MOJOK.CO – Baru dilantik, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis langsung bikin kontroversi ketika menyebut istrinya hanya dipersilakan mengurus sumur-dapur-kasur. Kalis Mardiasih menunjukkan letak permasalahan pernyataan itu.
Biasanya saya mengomel perihal kesetaraan gender dan tetek bengeknya kepada akhi-akhi atau umi-umi, tapi hari ini, derajat kegugupan saya berlipat, sebab saya akan menyampaikan unjuk rasa kepada Bapak Idham Azis, Bapak Kapolri yang baru saja ditunjuk Pak Jokowi untuk menggantikan Pak Tito Karnavian.
Sebelum memulai unjuk rasa ini, ada baiknya saya memulai dengan perkenalan baik-baik. Halo, assalamualaikum, Pak Idham. Saya Kalis Mardiasih. Saya penulis biasa yang sama sekali tidak berbahaya dan tidak punya maksud apa-apa kecuali menyampaikan pendapat secara bermartabat lewat tulisan. Jadi, jangan ditilang, eh jangan disemprit ya, Pak.
Nganu, Pak. Soal pernyataan Bapak yang “3 -ur” kemarin itu. Bapak bilang, Bapak sudah sejak dulu mendidik istri agar fokus mengurusi sumur, dapur, dan kasur saja. Khawatir kalau istri Bapak dapat bintang 4,5 melebihi bintang bapak yang seorang jenderal polisi.
Saya sudah baca juga jawaban versi Ibu Fitri Handari, istri Bapak. Ibu bilang, sudah terbiasa tidak cawe-cawe urusan suami. Ibu lebih hobi berolahraga saja.
Saya menghormati apa pun pilihan perempuan. Jadi, saya sebetulnya tidak bermasalah jika Ibu memang senang-senang saja mengurus sumur, dapur, dan kasur. Meskipun saya yakin, Bu Fitri pasti tidak pernah mompa sumur apalagi nimba. Lha wong pancen wis jamane air PAM je. Kalau yang dimaksud ngurusi kasur artinya Bu Fitri rajin ganti seprai seminggu sekali, nah ini patut dijadikan teladan.
Tapi bukan itu alasan keberatan banyak perempuan soal pernyataan Pak Kapolri. Masalahnya, pendapat soal bagaimana perempuan mesti berperan yang tidak boleh punya bintang melebihi suaminya itu dikeluarkan sebagai pernyataan publik. Secara tidak langsung, hal itu memperlihatkan bagaimana perspektif pejabat publik terhadap perempuan.
Pak Idham pasti sudah tahu bahwa beberapa tahun belakangan, Pak Tito Karnavian melibatkan lebih banyak kerja-kerja polisi wanita di ruang publik. Di acara televisi, polisi perempuan tampil sebagai juru bicara yang menjelaskan tugas kepolisian kepada masyarakat.
Polisi perempuan juga rajin hadir di acara-acara reality show sebagai strategi sosialisasi. Meski wajah polwan yang tampil di televisi kok ndilalah kebanyakan cakep-cakep, saya tetap khusnuzan mbak polwan itu tidak dipekerjakan semata karena cantik, tapi karena memang punya kemampuan dan cakap dalam berkomunikasi di hadapan publik.
Kehadiran polisi perempuan di media ini secara perlahan berhasil mengubah wajah institusi kepolisian menjadi lebih akrab dengan masyarakat. Diakui atau tidak, stigma institusi kepolisian adalah maskulin. Tak sekadar maskulin, kalau mau dijelaskan lebih lagi, persepsi publik terhadap kepolisian ya maskulin yang nyerempet kekerasan. Lha gimana, senjatanya saja bedhil. Tapi kehadiran perempuan membuat stigma itu sedikit berkurang.
Di jalanan, polisi perempuan pun semakin banyak hadir untuk kerja-kerja penertiban lalu lintas. Saya tidak tahu ada datanya atau tidak, tapi strategi ini saya dengar juga berpengaruh terhadap ketertiban masyarakat di jalanan. Masyarakat konon lebih malu melanggar peraturan kalau dilihat bu polwan. Lebih-lebih kalau mau nyogok, malunya dobel-dobel. Mosok ya bilang nyogok di hadapan bu polwan, mau dikemanakan harga diri ini?
Begitulah, Pak Idham Azis, Kapolri baru yang saya hormati. Peran perempuan dalam institusi yang Bapak pimpin ternyata berpengaruh sekali. Bintang yang diperoleh perempuan tentu saja sama bobotnya dengan tanda bintang di pundak laki-laki kan, Pak?
Oiya, selain itu, kesetaraan gender juga masuk dalam prioritas pencapaian pembangunan berkelanjutan dalam SDGs (Sustainable Development Goals) 2030 lho, Pak. Memang banyak orang yang salah paham dalam memahami kesetaraan gender, seperti banyak juga orang yang salah paham dalam memahami pembangunan.
Pembangunan tentu saja bukan cuma soal ekonomi dan infrastruktur. Pembangunan nggak bisa terwujud kalau aktor pembangunan alias sumber daya manusia juga nggak ikut terbangun. Pembangunan juga nggak akan terwujud kalau perempuan tertinggal di belakang.
Sekali lagi, kita sudah menuju tujuan pembangunan global per tahun 2030 yang membayangkan dunia dibangun oleh laki-laki dan perempuan yang setara. Gimana mau membangun kalau perempuannya disuruh fokus ngurus sumur, dapur, dan kasur? Padahal sekarang sudah eranya semua sektor politik, ekonomi, sosial, budaya melibatkan kerja-kerja perempuan dan terbukti hasilnya lebih baik. Oya Pak, kerja-kerja perempuan di bidang perdamaian juga menyumbang banyak cerita mengharukan di berbagai daerah konflik di Indonesia, loh.
Sumur-dapur-kasur sebetulnya netral jika tidak hanya dibicarakan sebagai kewajiban. Sumur-dapur-kasur adalah simbol domestik yang melambangkan hak khusus. Ini mengingat hak dalam konteks domestik dapat berperan mengurangi angka kematian ibu melahirkan, angka gizi buruk, atau angka kekerasan dalam rumah tangga. Jadi sumur-dapur-kasur juga soal penting.
Salam, Pak Kapolri baru. Selamat bertugas. Salam saya untuk mbak-mbak polwan keren di seluruh negeri!
BACA JUGA Bacaan untuk Fachrul Razi Sebelum Beneran Larang Cadar (dan Celana Cingkrang) atau esai KALIS MARDIASIH lainnya.