MOJOK.CO – Jalaluddin Rumi, Imam Bukhari, sampai Imam Ghazali dibesarkan oleh ibu yang luar biasa. Sosok penentu di balik layar bagi umat Islam pada masa selanjutnya.
Al-Quran memerintahkan kaum beriman untuk menghormati kedua orang tua mereka selama mereka hidup (QS Al-Isra’ [17]: 23). Namun perkataan Nabi Muhammad saw. menekankan kewajiban seseorang terhadap kedua orang tuanya lebih bayan lagi.
“Berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu, sebab hanya dengan begitulah anak-anakmu nanti akan berbuat baik kepadamu, dan jagalah kesucian dirimu, sebab hanya dengan begitulah istrimu akan terjaga kesuciannya.”
Walaupun kedua orang tua harus dihormati dan dimuliakan, kepada ibulah anak-anak harus mencurahkan cinta mereka karena “surga berada di telapak kaki ibu”.
Menurut sebuah riwayat, seorang pemuda mendatangi Rasulullah saw. dan bertanya, “Siapa yang paling pantas kucintai dan kuhormati?” Nabi menjawab, “Ibumu!” “Dan yang kedua?” “Ibumu!” “Dan yang ketiga?” Nabi pun tetap menjawab “Ibumu!”.
Dan Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi mengingatkan kita, “[Karena] kelembutan ibu berasal dari Tuhan, merupakan kewajiban dan tugas mulia bagi kita untuk berbakti kepadanya.”
Tidaklah mengherankan bahwa ibu memainkan peranan yang sangat istimewa dalam biografi para sarjana besar dan orang-orang suci.
Bagaimanapun juga, anak-anak dibesarkan di bagian rumah khusus untuk kaum perempuan dan dengan perawatan dan perlindungan dari ibu dan para bibi selama tujuh tahun pertama dalam kehidupan mereka. Maka wajarlah jika seorang anak dapat menyerap teladan kesalehan ibunya.
Buku-buku yang dimaksudkan sebagai petunjuk untuk mendidik gadis-gadis belia, seperti Matsnawi, Hiasan Surgawi, mendedahkan banyak ibu (dan saudara-saudara perempuan) para sarjana besar pada periode awal tasawuf yang telah menggunakan seluruh kekayaan mereka untuk membiayai pendidikan yang baik bagi putra-putra (dan saudara-saudara lelaki) mereka.
Salah satu contoh adalah sarjana besar Imam Bukhari (w. 870), kepada siapa kaum muslim sangat berutang budi karena telah mendapatkan kumpulan hadisnya.
Di tahun-tahun selanjutnya, hal ini terkadang menimbulkan keyakinan bahwa gadis-gadis mempunyai suatu kewajiban moral tertentu untuk menyerahkan kekayaan mereka kepada saudara-saudara lelaki mereka, yang, tentu saja, merupakan penyimpangan dari perbuatan baik yang tempo dulu dilakukan dengan sukarela.
Betapa banyaknya pria saleh yang membawa ibu-ibu mereka yang rapuh ke Makkah agar mereka dapat menyelesaikan ibadah haji! Mukjizat yang mereka perlihatkan termasuk menyembuhkan seorang buta atau ibu yang sakit.
Sebaliknya, doa ibu amat-sangat mujarab dan bahkan dapat membawa kembali sang putra yang ditawan atau hilang.
Menurut Annemarie Schimmel dalam My Soul Is a Women: The Feminine in Islam (1995), berbagai biografi mengisahkan kepada kita ada perempuan-perempuan yang terpelajar dan aktif di antara ibu-ibu orang-orang yang saleh.
Salah seorang perempuan macam itu adalah ibu Majduddin Baghdadi (w. 1209), yaitu seorang perempuan dokter yang sukses. Ia berusaha untuk meringankan masa percobaan yang sangat keras yang dihadapi putranya di sebuah biara (ribat) sufi.
Tatkala ia mengetahui bahwa putranya telah diperintahkan untuk membersihkan kakus, ia mengirimkan dua belas orang budak Turki untuk menggantikan putranya mengerjakan tugas itu.
Sang guru menyuruh budak-budak itu kembali sambil mengatakan, “Kamu seorang dokter –jika seseorang datang padamu dengan keluhan pada kandung kemihnya, dialah yang harus minum obat atau apakah kamu akan memberikan obat itu kepada seorang budak Turki?”
Tampaknya sudah ada banyak perempuan dokter yang baik pada masa itu, sebagaimana ada perempuan-perempuan yang meracik obat semacam itu, seperti salep mata dan obat-obat lain yang serupa.
Dalam kenyataannya, anak-anak lelaki dapat dinamai sesuai dengan nama ibunya yang luar biasa. Seperti Ibn Bibi, seorang penulis dari abad ketiga belas di Anatolia, yang ibunya—seorang terpelajar—dijuluki al-munajjimah, “astronom (atau astrolog) [perempuan]”.
Perempuan-perempuan lainnya menjadi model bagi putra-putra mereka melalui kehidupan asketik yang patut diteladani. Yang terkenal dalam hal ini adalah astetik Ibn Khafif (w. 982) di Syiraz.
Sebagai seorang pemuda, dia biasa menghukum dirinya sendiri melalui penderitaan-penderitaan di luar kemampuan manusia biasa dengan berpuasa dan berdoa karena berharap dapat melihat sekilas cahaya surga di malam Laylat ul-qadr, Malam Kemuliaan pada akhir Ramadan.
Ini adalah malam ketika wahyu pertama Al-Quran diturunkan, dan cahaya malam suci ini dianggap akan menyinari dunia. Akan tetapi, bukan dia, melainkan ibunya yang salehlah yang mendapatkan penampakan itu.
Para ibu juga memainkan peranan menentukan dalam biografi orang-orang suci Chisyti dari India utara. Sesungguhnya, para pengunjung perempuan ke pusara Qutbuddin Bakhtiyar Kaki (w. 1235) di Mehrauli di dekat Delhi akan meletakkan karangan bunga di atas kuburan ibunya dan anggota-anggota keluarganya yang perempuan.
Ini dilakukan dengan cara yang sama sebagaimana orang-orang memberikan penghormatan pada makam Burhanuddin Gharob (w. 1338) di Khuldabad di Dekan atau pusara ibu Maulana Rumi di Karaman (Anatolia).
Fariduddin Ganj-i Syakar, “Harta Manis”, tumbuh bersama seorang ibu yang saleh dengan semangat keagamaan yang tinggi dan karena itu, ia menjadi seorang suci yang HEBAT.
Dia menyatakan bahwa seluruh keberhasilannya adalah berkat ibunya, yang diyakini memiliki mukjizat dapat membutakan seorang pencuri yang memasuki rumahnya. Setelah si pencuri bertobat atas perbuatannya yang salah, perempuan itu mengembalikan penglihatannya, dan akibatnya, tentu saja, orang itu masuk Islam.
Murid Farid yang paling hebat, Nizamuddin Auliya di Delhi (w. 1325), melewatkan hari-harinya bersama ibunya yang saleh, yang mendukungnya dalam latihan-latihan spiritualnya.
Dikisahkan bahwa, begitu bulan sabit terlihat, yang menandakan datangnya bulan baru, Nizamuddin biasa meletakkan kepalanya di kaki ibunya untuk mendapatkan berkah menghadapi bulan baru.
Bagaimanapun juga, ia adalah “seorang perempuan yang telah berhasil menggapai Tuhan, seorang Rabi’ah pada zamannya, kebanggaan kaum perempuan di dunia.”
Legenda-legenda juga berkisah perihal mukjizat yang ditunjukkan oleh ibu seorang sufi lain dari India selatan. Tatkala sedang sembahyang sunat minta hujan pada musim kering, sufi itu menarik secarik kain dari sakunya, di mana air hujan dengan segera mulai menetes.
Ketika ditanya tentang rahasia kain ini, dia menjawab, “Itu gaun ibuku!”
Ini mengingatkan kita pada sembahyang minta hujan lainnya yang konon dilakukan oleh bibi pendiri ordo Qadiriyyah, ‘Abdul Qadir Jailani (w. 1166 di Bagdad) yang, ketika sedang menyapu lantai, biasa berseru, “Ya Allah ya Tuhan, aku telah menyapunya, kini tolong Engkau percikkan air ke atasnya!”
Dengan segera hujan pun mulai turun. Bahwa ibu biologis Ibn ‘Arabi pun mengunjungi dan memuliakan “ibu spiritual” putranya, Fathimah binti Al-Mutsannah, adalah suatu kenyataan yang tercatat dalam biografi tokoh besar dari Andalusia itu.
Ini membawa kita, mungkin secara tidak langsung pada peranan penting yang dimainkan oleh ibu penyusu dalam sejarah Islam. Para ibu penyusu di istana-istana kerap kali juga menjadi pelindung seni yang terkemuka.
Dan kita hanya perlu mengingat salinan Al-Quran nan sangat indah, yang dinamakan mushhaf al-hadinah, yang diresmikan oleh pengasuh penguasa Zirid di Tunisia, atau tentang bangunan-bangunan di Lahore, Mandu, dan tempat-tempat liyan yang didirikan oleh kaum perempuan di India muslim.
Di Mandu, sesungguhnya, ada sebuah karya arsitektur yang dibangun pada abad kelima belas, yang masyhur sebagai “Tempat Peristirahatan Adik Perempuan Inang Penyusu”.
Arkian, para sufi tidak hanya menekankan peranan ibu yang saleh dalam literatur mereka, melainkan mereka juga berpaling pada khazanah keibuan untuk beberapa lambang yang mereka gunakan.
Bukankah Tuhan berfirman di dalam salah satu wahyu di luar Al-Quran yang dianggit oleh Imam Al-Ghazali, “Jika hamba-Ku jatuh sakit, Aku akan merawatnya sebagaimana seorang ibu yang penuh welas asih merawat putranya”.
Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.