Ketika Presiden Jokowi mengeluarkan diksi “gebuk” untuk orang kuminis sepekan sebelum Ramadan, “umat” bersorak. Ini “kemenangan” kesekian umat atas berbagai isu politik nasional setelah memenangkan kepemimpinan Jakarta yang “diridai” Allah Swt.
Menurut evaluasi internal partai pengusung Presiden Jokowi, menggebuk (hantu) kuminis adalah jalan keluar yang jitu setelah 44 kekalahan merebut kepemimpinan daerah dalam kontestasi pilkada serentak 2017. Isu kuminislah yang menjadi biang keladi kekalahan; bukannya karena menghina secara harian konstituen petani dan nelayan, atau karena bikin air mata wong cilik di kampung-kampung kumuh perkotaan asat setelah mereka disingkirkan. Dan ini kode keras untuk pilpres 2019 yang tersisa 600 hari lagi.
Apa pun masalahnya, (hantu) kuminis yang harus digebuk. Itu harus dinyatakan seorang presiden. Presiden yang saat kampanye di Yogyakarta pada 2014 tangannya disentuh oleh para penyintas berusia sepuh sembari menitipkan harapan penyelesaian pelanggaran HAM berat dalam tragedi pembantaian 1965. Bukannya harapan mati dengan tenang yang didapat para pinisepuh itu, yang datang malah gebuk. Oh, Tuhan!
Bagi para nasionalis garis keras, sampar kuminis selalu dilempar ke cakrawala politik bukan untuk benar-benar menghalau bangkitnya kuminis itu. “Umat” yang hatinya berbunga-bunga berkat rentetan kemenangan lewat serial demonstrasi sepanjang 2016—2017 juga tahu sama tahu, kuminis itu hanya hantu; sejenis khayalan-seram-tanpa-bentuknya barisan serdadu tua yang takut pengaruhnya tanggal lebih cepat daripada gigi depan mereka.
Memukul kaum nasionalis yang berzirah “NKRI Harga Mati” dengan menghadirkan sampar kuminis adalah fakta historis. Ini taktik lama yang direproduksi “umat” terus-menerus selama lima puluh kali Ramadan. Orang-orang Presiden Jokowi menjawab taktik itu dengan “gebuk” yang diucapkan secara verbal.
Apalah arti guncangan hati dan tangisan para pinisepuh pencari keadilan atas pembantaian massal dibanding ketakutan akan hilangnya kursi di kepemimpinan nasional 600 hari ke depan.
Pantaskah “umat” bangga? Tunggu dulu!
Menggebuk kuminis bisa punya dua sasaran: kuminis betulan atau kamuflase. Dua kubu ini sebetulnya juga tahu sama tahu, tapi menyembunyikannya. Kalangan nasionalis dengan tentara sebagai pemayungnya punya cap yang melekat abadi pada kata “kuminis” itu: sekelompok durjana yang anti-Pancasila.
Di sinilah soalnya, “umat” yang tawaduk dan konsisten mengerek “kuminis” sebagai dagangan politik harian adalah umat yang di hatinya selalu dibisiki suara gaib: garuda kafir, garuda pancasila kafir, gardala kafir!
Umat yang ngomyang kuminis dan garuda kafir sefasih berzikir di sepertiga malam itu betul-betul dalam ancaman yang pasti. Mereka mungkin terperanjat, tapi apa boleh bikin, sebagian dari mereka sedang diburu dan dirontokkan satu-satu dari “jalan dakwah”.
Memang, menyorong kuminis sebagai senjata pendelegitimasian penghuni istana hari ini memang terlihat nyata hasilnya. Buktinya istana kelabakan. Setelah Ibu Kota lepas dari genggaman, partai penjual Sukarnois mesti melakukan rapat internal yang hasilnya menyimpulkan kuminis adalah kartu mati mereka.
Bagi umat pemundak isu garuda kafir, Ibu Kota adalah kunci. Berhasil merebut Jakarta berarti mudah untuk mengambil daerah-daerah lain. Bahkan Jawa Tengah sekalipun yang menjadi basis partai sang Presiden hanya menunggu waktu. Semua itu bisa terjadi tak lain tak bukan karena sumbangan buah “kuminis”. Buah ini selalu menjadi mainan aktual umat, dan teruji berkali-kali menampakkan hasil yang memuaskan.
Begitu pula bagi nasionalis garis keras, buah busuk kuminis yang pernah terbukti menjadi sampar malahan dipelihara untuk memukul para pemrotes.
Ramadan ini merupakan jeda dari perayaan kesuksesan permainan gasing kuminis oleh umat dan kaum nasionalis berzirah “NKRI Harga Mati”. Dua kaum ini ingin berkuasa di atas buah kuminis.
Politbiro PKI yang musnah pada 1965 itu tentu tak menduga sama sekali, pada suatu masa yang panjang mereka sekadar buah pelir simalakama politik Indonesia kiwari di antara dua pejuh karang: kanan dan tengah.