MOJOK.CO – PKB minta 10 kursi menteri. Nasdem minta 11 kursi. Padahal kursi kabinet cuma 34. Hm, apa Jokowi perlu bentuk Kabinet 100 Menteri biar semua senang?
Hajatan Pilpres 2019 telah selesai, KPU telah menetapkan secara resmi Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wapres untuk periode 2019-2024. Tanggal 20 Oktober mendatang mereka akan dilantik. Tentunya, tak lama kemudian diumumkan Kabinet Kerja jilid II.
Lalu siapa saja yang ketiban sampur menjadi menteri? Lebih banyak menteri parpol, atau menteri profesional demi zaken kabinet?
Jauh sebelum hari pelantikan Presiden dan Wapres, Ketum PKB, Muhaimin Iskandar sudah menyentil, semoga partainya dapat 10 kursi menteri di kabinet. Kepada ibu-ibu minta didoakan, agar keinginan partainya “orang NU” ini terkabul. Artinya, Presiden Jokowi mau kasih 10 jatah kursi menterinya untuk PKB. Yah, syukur-syukur kalau lebih.
Cak Imin merasa punya alasan untuk itu. Pertama, perolehan kursi DPR di Pileg 2019 kemarin lumayan banyak, sampai 58 kursi. Dan kedua, kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin sampai 55,50 persen (85.607.362 suara) diklaim kebanyakan dari suara kaum Nadliyin.
Ini belum menimbang soal suksesnya KH. Ma’ruf Amin menjadi Cawapres Jokowi kan berkat manuver Ketum PKB, Muhaimin Iskandar pula.
Andaikan tanpa manuver Cak Imin, sehingga Mahfud MD tetap dipertahankan sebagai Cawapres—menurut Cak Imin tentunya—Jokowi akan kalah di Pilpres 2019 kemarin.
Bahkan paling jumawa, blio dulu pernah bikin pernyataan, “Jika Cawapresnya bukan saya, Jokowi akan kalah!”
Hm, rupa-rupanya mantan Menaker-nya SBY itu yakin betul kalau kaum nadliyin semua berada di gerbong PKB.
Toh faktanya sekarang, Jokowi-Ma’ruf Amin menang, maka Cak Imin pun merasa layak dan pantes saja minta jatah 10 kursi di kabinet. Blio kan perlu memberi reward pada kawan-kawannya di PKB, agar mereka bisa “nempil kamukten”.
Soalnya mereka telah keluar banyak keringat di Tim TKN demi memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin. Siapa tahu, iya siapa tahu, caleg-caleg PKB yang tak lolos ke Senayan bisa tetep masuk sebagai menteri.
Partai Nasdem tertawa mendengar maunya Cak Imin. Jika mengikuti jalan pikiran Ketum PKB, anggota Dewan Pakar Nasdem, Taufikul Hadi, juga ingin partainya dapat 11 kursi menteri.
Sebab perolehan kursinya sampai 59, lebih banyak dari PKB. Jika yang 58 kursi saja dapat 10 kursi, maka wajar saja Nasdem yang dapat 59 kursi DPR juga dapat “bonus” 11 kursi kabinet.
Meski begitu, benar kata Taufikul Hadi, minta jatah kursi menteri sebetulnya tak perlu diumbar ke publik. Kesannya jadi seperti orang kenduri, selesai dibacakan doa oleh Mbah Modin, langsung berebut banyak-banyakan dapat besekan. “Saru,” kata orang Jombang—kampung halamannya Cak Imin.
Bila PKB dan Nasdem minta jatah kursi menteri berdasarkan “kurs” perolehan kursi DPR, bisa saja nanti PDIP peraih kursi terbanyak di Senayan (128) minta 20 kursi, Golkar yang dapat 85 kursi DPR minta 14 kursi menteri.
Belum lagi Partai Demokrat dan PAN yang kabarnya juga akan memperkuat KIK (Koalisi Indonesia Kerja), tentunya minta jatah kursi menteri berdasarkan “kurs”-nya PKB juga.
Rebutan kursi menteri ini bisa saja bikin pusing Presiden Jokowi. Betul memang, penunjukan menteri merupakan hak prerogratif presiden. Tapi realitasnya apakah benar-benar demikian?
Sebagai orang Jawa, jika sudah kadung berutang budi, masak tega menolaknya? Padahal dibagi untuk anggota KIK lama saja, sudah ketemu 55 kursi, sedangkan porsi kursi menteri hanya 34.
Apa mungkin ditomboki dengan beli kursi baru di Klender, Jakarta Timur? Nanti tinggal pilih, yang berkayu jati atau kamper Samarinda? Joknya yang kulit sintetis atau asli kulit lembu?
Bila permintaan PKB dan Nasdem benar-benar serius, ada baiknya atau seyogyanya, Presiden Jokowi membentuk Kabinet 100 Menteri seperti Kabinet Dwikora-nya Bung Karno di tahun 1966 dulu.
Lho, itu kan melanggar UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara? Ah, kan tinggal minta tolong sama Yusril Ihza Mahendra untuk gugat atau uji materi UU ini ke MK. Siapa tahu dikabulkan. Yusril ini, kan jago dia. Menang, menang.
Di sinilah Presiden Jokowi baru bisa bernapas. Bisa mengakomodasi dengan baik seluruh aspirasi parpol anggota KIK lama maupun baru. Selain bisa memasukkan menteri-menteri profesional untuk zaken kabinet, juga bisa menampung menteri-menteri titipan.
Sudah bukan rahasia lagi, komposisi menteri bukan saja disusun oleh Presiden dan Wapres, tapi Megawati Ketum PDIP juga bakal ikut menentukan. Sebab di mata PDIP, presiden yang sekarang kan hanya petugas partai.
Sebagai pengemban amanat Trisakti Bung Karno, maka Presiden Jokowi bisa membentuk kementerian-kementerian pada era Orde Lama. Misalnya: Kementerian Penurunan Harga, Kementerian Iuran Negara sebagai pengganti Ditjen Pajak.
Lalu Ditjen Haji ditingkatkan menjadi Kementerian Haji dan Umroh, Kementerian Urusan Narkotika sebagai pengganti BNN (Badan Narkotika Nasional), Kementerian Penertiban Preman, Kementerian Mudik & Arus Balik, dan bla-bla-bla.
Tuh kan, masih banyak lagi kementerian baru yang bisa dibentuk. Pokoknya bikin aja sampai mencapai target 100 Kementerian. Dengan kabinet 100 menteri, niscaya Presiden Jokowi bakal lebih mudah mengeksekusi segenap program kerjanya lima tahun ke depan. Plus tanpa perlu resofal-resafel melulu.
Cuma resikonya—tentu saja—di kala sidang kabinet terbatas, sesama menteri anggota kabinet tidak saling kenal satu sama lain. Persis kayak jaman Kabinet 100 Menteri Bung Karno dulu.
Lalu di setiap rapat, akan terdengar bisik-bisik kalimat ini, “Maaf, Anda dari partai apa ya? Anu, Menteri apa kalau boleh tahu?”