Tidak semua mahasiswa di sini hidup hedon dan meramaikan coffee shop
Memang ada orang-orang yang bergaya perlente di kampus ini. Namun, yang nyandhang biasa masih banyak.
Banyak teman saya yang hidup sebagai mahasiswa kupu-kupu. Hidup hemat dan tidak dikit-dikit ke coffee shop. Yah karena kendaraan nggak ada juga, sih.
Tapi itu melegakan saya. Kantong saku Jogja bagian kulon ini, mengkis-mengkis untuk mengikuti gaya hidup mahasiswa yang Instagramable. Kalau kata teman saya, “Anak ISI sekarang udah perlente semua, nggak kaya dulu. Zaman sudah berbeda.” Tapi tidak untuk sebuah kampus di Jogja ini.
Bahkan, beberapa ada yang dandannya lebih nyeni dari anak seni. Ya gitu, rambut gondrong, celana sobek, pakai anting-anting, sedikit dekil, dan sebagainya.
Sebuah kampus di Jogja yang bagus untuk bertumbuh
Kalau mau jujur-jujuran sebenarnya enaknya kuliah di swasta ekonomis (bukan swasta elite) itu punya peluang tumbuh yang besar. Kalau kata dosen saya sih, “Tidak peduli kamu dari universitas mana, yang paling penting bagaimana kita menempa diri kita untuk mendapatkan yang terbaik.”
Sebenarnya, jujur yang saya maksudkan di atas juga berarti tingkat persaingan di sebuah kampus di Jogja ini sini tidak sesanter di universitas negeri atau universitas yang lebih besar. Setidaknya bagi orang yang kepalang ingah-ingih, lingkungan memberi angin segar.
Jadi, kita boleh saja tidak sepandai mahasiswa di kampus lain. Namun, di sebuah kampus di Jogja ini, kita justru malah bisa menjajal “hal-hal biasa” hanya bisa dirasakan oleh orang-orang top di kampus lain. Jadi, kesempatan untuk berkembang itu sama.
Jumlah mahasiswa di sebuah kampus di Jogja yang nggak terkenal
Jurusan saya adalah jurusan yang paling sedikit mahasiswa. Prodi di angkatan saya hanya beranggotakan total 12 orang.
Barang tentu kami seangkatan satu kelas. Ini membuat proses pembelajaran lebih intim. Sangat cocok bagi manusia kayak saya yang energinya cepat habis kalau terlalu lama kumpul sama manusia.
Jumlah mahasiswa yang sedikit malah membuat semua anggota kelas berpartisipasi aktif. Ya, karena kekurangan anggota. Nggak ada istilah, “Biar diurusin yang lebih bisa sajalah.” Tidak.
Bisa tidak bisa harus ada yang pegang tugas itu. Contohnya membuat seni pertunjukan. Saya harus siap ubet dan memegang beberapa beban walau saya bukan orang terpandai.
Dosen kami itu kece
Setidaknya sudah 2 kali saya bersekolah di swasta. Swasta yang isinya nggak terlalu semangat belajar. Yang muridnya kepalang bandel dan banyak tingkah.
Tapi di situlah saya menemui dosen-guru yang luar biasa. Terlalu biasa guru-dosen mengajari muridnya yang sudah pandai dan ambisius dalam belajar. Tapi kalau dosen-guru mendampingi-memupuk semangat belajar muridnya yang layu itu yang tidak mudah.
Alhamdulillah, saya “menemukan” mereka. Oleh sebab kesaksian saya atas jasa besar para pendidik, tidak bisa tidak, saya juga mengharapkan gaji mereka yang layak. Ayolah pak pemerintah, masak nggak tahu keadaan ini?
Begitulah kira-kira gambaran mengenyam pendidikan di sebuah kampus di Jogja yang nggak terkenal. Kalau kata saya sih, kampus buluk kesayangan.
Sebab di sinilah saya mulai merasa lebih hidup. Ditumbuhkan, tumbuh, dan mencoba menumbuhkan. Terima kasih Universitas Respati Yogyakarta.
Penulis: Sayidah Chovivah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sengaja Gagal di Kampus Terkenal Pilihan Ibu demi Kuliah Kampus Swasta Jogja dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












