Program Kampus Mengajar Menguak Sisi Gelap Sistem Pendidikan Sebuah Sekolah Dasar di Kabupaten Bandung

Kampus Mengajar Menguak Sisi Gelap Sebuah Sekolah Dasar MOJOK.CO

Ilustrasi Kampus Mengajar Menguak Sisi Gelap Sebuah Sekolah Dasar. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSetelah mengikuti program Kampus Mengajar, saya malah menemukan sebuah sisi gelap sebuah sekolah di daerah Kabupaten Bandung. Miris!

Kampus Mengajar merupakan salah satu program dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Adalah Nadiem Makarim yang membentuk program ini. 

Jadi, di dalam program ini, kampus menerjunkan mahasiswa ke berbagai satuan pendidikan. Mulai dari SD, SMP hingga SMK untuk memberikan kontribusi nyata dan belajar langsung dari lapangan. 

Secara konseptual, Kampus Mengajar ini bertujuan meningkatkan literasi dan numerasi bagi siswa. Mahasiswa membantu membuatkan program kerja dan sistem pembelajaran yang menarik. 

Sayangnya, di lapangan, tidak jarang mahasiswa malah menjadi sumber “tenaga gratis”. Mereka seolah-olah menggantikan guru dan melaksanakan Praktik Kependidikan (PK) atau Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Padahal bukan itu tugas Kampus Mengajar.

Makanya, program ini pada akhirnya malah membuka borok dan sisi gelap sebuah sekolah dasar di Kabupaten Bandung. Tulisan ini murni pengalaman saya pribadi, salah satu peserta Kampus Mengajar angkatan 6 tahun 2023.

Ironi sekolah dasar yang berada di lokasi strategis

Saya adalah alumni angkatan 6 dan bertugas di sebuah sekolah di Kabupaten Bandung. Singkat cerita, lokasi sekolah ini sebetulnya sangat strategis. Oleh sebab itu, sebetulnya saya berharap banyak sebelum menempuh program Kampus Mengajar ini.

Namun, yang terjadi jauh dari bayangan saya. Selama 4 bulan bertugas, lantaran sekolahnya cukup strategis, tingkat kualitas sekolah seharusnya cukup tinggi.

Soal bangunan sekolah? Wajar kalau saya berharap bangunannya ya standar, punya perpustakaan yang bisa jadi basecamp, dan lain sebagainya. Namun, fasilitas di sekolah ini terbilang menyedihkan.

Misalnya, ruang guru dan kantor kepala sekolah berada di ruangan yang sama dan terbilang sempit. Selain itu, perpustakaan sekolah menjadi satu dengan ruang kelas aktif. Sudah begitu kelas dan perpustakaan tidak punya langit-langit karena belum lama ini ambrol, sesuai penuturan penjaga sekolah.

Kondisi siswa yang bikin peserta Kampus Mengajar prihatin

Soal siswa, saya menebak kalau mereka paling mentok belum lancar perkalian. Namun nyatanya di luar dugaan saya dan teman-teman. 

Jadi, masih banyak siswa yang belum bisa membaca, bahkan buta alfabet. Saya mencatat beberapa kenyataan yang memprihatinkan.

Misal, ada 2 murid kelas 6 yang masih buta huruf. Benar-benar buta huruf karena alfabet saja mereka belum menguasainya. Mereka ini masih sering tertukar antara huruf b dan d, tidak mengetahui bentuk huruf y, w, dan berbagai hal “gila” sekaligus menyedihkan lainya. 

Lalu, di kelas 5, masih terdapat 1 orang siswa yang belum lancar membaca. Di kelas 4, ada 2 siswa yang belum bisa membaca. Untuk kelas 3, terdapat 3 siswa yang belum bisa membaca dan kelas 2 banyak sekali siswa yang belum bisa membaca. 

Jadi, sekitar 40% siswa kelas 2 belum bisa membaca dan mengenal huruf. Untuk siswa kelas 1? Saya tidak perlu menjelaskan karena mereka masih dalam tahap belajar membaca.

Baca halaman selanjutnya: Sebuah program yang malah menguak sisi gelap sebuah sekolah.

Beberapa asumsi saya sebagai peserta Kampus Mengajar

Melihat kondisi yang memprihatinkan itu, saya membuat beberapa asumsi. Tentu saja bisa benar, bisa juga salah.

Jadi, keprihatinan ini bisa jadi karena sistem pendidikan dari pusat yang terlalu menekan kepala sekolah dan wali kelas. Ada semacam “keharusan” bagi siswa untuk terus naik kelas. Entah karena tekanan sosial di mana kepala sekolah berusaha menghindarinya.

Mungkin kepala sekolah khawatir sekolah mendapat cap buruk dari masyarakat sekitarnya. Terutama ibu-ibu yang menyekolahkan anaknya di sana.

Selain itu, menurut saya, kualitas guru dan kepala sekolah sangat mempengaruhi standar kualitas siswa. Terkadang, kita perlu mempertanyakan tanggung jawab kepala sekolah dan guru-guru dalam mendidik. 

Hal ini karena dari total 8 guru yang ada, hanya segelintir yang memiliki dedikasi dan tetap berintegritas. Rasanya mereka lebih bersemangat untuk membahas wacana “makan-makan” dan bermain. Mereka seperti enggan untuk berdiskusi mengenai program kerja Kampus Mengajar.

Sementara itu, kepala sekolah juga tidak tertib hadir di sekolah. Jangankan menunggu hingga jam pelajaran selesai. Saya saja bisa menghitung kehadirannya dalam satu minggu dengan jari.

Saya sering mengajar kepala sekolah untuk diskusi tentang program Kampus Mengajar. Saat itu, saya ingin meminta saran dan bantuan. Namun, selalu saja saya tidak mendapatkan solusi dan obrolan beralih arahnya kepada wacana yang lebih “ringan”. 

Hingga akhirnya, program kerja Kampus Mengajar berjalan tanpa bantuan dan kerja sama. Terutama dari pihak guru selaku “pemimpin kelas”, yang paling mengerti kondisi sosial anak didiknya. 

Kami bukan mahasiswa yang sedang PPL

Beruntungnya, dosen pendamping selalu bisa memberikan trigger bagi kami untuk terus “bekerja”. Akhirnya tim kami bisa untuk cukup keukeuh menjalankan program kerja Kampus Mengajar secara mandiri. 

Setiap tim Kampus Mengajar yang mencoba berdiskusi dengan guru kelas selalu mengalami kesulitan. Hal ini terjadi karena tidak ada koordinasi dari kepala sekolah terhadap seluruh guru. Mereka akhirnya merasa bahwa kami akan menggantikan jam mereka di kelas. Ujungnya malah jadi “perintah” untuk menggantikan peran mereka di kelas. 

Tim kami menganggap bahwa kepala sekolah dan seluruh guru tidak mengerti sepenuhnya bahwa Kampus Mengajar berbeda dengan PPL yang menggantikan guru kelas secara utuh. Kampus Mengajar kan memberikan inovasi dan “udara segar” untuk sistem. Harapannya, kualitas literasi dan numerasi siswa akan meningkat. 

Kami juga bukan pengganti guru

Jadi, sebelum program Kampus Mengajar berjalan, ada pertemuan dengan kepala sekolah. Kami dan dosen pendamping sudah berulang kali menjelaskan bahwa pihak sekolah harus terlibat menjalankan sistem dan program kerja.

Selain itu, kami juga sudah membuat Forum Komunikasi dan Koordinasi Sekolah (FKKS). Di forum ini, kami memaparkan program Kampus Mengajar kepada seluruh guru dan kepala sekolah sendiri. Mereka berhak menyanggah/mengganti program kerja yang tidak sesuai kebutuhan. 

Nah, saat FKKS, pihak sekolah menyetujui seluruh program kerja. Tidak ada tidak ada kritik maupun saran dari mereka. Yang ada hanyalah penegasan. Bahwa kami selaku tim Kampus Mengajar harus siap untuk menggantikan guru, melatih upacara, melatih pramuka, dan melaksanakan tugas lain yang tidak ada kaitanya dengan peningkatan literasi dan numerasi.

Catatan akhir

Setelah program Kampus Mengajar selesai, ada rasa bangga yang saya rasakan. Jadi, terasa perbedaan setelah kami memberikan “sentuhan” kepada seluruh kelas.

Jadi, kami melakukan mekanisme tes Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Tes ini adalah instrumen penilaian untuk mengukur keberhasilan kami membantu meningkatkan literasi dan numerasi.

Awalnya, tes AKM untuk kelas 5 cukup menyedihkan. Namun, di akhir penugasan, post-test AKM literasi dan numerasi menunjukkan peningkatan signifikan dalam bidang literasi. Yah, meskipun dari sisi numerasi hanya terdapat sedikit peningkatan.

Setelah mengikuti Kampus Mengajar, mata saya terbuka. Saya jadi paham bahwa ada sebuah sekolah, yang lokasinya strategis, tapi instrumen SDM di sana tidak optimal.

Kalau di dekat kota besar saja menyedihkan begini, bagaimana dengan sekolah lain di daerah terpencil?

Guru yang tidak sepenuh hati ternyata bukan narasi palsu. Kepala sekolah yang merupakan pemimpin tertinggi dan pengambil keputusan harus memiliki kapabilitas dan visi untuk memajukan sekolah. 

Terakhir, kalau di 2024 saja masih ada sekolah seperti ini, apa kabar cita-cita Indonesia emas 2045? Sehat-sehat, dik.

Penulis: Ardiansyah Mujahid Akbar Nurislam

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 3 Hal yang Bikin Saya Merasa Ngenes Saat Ikut Program Kampus Mengajar dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version