Karen’s Diner Sudah Sesuai Budaya Indonesia, Body Shaming Misalnya

Karen’s Diner Sudah Sesuai Budaya Indonesia, Body Shaming Misalnya MOJOK.CO

Ilustrasi Karen’s Diner Sudah Sesuai Budaya Indonesia, Body Shaming Misalnya (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKaren’s Diner dirujak karena salah satu karyawan melakukan body shaming. Eh, bukankah itu sudah sesuai dengan budaya Indonesia, ya?

Baru beberapa hari buka di Indonesia, kedai makanan asal Australia, Karen’s Diner sudah ramai menuai hujatan netizen. Karen’s Diner merupakan restoran yang unik. Alih-alih melayani pelanggan dengan sopan dan ramah, restoran ini justru memberikan pengalaman bersantap yang tidak menyenangkan. 

Anda yang berniat jajan di sini, lebih baik menyiapkan mental terlebih dahulu. Pepatah “Pembeli adalah raja” tidak akan berlaku di sini. Anda makan, bayar, dan dimaki-maki para pelayan.

Body shaming tak pernah diizinkan

Karen’s Diner di Indonesia jadi cibiran netizen. Pasalnya, para pelayan restoran ini dinilai bertingkah norak dan melakukan beberapa aksi yang kurang terpuji. Dua contohnya adalah memasukkan tangan ke dalam minuman pelanggan dan melakukan body shaming. Salah satu pelayan, menggunakan mik di tangan, memaki pelanggan dengan kalimat “Muka lu tuh kayak pantat panci.” 

Dua kejadian itu membuat netizen menilai Karen’s Diner ala Indonesia tidak sesuai dengan konsep sesungguhnya. Memaki dan menyindir menggunakan teknik sarkas atau satire itu hal yang bisa. Namun, para pelayan tidak boleh melakukan body shaming.

Ketika membandingkan video Karen’s Diner Indonesia yang viral dengan video Karen’s Diner Australia, saya langsung sadar kalau mengadopsi konsep restoran ini ke budaya Indonesia bukan perkara mudah. Itulah, sebenarnya, saya nggak bisa ikut-ikutan menghujat Karen’s Diner Indonesia begitu saja.

Saya menemukan satu hal ketika membandingkan yang ala Indonesia dan yang asli. Saya menangkap bahwa Karen’s Diner Indonesia berusaha keras mengadopsi gaya ngajak ribut orang bule. Mereka menggunakan ekspresi verbal yang keras, kasar, dan vulgar. Namun, dalam praktiknya, ternyata hal ini tidak mudah.

Penerapan yang tidak mudah

Salah satu wujud dari penerapan yang tidak mudah terlihat dari bahasa. Misalnya ketika salah seorang pelayan Karen’s Diner Australia mengatakan “Fuck off!” 

Kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, mungkin kata yang paling sesuai adalah ‘persetan’. Atau ketika mereka menggunakan kata dickhead, yang kalau diterjemahkan bebas ke Bahasa Indonesia jadi ‘kepala penis’. Sementara itu, makna kontekstualnya adalah seseorang (terutama laki-laki) yang berkelakuan bodoh. Ada juga kata pricks, yang artinya adalah ‘penis’ atau ‘kontol’ itu sendiri.

Sebagai lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia yang pernah mengikuti mata kuliah Sosiolinguistik selama dua SKS, saya akan coba jelaskan. Tahukah kamu bahwa bahasa memiliki hubungan dengan masyarakatnya? Jadi bisa dibayangkan betapa sulitnya manajemen Karen’s Diner Indonesia untuk menemukan kata-kata makian yang paling kontekstual untuk masyarakat. 

Menurut saya, perbendaharaan kata kasar dalam Bahasa Indonesia itu tidak begitu kaya. Justru kata makian lebih kaya atau bervariasi di khazanah bahasa daerah. Namun, saya pikir, Karen’S Diner Indonesia tentu tidak akan menggunakan kata kasar dalam bahasa daerah. 

Alasannya sudah jelas bahwa menggunakan bahasa nasional akan lebih diterima oleh masyarakat luas. Apalagi Karen’s Diner buka di Jakarta. Beda kalau bukanya di Surabaya. Tentu para pelayan akan lebih sering dan nyaman untuk “cak cuk cak cuk” yang memang sangat kontekstual dengan masyarakatnya.

Bahasa Indonesia miskin kata makian

Kembali ke tantangan menggunakan kata kasar dalam Bahasa Indonesia. Jika mau mengadopsi cara bule Australia memaki pelanggan, nanti jadinya aneh. Misalnya:

“Mbak, mau pesan satu burger.” 

Terus si pelayan menjawab, “Persetan denganmu!” 

Jatuhnya malah Anda seperti sedang berada di percakapan sebuah film Rhoma Irama. Atau coba bayangkan jika pelayannya tiba-tiba bilang: 

“Mau pesan apa, kontol?” atau “Mau pesan apa, goblok?” 

Mungkin ucapan ini terdengar cukup lazim, tapi tidak kontekstual untuk masyarakat Indonesia karena akan terdengar terlalu vulgar. Namun, ucapan tersebut sangat kontekstual di Australia: 

WHAT DO YOU WANT TO EAT, DICKHEAD!” 

Jadi, penggunaan kalimat seperti itu memang tidak masalah dipakai di sana. Makanya, sebenarnya saya tidak kaget kalau Karen’s Diner Indonesia melakukan body shaming.

Budaya kita budaya body shaming

Iya, ketimbang menggunakan kalimat satire atau sarkasme yang lebih rumit, ekspresi sindiran atau makian dalam bentuk body shaming lebih kontekstual di Indonesia. Sudah, akui saja. Nggak perlu sok malu karena jatuhnya munafik apalagi bilang kalau orang Indonesia masih memegang adat Timur banget.

Halah, orang Indonesia itu memang pada umumnya tidak sampai hati menggunakan kata yang sangat kasar. Namun, kita itu suka sekali menyinggung fisik orang lain. 

Lihat saja di televisi. Dari dulu kita lumrah dengan acara yang menampilkan bibir Omas jadi bahan ejek-ejekan. Beda dengan bule, mereka memang lebih cenderung menggunakan kata-kata vulgar dalam bahasa mereka atau menyindir dengan kalimat sarkas/satire.

Bagi saya, masyarakat Indonesia itu memang lucu orangnya. Budaya sopan santun yang adiluhung menjauhkan mereka dari ngomong vulgar. Namun, lidah kita bisa dengan lincah melakukan body shaming. Aneh sekali. Kita jadi cenderung mengungkapkan sisi ketidakramahan secara tidak langsung misalnya dengan membawa-bawa kondisi fisik seseorang. Itulah budaya kita. Sekali lagi, akui saja.

Jangan cuma body shaming, dong

Hal lucu lainnya adalah meskipun tahu kalau makan di Karen’s Diner akan mendapat perlakuan tidak mengenakkan, mereka tetap saja tersinggung beneran alias baper. Maumu itu apa?

Jadi, sebenarnya saya cukup mengapresiasi usaha Karen’s Diner dalam membuat murka pelanggannya sendiri. Menurut saya, usaha Karen’s Diner untuk melakukan body shaming itu sudah kontekstual untuk masyarakat Indonesia.

Nah, kalau boleh memberi saran, Karen’s Diner jangan cuma menyinggung urusan fisik. Mereka perlu menerapkan salah satu budaya luhur lainnya dari orang Indonesia, yaitu sok tahu dan ngurusin ranah privat orang lain. Satu paket itu. Pasti lucu banget.

Pernah lho saya lagi beli gorengan malah diceramahi oleh penjualnya karena belum menikah. Awalnya, si penjual bertanya apakah saya masih kuliah atau sudah kerja, sudah nikah atau belum. Saya ladenin, dong, mengingat si penjual itu bertanya dengan ramah.

Namun, ujungnya, si penjual terus mengejar, “Kenapa belum nikah? Nggak takut jadi perawan tua?” Sangat menyebalkan ketika ranah privat kita diinvasi seperti itu.

Ada kejadian lagi ketika saya ditanyain sama penjual nasi uduk. “Kenapa kuliah di swasta? Kok nggak di negeri?” Seolah-olah saya kurang cerdas gitu karena kuliah di swasta.

Karen’s Diner sudah mengambil langkah tepat 

Iya, Karen’s Diner sudah benar. Nggak perlu mengadopsi budaya Barat mentah-mentah kalau memang tidak cocok. Toh budaya luar belum tentu cocok dan bagus kalau diterapkan di sini. 

Tanpa perlu memaki, pelayan harus mempertahankan bahasa yang sopan dan ramah ketika melakukan body shaming. Bisa juga basa-basi dulu deh, lalu ujungnya meledek ranah privat pelanggan. Saya jamin Karen’s Diner bakal sukses besar di Indonesia.

BACA JUGA 7 Orang yang Cocok Jadi Karyawan Karen’s Diner Indonesia dan pemikiran menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Krisnasari Willoughby

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version