Jogja Adalah Pusat Alam Semesta? Pantas Dunia Ini Ruwet dan Banyak Masalah

Jogja Pusat Semesta? Pantas Dunia Ini Banyak Masalah MOJOK.CO

Ilustrasi Jogja Pusat Semesta? Pantas Dunia Ini Banyak Masalah. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CONgeri juga jika Jogja jadi pusat alam semesta. Bayangin aja klitih, sampah, dan upah rendah menjadi momok dunia. Belum kalau ada survei KTP.

“Lihat nih, Jogja dibilang pusat semesta!” Ujar banyak orang sambil memamerkan sebuah artikel The New York Times. Saya maklumi saja suka cita itu. Ya memang wajar, tidak ada yang lebih menyenangkan selain mendapat validasi romantis. Apalagi di tengah sulitnya hidup di daerah istimewa ini.

Tapi, seperti biasa, romantisasi keterlaluan pasti menyebalkan. Apalagi ketika menyebut “(Yogyakarta) it might be the center of the universe.” Ya pantas kalau dunia ini penuh masalah dan keruwetan tanpa akhir. Banyak kekerasan jalanan dan juga polemik. Belum lagi krisis sampah dan hak pekerja. Pusatnya saja Jogja!

Saya memaklumi antusiasme si penulis. Kayaknya dia belum mengakses seabrek masalah yang dibalut romantisasi. Apa yang si penulis lihat adalah teater indah tentang Jogja. Sedangkan saya (dan kami) melihat dari belakang layar. Menyaksikan ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan yang tertutup dekorasi daerah istimewa dan sumbu filosofis.

Semua daerah bisa seindah Jogja

Saya yakin, tidak semua pengagum Jogja sudah baca artikel The New York Times tersebut. Alasannya sederhana: harus subscribe. Tapi kalau boleh merangkumnya, intinya sama dengan tulisan travel blog. Tentang betapa indah dan eksotisnya Jogja. Tentu sambil salah paham dengan mengira Candi Borobudur ada di Jogja. Mohon maaf, warga Magelang dan Jateng.

Di mata Scott Mowbray, Jogja begitu elok rupawan. Sebuah paduan eksotis dari budaya, pluralisme, dan kuliner yang nikmat. Sebentar, kok mirip dengan destinasi wisata lain ya? Memang! Apa yang indah bagi Mowbray adalah standar destinasi wisata budaya.

Dengan standar kekaguman hanya sebatas “eksotis”, semua daerah bisa membuat Mowbray kagum. Dari Toraja, Minangkabau, dan Papua bisa disebut pusat alam semesta. Tapi saya masih bisa memaklumi. Toh semua orang pasti kagum dengan Jogja ketika berwisata. Karena memang itulah hakikat pariwisata: menyajikan yang indah, menyembunyikan yang runyam.

Lebih dari itu, segala antusiasme Mowbray juga tidak lebih dari romantisasi. Karena daerah ini dengan segala masalahnya, dipaksa jadi eksotis di mata beliau. Sama seperti daerah “eksotis” lain, pandangan tersebut tak lebih dari mental orientalisme.

Baca halaman selanjutnya: Status yang sebenarnya tidak perlu.

Orientalisme

Ketika membaca puji-pujian dalam artikel The New York Times, nuansa eksotis menjadi warna utama. Segenap budaya dan kehidupan di Jogja direduksi menjadi, “indah, unik, dan menarik.” Bukan sebagai nilai, tapi daya tarik wisata di mata orang luar, terutama untuk pasar “barat”. Kita bisa merasakan bahwa perspektif “barat” mendominasi narasi yang penulis tawarkan.

Penulis tidak memandang Jogja sebagai bagian dari jalan kehidupan yang kompleks, namun sebagai objek wisata yang menarik dan asing. Sudut pandang ini sejalan dengan teori orientalisme. Kehidupan dan budaya masyarakat “timur” selalu dipandang menarik dan misterius. Sialnya, ini semua untuk mereduksi budaya “timur” demi menunjukkan superioritas budaya “barat.”

Sebenarnya, orientalisme tidak hanya bicara budaya timur-barat. Kita juga sering menemukan ide ini dalam masyarakat. Bagaimana kita memandang suku terpencil sampai mas-mas ngebut dengan RX-King adalah pemikiran orientalis. Ketika kita memandang budaya tersebut aneh dan mengotakkannya dalam kelompok the other, maka itulah orientalisme.

Narasi eksotis dan orientalis tentang Jogja ini tidak hanya mereduksi budaya dan nilai lokal. Ini mereduksi kehidupan masyarakat sebagai narasi romantis khas timur. Kehidupan masyarakat bukan lagi menjadi subjek, tapi objek. Lebih tepatnya objek wisata. Akhirnya, budaya berikut masyarakat Jogja menjadi, “indah untuk dipandang.” Tapi bukan, “penting untuk dimengerti.”

Hilangnya Jogja yang sejati

Ketika membaca ulang catatan penuh nuansa postkolonialisme ini, saya makin mengernyitkan dahi. Di mana Jogja yang selama ini saya kenal? Kok tidak ada tersentuh dalam artikel tersebut?

Tentu bisa dimaklumi jika sebuah travel blog berfokus pada keindahan dan eksotisme. Namun ketika dipuja-puja berlebihan, ia menjadi tabir yang menutupi realitas. Jogja, dalam artikel Mowbray, adalah daerah yang “dipaksa”, bukan yang sejati dan dihidupi warganya.

Ingin melihat Jogja yang sejati? Perhatikan saja daerah ini selama libur panjang. Semrawut, sesak, dan jauh dari romantis. Tapi realitas ini dinafikan oleh pemikiran orientalisme tadi. Sialnya, bahkan oleh sesama rakyat Indonesia dan warga Jogja sendiri. 

Jogja dan masyarakatnya hanyalah jadi tontonan. Segala masalah yang dihadapi masyarakat tidak lagi terlihat penting karena mereka bukanlah komunitas yang hidup bagi wisatawan.

Maka jangan heran ketika kritik pada Jogja selalu dihajar seperti ujaran amoral. Ya karena daerah ini hanya dipandang sebagai komoditas eksotis. 

Bukan, misalnya, pertama, sebagai tempat manusia hidup dan berseni tanpa sokongan dana. Kedua, bukan sebagai sampah yang tidak diolah. Ketiga, bukan sebagai daerah dengan kesenjangan sosial parah. 

Segala realitas ini tidak bisa dijual sebagai komoditas eksotis. Rakyat Jogja menjadikan realitas mereka sendiri sebagai alien karena tidak senada dengan narasi eksotis.

Narasi eksotis ini menimbulkan paradoks. Jogja yang dinarasikan serba unik dan menarik tidak sejalan dengan kehidupan yang ada. Ketika benar orang dimanjakan dengan narasi kota yang ramah dan indah, masyarakat terhimpit ketimpangan dan gentrifikasi.

Tidak perlu jadi pusat alam semesta

Saya berharap agar mimpi pusat semesta itu tidak diseriusi. Ide ini tidak hanya menjadi candu yang beracun bagi Jogja, namun juga mereduksi budaya lain, baik di Indonesia maupun dunia. Setiap daerah punya budaya dan nilai yang sama-sama eksotis. Romantisasi seperti ini justru membuat budaya tersebut dipandang sebelah mata.

Lagipula, untuk apa jadi pusat alam semesta? Kecuali dengan ide tersebut masyarakat bisa langsung sejahtera. Tapi jika menjadi narasi yang nir fana, untuk apa? Warga akan kehilangan dirinya. Apa yang mereka dengar berbeda jauh dengan realitas yang dijalani.

Toh, ngeri juga jika Jogja jadi pusat alam semesta. Bayangkan klitih dan sampah menjadi momok dunia. Upah murah dan gentrifikasi muncul di setiap sudut bumi. Setiap kaki memijak, kita bertemu ketimpangan sosial dan survei KTP.

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Jogja Terbuat dari Tumpukan Kebohongan yang Terlanjur Dipercaya Banyak Orang dan opini menarik lainnya di rubrik ESAI

Exit mobile version