MOJOK.CO – Polisi membuat blunder fatal dan tidak bisa memperbaiki citranya di kasus represi kepada Sukatani. Inilah saran saya jika menjadi staf PR kepolisian.
Sebelum masuk ke isu duta polisi bagi Sukatani dan menjadi Public Relation (PR) yang baik, ada baiknya kita membekali diri dengan isitilah “Streisand Effect”. Begini kisahnya:
Pada 2003, Barbra Streisand menggugat fotografer Kenneth Adelman dan pictopia.com sebesar 50 juta dolar karena mempublikasikan foto udara rumahnya di Malibu. Foto itu sebenarnya bagian dari proyek dokumentasi erosi pantai. Sebelumnya, foto tersebut nyaris tidak mendapat perhatian. Hanya 6 kali foto tersebut diunduh dan 2 di antaranya oleh pengacaranya sendiri.
Namun, gugatan Streisand justru menarik perhatian media. Hal ini membuat foto rumahnya viral dan jutaan orang akhirnya melihat foto tersebut. Alih-alih melindungi privasinya, upaya Streisand malah seperti memperkenalkan rumahnya ke dunia.
Streisand kalah dalam gugatan. Lantas, kasus ini melahirkan istilah “Streisand Effect” untuk fenomena sensor yang berujung sebaliknya. Itulah pengantar untuk Bapak Kapolri dan jajaran polisi di Indonesia ketika menanggapi Sukatani.
Polisi dan usaha memperbaiki citra di kasus represi kepada Sukatani
Saat ini, polisi tengah berjibaku dengan citra yang makin merosot selepas isu Sukatani. Kepercayaan publik kian kering, kritik yang berhamburan, dan kehadiran mereka di ruang digital kerap jadi bahan olok-olok.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), POLRI adalah institusi pemerintah dengan anggaran promosi media sosial terbesar. Tahun 2020 saja, mereka menggelontorkan Rp937 miliar untuk citra digital. Hasilnya? Jauh dari kata memuaskan.
Upaya lain yang dilakukan adalah menggandeng televisi. Tayangan seperti “86” menampilkan operasional kepolisian dalam menangani kriminalitas. Tujuannya: transparansi dan profesionalisme. Apakah efektif? Belum. Beberapa kali tayangan ini malah mengundang cela dari masyarakat yang beranggapan tayangan tersebut terlalu bernuansa glorifikasi hingga melanggar privasi tersangka.
Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, mengingatkan pentingnya pendekatan humanis. Polisi bukan sekadar penegak hukum, tapi juga pelayan masyarakat. Respons cepat dan empati diperlukan agar tak makin terjerembab.
“Jika tidak segera ditangani, akibatnya bisa fatal. Hal yang sama berlaku pada polisi, ada banyak situasi darurat yang memerlukan tindakan cepat,” kata Anam.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun menginstruksikan jajarannya untuk membuka akun khusus guna menerima aduan masyarakat. Strategi lain untuk menunjukkan bahwa polisi mendengar.
Namun, ketika band punk Sukatani mengunggah video permintaan maaf kepada pihak polisi atas lagunya yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”, masyarakat geram. Permintaan maaf itu terasa hambar, setengah hati, dan lebih mirip titipan.
Tapi seperti yang sudah-sudah, upaya pembungkaman semacam ini hanya menyalakan api. “Bayar Bayar Bayar” malah makin sering diputar diam-diam, dilipatgandakan, dan dinyanyikan.
Sukatani, yang tadinya “cuma” band punk lokal Purbalingga, kini mendapat dukungan luas. Streisand Effect bekerja dengan sempurna. Semakin dilarang, semakin diburu. Semakin dilarang, semakin punk!
Jangan bereaksi berlebihan
Seandainya menjadi staf PR polisi, langkah pertama yang akan saya sarankan adalah tetap tenang di tengah kritikan. Respons yang agresif atau upaya hukum yang berlebihan bisa memicu perhatian lebih besar. Seperti yang terjadi di isu represi kepada Sukatani.
Meminjam strategi Jenderal Francisco Franco, seorang diktator fasis Spanyol yang memerintah dari tahun 1939 hingga 1975. Dia tidak mengambil sikap keras terhadap orang Catalan yang kala itu gemar membangkang dan ingin merdeka dari Spanyol.
Jadi, Franco memberikan kebebasan penuh bagi orang Catalan. Misalnya, untuk melemparkan hujatan, mengibarkan bendera Catalan, meneriakkan kemerdekaan, atau memaki pemerintah. Pokoknya bebas, selama itu semua dilakukan di dalam stadion, ketika Barcelona sedang bertanding.
Di buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola: Kajian Tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi, Franklin Foer menjelaskan bahwa Barcelona, bagi orang Catalan, sejatinya adalah mas que en club. Ia lebih dari sekedar klub.
Barcelona adalah simbol perlawanan dan kebangaan nasionalisme orang Catalan. Maka, dengan cerdiknya, Franco membebaskan orang-orang Catalan yang benci terhadap dirinya untuk meluapkan sumpah serapah dan hujatan selama itu dilakukan di dalam stadion.
Tanpa disadari, Franco sedang mengamalkan sebuah pendekatan psikologis yang dipopulerkan oleh Sigmund Freud, yaitu teori katarsis. Dengan membiarkan orang Katalan mengekspresikan emosi yang terpendam di dalam stadion, mereka bisa mengalami katarsis, yaitu pelepasan ketegangan emosional. Akhirnya, hasrat revolusi berhasil diredam melalui sebuah acara olahraga yang tidak membahayakan.
Polisi bisa meniru cara Franco. Alih-alih membungkam protes, biarkan saja masyarakat menyalurkan kemarahan melalui lagu Sukatani. Masyarakat menemukan katarsis, Polisi tinggal menebalkan kuping biar nggak tersinggung.
Hilangkan kebiasaan polisi bikin “duta” sesuatu
Ketika kegeraman publik kepada polisi memuncak, salah satu bahan lelucon yang muncul adalah soal “duta”. Saat itu, banyak yang menunggu Kapolri menawari Sukatani status sebagai “duta polisi”. Orang banyak tidak memandang hal ini sebagai bentuk penghormatan kepada Sukatani.
Jadi, orang banyak menunggu hal ini karena ingin menertawakan polisi secara ramai-ramai. Semuanya lantaran mainan status duta ini tidak ada manfaatnya. Polisi justru seakan-akan ingin memberi sesuatu supaya rakyat lupa akan esensi dari sebuah isu ini.
Remotivi menjelaskan fenomena ini dengan baik. Jadi, menurut hegemoni Gramsci, kekuasaan juga bisa ditegakkan memakai persetujuan (consent). Menjadikan Sukatani sebagai duta adalah taktik dalam komunikasi krisis untuk membuat publik lupa terhadap akar masalah sesungguhnya.
Ketika berhasil menjadikan Sukatani sebagai duta, polisi mencoba mengalihkan perhatian kita dari masalah utama (sensor lagu dan represi) ke isu lain (penobatan sebagai duta). Ini untuk membangun narasi bahwa mereka mendukung kebebasan berekspresi.
Sudahlah. Duta judi online, duta narkoba, dan lain-lain apakah melahirkan manfaat bagi rakyat? Nyatanya, judi online masih kencang dan narkoba tidak menghilang. Yang muncul cuma olok-olok. Sudah. Nggak usah main duta-dutaan.
PR terbaik sedunia tidak bisa menutupi produk cacat
Langkah terakhir yang akan saya sarankan ini paling penting dan tidak bisa ditawar. Perbaiki kinerja seluruh jajaran kepolisian. Berusahalah jujur dan transparan!
Di dunia bisnis, PR yang paling cemerlang sekalipun tidak akan bisa menutupi cacat pada produk. Pada dasarnya, kepercayaan bukan soal kata-kata manis dalam konferensi pers, melainkan pengalaman nyata.
Polisi harus dasar bahwa kita hidup di era, di mana satu postingan di medsos, bisa membunuh reputasi lebih cepat daripada siaran pers bisa menyelamatkannya. Dan mereka sudah merasakannya langsung di isu represi kepada Sukatani.
Sebuah perusahaan atau institusi bisa saja meluncurkan kampanye pemolesan citra bernilai milyaran rupiah. Namun, jika produk yang disajikan cacat, maka tidak ada yang bisa membendung masyarakat untuk berbagi pengalaman dan menuliskan review mereka di media sosial.
Jika masalahnya ada di langkah yang terlalu represif, kebijakan yang tidak etis, atau layanan yang buruk, tidak peduli seberapa indah dan licin narasi yang dibangun, masyarakat akan tetap kecewa. Keluhan masyarakat bukan lagi berkas yang bakal menghilang di gudang arsip, ia akan abadi dalam bentuk jejak digital.
Penulis: Armandoe Gary Ghaffuri
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Mengantar Bayar Bayar Bayar Sukatani ke Pemakaman dengan Sukacita dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
