Kalau Orang Indonesia Omong Soal Papua, Mereka Omong Apa?

Kalau Orang Indonesia Omong Soal Papua, Mereka Omong Apa?

Kalau Orang Indonesia Omong Soal Papua, Mereka Omong Apa?

MOJOK.COMenteri Sosial Tri Rismaharini tengah dikecam karena menyiratkan Papua sebagai tempat membuang ASN tak cakap. Menurut kontributor Mojok ini, ya emang gitu orang Indonesia di luar Papua. Kalau ngomong soal Papua bisanya ngomong keterbelakangan saja.  

Beta orang Indonesia dan beta mau jujur terhadap beberapa hal. Ini akan lebih mengarah pada bagaimana beta dan katong orang Indonesia ni lihat daerah Timur dan orang-orang yang ada di sana. Ini juga sebagai tanggapan untuk pernyataan Ibu Menteri Sosial Tri Rismaharini yang bilang mau buang ASN malas ke Papua.

Beta akan lebih banyak cerita tentang bagaimana beta sendiri mengalami berbagai hal yang ada kaitannya dengan daerah Timur. Meski ini pengalaman pribadi, beta yakin ini bisa dikonfirmasi atau bahkan diakui juga dalam pengalaman orang lain. Ini semua karena persoalannya sederhana, ada hal yang kita orang Indonesia sepakati dalam diam ketika kita orang berbicara soal daerah Timur. Untuk lebih spesifik, beta akan omong soal Papua. Setelah itu, beta akan mencoba memperlihatkan ini sebenarnya pertanda apa.

Omong soal Papua, omong soal keterbelakangan

Sepanjang yang beta pernah alami selama hidup, tidak pernah terlintas obrolan tentang Papua sebagai suatu daerah yang maju. Hal yang paling sering beta dengar itu terbentang dari hal remeh temeh sampai hal yang cukup serius seperti politik. Beta akan mulai uraikan apa yang sudah disebutkan sebelumnya.

Hal paling remeh soal sikap orang luar Papua ketika berhadapan sama orang Papua.

Pace, ko pake koteka ka? Pertanyaan ini disusul dengan tertawaan. Pace, ko minum sagero (minuman keras) kuat to? Tertawaan juga menyusul. We, Pace, ko kalau jalan malam itu tidak kelihatan eee. Kalian punya muka ni mirip semua. Ko badan bau eee, Pace.

Beta yakin, ini pernah terjadi di percakapan sehari-hari kita orang kalau bahas Papua.

Lalu, kita orang berangkat ke hal yang lebih besar. Hal-hal politis, pendidikan, juga ekonomi. Beta rasa kita orang tahu, beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia memberi suatu julukan baru terhadap satu kelompok orang Papua, yaitu teroris. Kalau su baca ini, beta yakin su ada yang ancang siap-siap bela pemerintah. Silakan. Beta rasa itu sonde masalah.

Tapi, supaya tahu saja, teman beta yang asli Papua sempat bercerita bahwa ketika dia jalan-jalan, orang juga panggil dia teroris. Terakhir kali julukan teroris ini juga disematkan terhadap satu kelompok masyarakat, orang Islam. Beta rasa kita orang Indonesia tahu, orang Barat di sana ketakutan dan curiga dengan orang Islam. Beta rasa kita orang Indonesia sedang menjadi orang Barat yang sama toh. Tapi, beta rasa kita tidak akan pernah pusing peduli, yang penting NKRI harga mati toh!?

Terus soal pendidikan lai, beta pernah diskusi dengan beta punya kenalan yang tenaga pendidik. Dia dengan begitu yakin bercerita ke beta bahwa orang Papua yang dia didik nakal dan bodohnya minta ampun. Dia juga dengan terus mengatakan bagaimana misi pendidikannya di Papua punya tujuan membuat mereka lebih beradab. Di sini beta tertegun. Sepertinya orang Papua dianggap begitu tidak beradabnya. Beta juga pernah lihat dan alami langsung, betapa warna kulit hitam yang beta punya ini jadi dicurigai dengan penuh kebodohan. Beta juga pernah lihat langsung betapa mahasiswa Papua ditertawakan setiap kali mulai bicara.

Itu semua lantas jadi basis legitimasi kita orang untuk memberi pendidikan ke orang Papua. Tapi, apa bisa pendidikan dengan anggapan orang kulit hitam ini bodoh bisa membebaskan? Seberapa relevan pendidikan itu untuk lingkungan sekitar orang Papua? Sejarah yang kita orang baca saja sejarah Indonesia yang tidak ada Papuanya, kecuali bagian kalau Papua harus dibebaskan orang Indonesia Barat.

Soal ekonomi, beta rasa ini juga mirip. Papua itu miskin, sonde ada infrastruktur, internet sonde ada. Lalu kebijakan otsus muncul. Lalu pembangunan digenjot di sana. Lalu, banyak janji manis soal pariwisata. Apa yang muncul setelah semua itu? Hampir-hampir sonde signifikan. Otsus bikin perpecahan. Pembangunan jalan itu utamanya mengarah kepentingan aksesibilitas perusahaan. Pas internet ada, diputus dengan alasan agar hoaks tidak menyebar (alasan itu dipakai Menkominfo pas memutus internet ketika ada kerusuhan Papua 2019). Pariwisata ada, tapi lihat sa nanti, mirip-mirip Labuan Bajo: yang bisa akses ya orang kaya. Orang Papua jadi apa, beta rasa sudah jelas jawabannya.

Di titik ini saja, beta rasa kita orang Indonesia ni sudah terlalu sering mengaitkan Papua dengan hal-hal yang sifatnya terbelakang. Mulai dari sifat orang-orangnya maupun keadaan serta lingkungan hidup di sana. Beta rasa ini menusuk sekali.

Beta pernah iseng tanya ke beberapa kenalan beta orang non-Papua, “Kira-kira kalau Papua pisah lu setuju ko sonde?” Jawabannya beragam, tapi ada satu jawaban yang menurut beta bikin beta pung hati tambah sedih. Ada yang bilang Papua sonde boleh merdeka karena dia belum pergi ke Raja Ampat dan menikmati indahnya alam di sana. Siooo mama eee. Tanahnya kita orang mau, tapi orang trada.

Kita orang sudah harus lebih sadar

Apa yang Bu Risma bilang soal ASN malas dibuang ke Papua itu bukan hal baru. Kita orang juga sering punya asumsi seperti itu. Pertama, kita perlu mengakui itu. Kita itu rasis sekali sama orang Papua. Mau secara struktural maupun kultural. Struktural itu dari kebijakan, kultural dari cara kita orang bergaul sehari-hari dengan mereka. Sonde usaha menyangkal lai.

Kedua, kita orang juga harus sadar, dari segi infrastruktur pembangunan, memang orang Papua banyak kurangnya, tapi kira-kira siapa yang bertanggung jawab di sana? Pemerintah toh? Atau, mau kasih tanggung jawab ke masyarakat Papua lai? Di sini, seharusnya kita orang su harus malu karena kita orang juga bertanggung jawab terhadap stigma terbelakang yang kita orang beri ke orang-orang Papua tersebut.

Kalau kita ju masih batu, sonde apa-apa. Sonde ada masalah. Beta sonde bisa protes. Tapi, beta rasa, cepat atau lambat, rasisme orang Indonesia ini, yang terus dipelihara oleh pemerintah melalui berbagai macam stigma dan kebijakan ekonomi-politik, akan berujung pada semakin menguatnya perasaan berbeda yang tumbuh di dalam diri setiap anak Papua. Kalau mereka su teriak ingin pisah, beta rasa itu wajar, karena tempat mereka bukan di sini. Kunto Aji punya lagu “Sulung” bagus untuk orang Indonesia kalau mereka su pisah. Cukupkanlah ikatanmu. Relakanlah yang tak seharusnya untukmu.

BACA JUGA Mewakili Kesalnya Vanuatu kepada Negara Saya Sendiri dan esai Oktaviano N.G. lainnya.

Exit mobile version