MOJOK.CO – Anak Farmasi ditanya soal bikin sabu, anak TI dimintain nge-hack. Ini kenapa deh permintaannya kriminal semua?
Bukan satu dua kali saya mendapat pertanyaan seperti di judul. Ya, kurang lebih jumlah kalinya setara dengan rangking Alexa Mojok. Bagi penanya yang demikian, anak Farmasi itu tidak lebih dari bisa-bikin-reaksi-apa pun tanpa membedakan bahwa urusan mendestilasi senyawa prekursor menjadi sabu-sabu bisa dilakukan juga oleh jurusan lain seperti Teknik Kimia atau bahkan bisa dilakukan oleh yang tidak berpendidikan sekalipun asalkan diajari.
Padahal, rentang pekerjaan yang bisa dilakukan oleh anak Farmasi itu jauh melampaui ekspektasi bikin sabu-sabu. Anak Farmasi seharusnya ada dalam setiap rantai pasokan mulai dari sekadar serbuk hingga sebuah obat ditelan pasien. Nyatanya, saya punya teman yang bekerja di perusahaan importir bahan baku obat, di pabrik obat, hingga punya istri yang juga anak Farmasi, yang kerjanya memastikan bahwa obat yang akan ditelan sama pasien di depan matanya itu benar-benar membawa kebaikan.
Ngomong-ngomong soal asing-aseng dan boikot-boikotan, saya kasih tahu saja, sebenci apa pun kita dengan Tiongkok dan India, kita tidak akan bisa memboikot keduanya dalam urusan bahan baku obat mengingat lebih dari 90% bahan baku obat itu impor dan atas nama harga murah, Tiongkok dan India adalah pemimpin pasarnya. Emangnya budaya doang yang bisa diimpor?
Menjadi anak Farmasi itu juga berarti siap menempuh jalan sunyi. Walaupun di banyak kampus jurusan Farmasi terbilang jurusan elit, akan tetapi hidup sebagai mahasiswa maupun lulusan Farmasi nyatanya jauh dari kata elit.
Mahasiswa Farmasi, misalnya, harus menghadapi tekanan inferioritas sekaligus tekanan dari mayoritas. Mahasiswa Farmasi tidaklah mudah disebut macho apabila disebelahkan dengan mahasiswa Teknik. Pada sisi lain, mahasiswa Farmasi adalah andalan bagi para mahasiswi untuk melakukan aktivitas-aktivitas krusial yang tergolong hina atau geli jika dilakukan oleh mahasiswi, seperti: angkut drum, menyuntik tikus, hingga memberikan sampel pipis guna uji patologi.
Bagian ini paling menyebalkan bagi saya: ketika ada teman wanita yang tidak pernah menyuntik tikus sama sekali memperoleh nilai A untuk mata kuliah Praktikum Farmakologi, sementara saya yang tiap pekan harus berurusan dengan makhluk hidup itu justru dapat C. Pedih, Kak.
Mahasiswa Farmasi harus mendapati fakta bahwa mereka memang berbahagia di antara para wanita dalam proporsi 1:3 hingga 1:25, tetapi para wanita itu lebih memilih lelaki dari jurusan lain. Ataupun kalau jadinya sama-sama Farmasi juga, itu tiada lebih dari keberhasilan mbribik adik kelas maupun tresno jalaran seko ora ono sing liyo, khusus bagian ini biasanya Nomor Induk Mahasiswa sepasang kekasih itu urut-urutan.
Mahasiswi Farmasi? Tidak mudah juga. Perkara kecantikan, jelas kalah ciamik daripada anak Ekonomi maupun Psikologi. Sekarang apa guna dandan kalau ujung-ujungnya berakhir dalam balutan jas laboratorium tengah dikelilingi mencit yang bau eeknya membahana? Begitu sudah kerja pun, kalau kebetulan ketiban di pabrik, gadis-gadis Farmasi malah dilarang pakai make–up, takut menyebabkan kontaminasi pada produk yang dibuatnya.
Meski di perkuliahan tampak elit dengan passing grade nan tinggi, anak Farmasi—terutama di Indonesia—harus berhadapan dengan sederet prahara soal bidang pekerjaan. Dalam bidang kesehatan, kemitraan setara antara dokter dan apoteker masih menjadi pekerjaan rumah. Selain fakta bahwa sebagian anak Farmasi adalah makhluk hidup yang gagal tes di fakultas kedokteran, di dalam pekerjaan juga masih sering ada stigma bahwa lulusan Farmasi itu kerjanya ya hanya mengambilkan obat sesuai resep dokter.
Kalau misalnya anak Farmasi berkarier di pabrik, juga ketabrak dominasi jurusan lain. Mau eksis di perencanaan produksi, ada anak Teknik Industri yang jelas lebih mantap dibandingkan anak farmasi yang hanya menerima 2 SKS teori manajemen logistik. Mau di R&D, ada anak Teknik Kimia yang terang benderang lebih kuat modal reaksi sana-sini. Paling bedanya, anak Farmasi akan fokus di perusahaan-perusahaan farmasi yang jumlahnya tidak sampai 500 se-Indonesia, sedangkan anak Teknik Kimia bisa jauh lebih luas, mulai dari cairan pembersih lantai hingga cairan yang harganya mau disamakan sama Jokowi se-Indonesia, bahan bakar minyak (BBM).
Demikian pula dengan apoteker yang bekerja di apotek, mengerjakan satu siklus kegiatan apotek yang tidak hanya ribet dari sisi perizinan dan pelaporan, tetapi juga aspek bisnisnya. Gaji kecil, utamanya di daerah-daerah yang padat benar jumlah apoteknya, telah menjadi permasalahan menahun. Ini belum termasuk soal apotek yang 10 tahun belakangan hobinya sebelah-menyebelah kayak Alfamart dan Indomaret.
Jadi PNS? Waduh, apa lagi ini. Memilih jurusan Farmasi otomatis mengecilkan peluang untuk menjadi PNS karena lowongan PNS akan terbuka lebar untuk jurusan-jurusan yang umum seperti Hukum atau Akuntansi. Sespesialis apa pun jurusan Hukum, gelarnya tetap S.H. dan nyaris seluruh instansi butuh manusia bergelar S.H. Nyatanya, ada teman saya S.H. hukum agraria yang malah jadi auditor di instansi yang sama sekali tidak mengurusi tanah.
Dengan berkuliah di Farmasi, otomatis ladang pekerjaan tinggal dipersempit ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan dan perangkatnya—termasuk rumah sakit, dinas kesehatan, dan sedikit formasi yang tersedia di Badan Narkotika Nasional (BNN) atau Kementerian Keuangan, sebagaimana yang nongol di rekrutmen terakhir. Lumayan banyak, tapi jelas tidak akan sebanyak kebutuhan seluruh Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah se-Indonesia pada pemegang gelar S.E. untuk menjadi pengelola keuangan maupun S.H. untuk penyusun perundang-undangan.
Walau begitu, sebenarnya jadi manusia bergelar sarjana farmasi itu tidak suram-suram banget kok. Terutama bagi lulusan yang langsung diserahi apotek sama bapaknya begitu dia lulus.
Banyak juga teman saya yang moncer kariernya sebagai manajer di berbagai perusahaan farmasi di Indonesia. Ada beberapa teman saya yang sukses jadi kontraktor. Serta tidak sedikit teman saya yang bekerja di bank.