Kalau Lulus Beasiswa LPDP, Emang Berapa Duit yang Kamu Dapat?

Kalau Lulus Beasiswa LPDP, Emang Berapa Duit yang Kamu Dapat?

Kalau Lulus Beasiswa LPDP, Emang Berapa Duit yang Kamu Dapat?

MOJOK.COSudah jadi rahasia umum beasiswa LPDP itu adalah peluang dapat pemasukan yang menggiurkan. Emang dapet duit berapa sih?

Konon, cuma ada tiga pekerjaan paling aman (anti dipecat, tidak dipotong gaji, dan tidak dianggap melihara babi) selama pandemi ini di muka Bumi. Pertama, PNS; kedua, pegawai BUMN; ketiga, penerima Beasiswa LPDP.

Sebelum ini, saya pernah dua kali menulis tentang beasiswa LPDP. Pertama adalah tips lolos seleksinya, dan kedua, tanggapan soal apakah penerima beasiswa ini boleh mengkritik pemerintah.

Di tulisan ketiga ini saya mau sedikit memberikan testimoni selama menjadi penerima manfaat beasiswa LPDP. Apa saja privilese yang saya dapatkan beserta kewajiban-kewajiban yang harus saya lakukan.

Sebagai konteks, saya adalah awardee (sebutan keren dari penerima beasiswa) LPDP dalam negeri yang sudah menjalani kuliah selama 1 tahun. Seperti maba pada umumnya, saya sempat kecewa karena tidak bisa merasakan (((atmosfer))) kuliah di kampus karena perkuliahan dilaksanakan dalam sistem daring.

Awalnya saya pikir kekecewaan terbesar yang saya alami akibat kuliah daring adalah karena tidak bisa mengakses fasilitas kampus khususnya perpustakaan, tetapi setelah saya dikasih tahu kalau kuliah S2 ada coffee break-nya, rasa kecewa saya jadi lebih tinggi dari sebelumnya. Heh.

Setelah menjalani satu tahun kuliah, barulah saya menyadari bahwasanya I’m living my best life dengan skema kuliah daring ini. Saya jadi nggak perlu ngekost, merasakan macet-macetan di Jakarta, dan yang paling penting, saya masih bisa merawat (dan dirawat) oleh ibu, saya jadi tidak perlu khawatir kelaparan karena beliau selalu menyediakan makanan ketika otak saya hanya punya ruang untuk memikirkan jawaban ujian.

Tidak pernah sebelumnya dalam hidup saya, merasakan keleluasaan dalam melakukan apa pun yang saya inginkan. Saya bisa belajar tanpa diliputi sedikitpun kekhawatiran.

Saya bisa membeli buku yang saya butuhkan, mengikuti semua seminar dan pelatihan berbayar yang saya inginkan, beli software analisis data yang harganya lumayan, bisa ke psikolog tanpa mengeluarkan sedikit pun uang, dan terakhir, saya bahkan bisa nabung karena kuliah online bikin saya nggak boros seperti jika saya ada di perantauan.

Sebagai tambahan, menjadi awardee juga memperpanjang nafas saya dari pertanyaan-pertanyaan (yang sebenarnya lebih mirip tekanan) terkait kapan rencana saya untuk menikah, atau apakah saya sudah bekerja di perusahaan dengan ekspektasi gaji kelewat tinggi karena itu semua bisa diselesesaikan dengan jawaban, “saya masih sekolah Om/Tante, hehe.”

Oh, inikah indahnya menganggur sekolah sambil dibayarin negara? ~

Apa yang saya tulisan di sini terlihat begitu indah dan menyenangkan. Too good to be true, lah ~ Tapi benarkah demikian? Jangan-jangan aslinya…

…ya memang indah dan menyenangkan, soalnya gratis, Sist!

Kalau bayar sendiri nggak ada indah-indahnya, apalagi buat prekariat kayak saya, bisa S2 ya cuma bakal jadi mimpi aja karena kuliah S2 di Indonesia tuh mahaaal (apalagi di luar negeri, wqwq).

Untuk bisa kuliahin saya di kampus dan jurusan yang sekarang (beda kampus, beda jurusan, beda-beda besaran biayanya, btw), LPDP setidaknya harus membayar:

Uang pendaftaran/tes masuk 1 juta sebanyak 1 kali

Uang pangkal/Gedung 15 juta sebanyak 1 kali

Uang semester 13 juta sebanyak 4 kali (Total 52 juta)

Dana tunjangan buku 10 juta sebanyak 2 kali (Total 20 juta)

Dana penelitian untuk tesis 15 juta sebanyak 1 kali

Itu saja sudah 100 juta lebih. Belum lagi dana biaya hidup bulanan yang jumlahnya 4 juta per bulan sebanyak 24 kali (Total 88 juta), belum ditambah biaya asuransi BPJS kelas 1, dana kedatangan ke kampus tujuan yang nilainya 2 kali biaya hidup bulanan, dan dana darurat lain, yang jika ditotal ada lah 200 juta.

Itu baru kampus dalam negeri. Untuk kampus luar negeri, totalnya bisa dikalikan mmm 5 atau bahkan 10 kali tergantung negara dan kampus tujuan.

FYI aja, awardee di kampus Amerika, Australia, Inggris, Jepang, dan negara top tier lain, (((dana biaya hidupnya))) aja rata-rata di atas 20 juta. Dana bantuan tesisnya juga dua kali lipat dari awardee dalam negeri.

Lebih ngeri lagi kalo jadi awardee program doktoral. Selain dapat biaya hidup untuk diri sendiri, juga bisa dapat dana tunjangan keluarga, dan tentu saja, dana disertasinya bisa sampai 60-75 juta (program doktoral dalam negeri), dan 120-150 juta (program doktoral luar negeri).

Selain bayarin kuliah, LPDP juga ngasih insentif berupa dana bantuan seminar internasional kalau misal kita jadi pembicara di seminar internasional, dan dana bantuan publikasi jurnal internasional jika artikel ilmiah kita terbit di jurnal dengan kategori Q1 dan Q2.

Terakhir, LPDP juga ngasih insentif kalau misal kita lulus lebih cepat—minimal enam bulan lebih cepat dari seharusnya.

Pokoknya LPDP berani membayari semua keperluan kuliah kamu, seberapa mahal pun itu. Syaratnya cuma dua: diterima di kampus yang dituju dan, tentu saja, diterima di seleksi LPDP-nya.

Nah, itu bagian yang enak-enak-nya. Sekarang bahas yang eneg-eneg-nya biar seimbang.  Di sini saya mau ngutip perkataan dari Uncle Ben Spiderman—dengan sedikit perubahan, “Remember, with great money comes great responsibility.”

Kalian pernah mikir nggak kenapa sih Kementerian Keuangan, lewat LPDP kok mau-maunya ngeluarin uang ratusan juta, bahkan miliaran buat nyekolahin satu orang yang belum jelas gimana kontribusinya buat negara?

Mana per Januari 2020, mengutip dari laman resmi LPDP, udah ada hampir 25 ribu orang lagi yang jadi penerima beasiswanya? Sebenernya apa sih yang negara harapkan?

Kalau melihat intisari statistik pendidikan tinggi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2020, jumlah orang yang bisa menempuh pendidikan S2 cuma 318.789 orang aja. Yang bisa sampai S3 jumlahnya lebih sedikit lagi, cuma 44.099 orang.

Jika di-breakdown lebih lanjut, dalam laporan statistik itu disebutkan kalau orang yang lanjut dari S1 ke S2 cuma sebanyak 4.46%. Dan dari jumlah 4.46% itu, yang bisa lanjut ke jenjang S3 cuma 13.86% aja. Dengan kata lain, orang Indonesia yang beneran kuliah dari S1, lanjut ke S2, dan selesai di S3 jumlahnya hanya 0,62% aja.

Itu jumlah yang sangat sangat sangat sedikit mengingat jumlah penduduk Indonesia tuh nomor 4 terbesar di dunia. Mana dari jumlah yang sangat sedikit itu kemungkinan mereka lulus semua juga nggak 100%. Masih ada kemungkinan putus kuliah karena berbagai alasan.

Artinya, lulus kuliah S2—apalagi sampai S3 adalah privilese yang sangat luar biasa. Dan privilese ini harus jadi beban biar yang kuliah dibayarin LPDP sadar diri dan nggak seenaknya sendiri.

Dengan daftar dan diterima beasiswa, artinya secara sadar kita menandatangai kontrak untuk membuat perubahan agar bikin negara setidaknya menjadi sedikit lebih baik. Masa iya kita nyaman-nyaman sendiri sementara yang bayarin sekolah (rakyat melalui pajaknya) kesusahan seumur hidupnya. Dikira LPDP yang punya Mbahmu, hah?

BACA JUGA Jatah Beasiswa Luar Negeri Bikin Kamu Berpeluang Banyakan Gaya atau tulisan Nia Lavinia lainnya.

Exit mobile version