalis yang lebih banyak mengembuskan sumpah serapah ketimbang napas? Bagaimana menyadarkan orang-orang bahwa kedatangan TKA akan memperbanyak tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri tanpa perlindungan, menjadi buruh lapisan bawah, serta melemahkan urgensi pemerintah untuk meningkatkan pendidikan?

Jam tujuh pagi, tulisan Anda kirimkan. Matahari sudah menyelinap masuk melalui ventilasi. Anda membaringkan tubuh dengan lega dan letih lantas, tak lama, terlelap. Ketika Anda terbangun, tulisan Anda sudah terbit. Anda senyum-senyum sendiri karena di Twitter tulisan tersebut berseliweran di mana-mana. Seketika, mimik Anda berubah kala menjumpai tanggapan-tanggapannya.

“Bacot aja kritik TKA. Paling penulisnya masih pakai Xiaomi,” tulis akun @dijaaambret.

“Ngomong doang. Laptop yang dipakai penulisnya dirakitnya juga di China,” cuit @presidenterindah.

Baca Juga:

Di Cina, Karl Marx dan Adam Smith Saling Memanfaatkan MOJOK.CO

Di Cina, Karl Marx dan Adam Smith Saling Memanfaatkan

18 Juli 2022
Yang Anarko Bisa Lakukan ketika Job Demo Sepi

Yang Anarko Bisa Lakukan ketika Job Demo Sepi

2 November 2021

Percayalah, saya tahu apa isi kepala Anda sekarang. Anda sedang mengabsen satu-per satu penghuni kebun binatang. Anda pun bukan cuma tak tidur satu malam sebenarnya—Anda sudah kehilangan hitungan berapa malam Anda harus bergadang ketika mengenyam ilmu ekonomi bertahun-tahun. Akun-akun dengan avatar comotan dari Google Images itu tak mau tahu.

Dan percayalah, sebagai kolumnis lapak di sisi kiri jalan yang menggunakan Macbook, saya paham dengan perasaan yang dialami tokoh Anda. Saya semata memilih laptop ini karena wejangan kakak saya yang amat masuk akal. Selagi ada tabungan, saya sebaiknya membeli perangkat kerja utama yang tahan banting, efisien, dan bisa digunakan buat waktu yang lama. Selagi bisa, saya ingin energi saya terpakai untuk menulis dan membaca ketimbang marah-marah dengan layar biru atau kerusakan peranti keras komputer saya. Tentu saja, netizen tak mau tahu.

“Ih, laptopnya Macbook,” timpal salah seorang penonton acara diskusi yang melibatkan saya suatu waktu. Sang penonton mengatakannya seakan saya memiliki sesuatu yang nista.

***

Jujur saja, sampai dengan hari ini saya masih tertatih-tatih memahami bagaimana logika oknum-oknum yang baru saya singgung bekerja. Mungkin bagi mereka, pengkritik haruslah pertapa yang tinggal di gunung, puasa empat puluh hari empat puluh malam, tidur di atas batu dan turun ke peradaban cuma di malam bulan purnama.

Saya tidak sarkas. Saya belum memulai sarkasme saya, tepatnya. Saya berbicara dengan frekuensi pikiran mereka belaka. Kritik seperti apa yang mau terbit dalam kurun waktu yang tepat bila penulisnya harus menghindari apa-apa yang dirakit di China—yang, sederhananya, ia harus menulisnya dengan bulu angsa, mengirimkannya ke media via pos atau burung merpati, dan redakturnya harus mengetik naskahnya dari awal?

Terdengar konyol? Bagus. Pasalnya, sekarang saya mau mengalihkan moncong senapan saya ke tempat lain. Saya mau bilang, orang-orang yang mengaku progresif pun tak lebih baik ketimbang akun-akun Twitter tak jelas itu ketika mereka mencemooh kritik dengan gaya yang sepadan tak mutunya. Cibiran mereka bagai mantra—sederhana, mudah dihafal, dan meletihkan:

“Mengkritik kapitalisme kok pakai produk kapitalis.”

Siap-siap. Saya mau nge-gas. Apa yang bukan bentukan dari kapitalisme hari ini, mylov? Apa yang tak diproduksi dengan laba sebagai orientasi dan membayar buruh di bawah nilai kerja sesungguhnya? Laptop bermerek “Akan Cepat Rusak” yang hari ini beli, besok sudah diopname di mas-mas jasa servis pun dibuat oleh buruh yang diperkerjakan dua belas jam. Telepon genggam sejutaan yang ngos-ngosan buat kuliah daring Zoom sekalipun, baterainya diproduksi lewat eksploitasi penambang anak.

Percayalah, saya mengecam eksploitasi-eksploitasi bejat di atas. Namun, bila ada yang  mendambakan kritik terhadap praktik kapitalisme dihasilkan dengan teknologi-teknologi yang dalam produksinya buruhnya mendapatkan keadilan sempurna—“teknologi nonkapitalis”, insan-insan pemimpi ini bakal bilang—harapan ini ialah harapan yang absurd. Kapan insan-insan pemimpi bersangkutan membayangkan kritik dapat dicetuskan? Tiga puluh empat puluh tahun lagi? Itu pun tidak janji—tak mungkin bila perubahan iklim keburu bikin kita semua ambyar, sumber daya habis dikeruk, dan kolonisasi planet lain cuma mimpi basah pengerek nilai saham Elon Musk.

Dan saya semakin jengkel ketika memikirkan cibiran di atas diucapkan oleh orang-orang yang getol mengutip pikiran-pikiran njelimet obrolan lapak sebelah di makalah kuliah serta komentarnya dalam diskusi kelas. Kalian belajar apa sampai-sampai menganggap kapitalisme seperti sekolah lawan tawuran SMA kalian alih-alih kerangka berproduksi? Bahwa semua atribut yang lekat dengannya harus dijauhi dan kebanggaan akan didapat ketika memamerkan identitas yang berkebalikan dengan kubu lawan?

Izinkan saya menyinggung sepintas idola nomor satu kalian: Karl Marx. Benar, idola nomor satu kalian itu berkepala batu. Benar, Marx menyengsarakan hidupnya sendiri serta keluarganya karena tidak mau mengompromikan pendirian teoretis dan politiknya (dan, saya yakin, kalian merayakan sikapnya yang terkesan sadomasokistis ini). Tapi, ia pun menerima santunan dari sahabatnya yang namanya seperti malaikat untuk menyambung hidup. Tambang uang sahabatnya itu ialah pabrik tekstil keluarganya. Pabrik tekstil keluarga itu menambang uang dengan mengeksploitasi buruh-buruh mereka.

Hanya itulah cara agar Marx tak perlu memberi makan keluarganya dengan batu.

***

Saya tak mengatakan semua boleh dikompromikan. Seseorang tidak berhak berbicara perihal kesejahteraan petani Kendeng, katakanlah, bila ia digaji oleh Heidelberg Cement buat merebut ruang hidup mereka. Namun, ada situasi seperti yang diceritakan Yang Mulia Windu Jusuf di mana kaum progresif bakal tampak dungu bila keputusan-keputusannya dipijakkan pada pertimbangan centil ketimbang substansial.

Frank Capra ialah sutradara Amerika berhaluan politik kanan mentok, tulis Yang Mulia Windu. Capra memuja kapitalisme dan sosok-sosok fasis. Tapi, para penulis skenario kiri tak sungkan bekerja sama dengannya. Ia terbukti paten dalam membesut film melodrama menye-menye dan mau bekerja secara profesional. Berkat kolaborasi ini, lahirlah film-film apik “progresif, prorakyat miskin, dan bau-bau antikorporat”.

Bisakah Anda membayangkan betapa meruginya para penulis skenario ini bila mereka menentang keterlibatan Capra dalam proyek mereka? Bisa? Kini, Anda seharusnya dapat membayangkan betapa banalnya mantra “mengkritik kapitalisme kok pakai produk kapitalis”. Betapa tak ada yang dapat dicapai dengan pernyataan ini selain perasaan superioritas moral pengucapnya.

Saya tak tahu apakah Anda pernah mendengar nama Shofwan Al-Banna. Shofwan adalah sarjana Hubungan Internasional dan dikenal sebagai aktivis di lingkungan Tarbiyah. Ia gigih dalam membela Palestina, dan dalam menyuarakan kritiknya ia tak ragu mengambil inspirasi dari Marx atau teori Hubungan Internasional Marxian (dengan fasih, tidak seperti beberapa bapak tentara yang pernah populer di media sosial). Saya dengar, pendiriannya ini mengundang pandangan miring dari lingkungannya. Tentu saja. Di sejumlah kelompok muslim tertentu, Marx adalah subjek kebencian tanpa pandang bulu. Komunisme tidak padan dengan Islam dan itu final.

Orang-orangan kiri, saya yakin, menganggap opini miring terhadap Shofwan tak masuk akal. Shofwan memberdayakan teori Marxian sebagai perkakas buat mendedah bagaimana penindasan terhadap satu umat dilanggengkan. Apa salahnya? “Dasar picik! Puritan!” saya membayangkan satu dari antara mereka, Awkarno katakanlah namanya, berkomentar. Percayalah, mereka lebih perlu berkaca ketimbang mengadili para pengadil Shofwan.

Orang-orang belakangan gemar menggunakan ungkapan “sekadar mengingatkan” secara ironis. Saya ingin menggunakannya secara ironis terhadap para penggunanya yang ironis ini. Hanya dengan menjadi awardee permanen beasiswa Yayasan Friedrich Engels, Marx tak perlu menjadi kasir commuter line dan dapat khusyuk mengerjakan karya-karyanya. Saya tak perlu lagi mengejakan satu per satu dampak dari tulisannya.

Maaf, sekadar mengingatkan.

BACA JUGA Kalau Semua Buku Kiri Disita, Gimana Nasib Mahasiswa Sosial Politik, Pak? dan tulisan Geger Riyanto lainnya.

Terakhir diperbarui pada 23 Mei 2020 oleh

Tags: das kapitalKapitalismeKarl Marx
Geger Riyanto

Geger Riyanto

Artikel Terkait

Di Cina, Karl Marx dan Adam Smith Saling Memanfaatkan MOJOK.CO
Esai

Di Cina, Karl Marx dan Adam Smith Saling Memanfaatkan

18 Juli 2022
Yang Anarko Bisa Lakukan ketika Job Demo Sepi
Esai

Yang Anarko Bisa Lakukan ketika Job Demo Sepi

2 November 2021
marketplace
Esai

Memahami Jerat Pikat Marketplace kayak Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee

25 Agustus 2021
Sosialisme itu Miskin, Kapitalisme itu Kaya: Heh Bacot, Kita Sama-sama Tak Berdaya soal Kerja!
Esai

Sosialisme itu Miskin, Kapitalisme itu Kaya: Heh Bacot, Kita Sama-sama Tak Berdaya soal Kerja!

28 Mei 2020
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Mengingat Kebahagiaan Saat Kecil. Kesederhanaan yang Ternyata Menyenangkan

Honda Karisma Produk Gagal? Bodo Amat, Ini Bukti Cinta Memang Perlu Diperjuangkan

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

po bus mojok.co

5 PO Bus AKAP Terbaik Versi Kementerian Perhubungan 

6 Februari 2023
Surat Cinta untuk Warga Solo: Jangan Ulangi Problem Pariwisata Jogja MOJOK.CO

Surat Cinta untuk Warga Solo: Jangan Ulangi Problem Pariwisata Jogja

4 Februari 2023
antikapitalis kok pakai produk kapitalis Karl Marx Tu Awardee Permanen Beasiswa Friedrich Engels Lho, Maaf Sekadar Mengingatkan

Karl Marx Tu Awardee Permanen Beasiswa Friedrich Engels Lho, Maaf Sekadar Mengingatkan

25 Mei 2020
Blak-blakan Reno Candra Sangaji, Lurah 1.000 Baliho yang Sempat Bikin Geger Jogja. MOJOK.CO

Blak-blakan Reno Candra Sangaji, Lurah 1.000 Baliho yang Sempat Bikin Geger Jogja

4 Februari 2023
Malang Kucecwara Kehormatan Arema FC dan Aremania yang Kini Sirna MOJOK.CO

Malang Kucecwara: Kehormatan Arema FC dan Aremania yang Kini Sirna

8 Februari 2023
Analisis Buruknya Crowd Management Konser Dewa 19 di JIS MOJOK.CO

Analisis Buruknya Crowd Management Konser Dewa 19 di JIS

6 Februari 2023
Erick Thohir Diasuh Glory Hunter Pange dan Tsamara Amany MOJOK.CO

Mempertanyakan Mesin B.E.D.A Erick Thohir Asuhan Pange dan Tsamara Amany yang Nggak Ada Bedanya

3 Februari 2023

Terbaru

Aksi klitih terjadi di titik nol kilometer. MOJOK.CO

Aksi Klitih Kembali Terjadi di Jogja, Pelaku Nekat Bacok Korban di Titik Nol Km

8 Februari 2023
khofifah cawapres

Mendulang Suara Lewat Khofifah

8 Februari 2023
pedagang di harlah 1 abad nu mojok.co

Para Pedagang yang Berburu ‘Berkah’ di Resepsi Puncak Harlah 1 Abad NU

8 Februari 2023
Penemuan kerangka manusia, Rabu (8:2:2023) yang diidentifikasi sebagai Kasijo dievakulasi oleh tim forensik kepolisian. MOJOK.CO

Penemuan Kerangka Manusia di Godean, Berawal dari Mimpi Sarjiman

8 Februari 2023
tim sukses kampanye pemilu

Orang-orang Ini Nggak Boleh Ikut Kampanye Pemilu, Kalau Ngeyel Bisa Kena Sanksi

8 Februari 2023
Spiderman dan Cerita-cerita Menyentuh di Resepsi Puncak Harlah Satu Abad NU MOJOK.CO

Spider-Man yang Jalan Kaki 50 Km dan Cerita-cerita Menyentuh di Resepsi Satu Abad NU 

8 Februari 2023
partai hijau indonesia

Mengenal Partai Hijau Indonesia: Suarakan Isu Lingkungan, Anti Mengultuskan Pemimpin

8 Februari 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Podium
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Kunjungi Terminal
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In