MOJOK.CO – Apa jadinya kalau semua lembaga yang melakukan quick count pilpres ternyata salah semua? Tentu saja semua di sini maksudnya yang punya Prabowo juga. Eh.
Hitung cepat di Indonesia tahun ini memang bikin masalah. Dua kubu di perhelatan Pilpres kita, sama-sama tidak percaya.
Melihat hasil yang diumumkan oleh beberapa lembaga penyelenggara quick count, kubu 01 yang diumumkan sebagai pemenang (versi hitung cepat) sempat memilih diam. Katanya, mau menunggu pengumuman resmi KPU saja.
Ini seperti sikap pencari cinta WA-nya dibalas gebetan tetapi tidak buru-buru di-read. Tunggu setengah jam, biar tidak lekas centang biru. Karena kalau terlalu cepat di-read, akan dianggap sedang sangat menunggu penuh harap. Gengsi, Kakak.
Kita tahan-tahan saja kegembiraan ini. Sambil berdoa. Semoga rindu ini tidak menampar angin. Cie cieee… akhirnya tetep pengumuman juga. Kagak tahaan, Baaaang.
Kubu nomor 02 juga tidak percaya. Mereka memang tidak memilih mendiamkannya, tetapi menyerukan agar semua orang mematikan televisi mereka, biar tidak bisa lihat pengumuman quick count.
Sayang sekali, mereka tidak menyerukan agar kita semua sebaiknya mematikan akun-akun media sosial, tidak dengar radio, dan berhenti baca koran. Karena, bahkan jika kita berlari ke hutan sekarang ini, kita mungkin akan tetap bertemu dengan data-data quick count itu, yang barangkali diteriakkan Dian Sastro yang sedang berlari dari AADC.
Apakah dengan mematikan televisi maka angka quick count akan berubah dan Nicholas Saputra nggak jadi selfie di feed Instagramnya?
Harusnya sih, quick count Pilpres tahun ini dapat dipercaya. Tanpa alasan-alasan politis. Quick count yang menggunakan metodologi yang tepat memang biasanya menampilkan hasil yang benar.
Toh lembaga-lembaga penyelenggara hitung cepat pada Pilpres kali ini telah terbukti kebenaran “prediksi”-nya saat melakukan hal serupa pada Pilpres 2014 silam, pada berbagai Pilgub—termasuk Pilgub DKI yang panas itu. Hasilnya tidak beda jauh dengan peghitungan resmi KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
Tetapi tentu terbuka juga peluang bahwa terjadi kekeliruan yang masif pada tahun ini. Misalkan, ternyata responden yang ditemui lembaga-lembaga quick count itu sepakat berbohong, atau tim kerja mereka dari berbagai titik survei sepakat mengirimkan data atau foto penghitungan yang salah. Bisa saja. Artinya, lembaga quick count masih bisa salah.
Jika benar demikian, untuk kesalahan yang tidak diperkirakan itu, tiga hal yang harus segera dilakukan oleh para penyelenggara hitung yang melaporkan hasil yang keliru itu.
Pertama, meminta maaf secara terbuka
Ini penting. Meski tampaknya masih sulit menjadi budaya kita, tetapi sebagai kelompok intelektual yang menjunjung tinggi kebenaran ilmiah, bolehlah kalau kekeliruan hitung cepat itu diselesaikan dengan permintaan maaf.
Siapa tahu, nanti akan melahirkan permintaan maaf lainnya dari pihak-pihak lain.
Misalnya yang dulu menghilangkan orang secara paksa, atau yang menyerang kelompok minoritas, atau yang meninggalkan kekasihnya di pelaminan, atau yang belum membayar gaji karyawannya, atau yang mengaku memerangi korupsi tetapi berkoalisi dengan penguasa hutan, atau ke gereja untuk misa paskah dengan menggandeng pacar orang lain. Semua minta maaf. Kan asyik. Persis suasana hari raya. Damai nian.
Maksudnya, selain menunjukkan kesadaran atas kekeliruan sampling-nya, lembaga penyelenggara quick count juga mengganti tugas para pengkotbah, yang berapi-api menyuarakan cinta kasih tapi juga memprovokasi umatnya agar membenci kelompok lain, dengan contoh perbuatan.
Ya. Begitu. Barangkali memang bukan budaya kita. Tapi harus dilakukan. Minta maaf lah. Secara ksatria. Bila perlu, lebih ksatria dari ksatria itu sendiri.
Tidak apa-apa jika itu bukan budaya kita. Toh asal tuduh juga bukan budaya kita. Tetapi kita lakukan juga. Hiks… Lagipula, kalau akademisi tidak mulai belajar meminta maaf secara terbuka atas kekeliruan metodologi penelitiannya, bagaimana kita berharap orang lain seperti pemegang kekuasaan bisa belajar meminta maaf?
Orang-orang pintar saja tidak tahu minta maaf, mengapa kami harus pintar kalau begitu? Cuma biar bisa sembuh dari masuk angin?
Kedua, sekolah lagi
Ini penting sekali. Para penyelenggara hitung cepat yang ternyata menampilkan hasil yang salah harus sekolah lagi. Belajar statistik dan ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan.
Statistik jelas penting dan menjadi em-ka-de-u alias mata kuliah dasar umum. Harus dipelajari lagi. Dengan sungguh-sungguh. Diulang lagi jika masih dapat nilai C. Sogok dosen jika kali berikut masih C juga. Eh?
Tetapi belajar lagi ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan juga penting. Agar tahu, tipe masyarakat mana yang percaya pada kaidah-kaidah ilmiah, dan masyarakat mana yang percaya ramalan dukun.
Untuk kelompok kedua ini, kalian akan tahu bahwa mereka tidak perlu mengumumkan hasil penghitungan cepat yang mematuhi kaidah ilmiah dan akurat. Umumkan saja yang sesuai dengan harapan mereka.
Seperti satu lembaga yang tahun 2014 silam itu lakukan. Masih ingat, tidak? Setelah mereka melakukan kekeliruan, lalu menghilang. Toh nanti masih bisa bentuk lembaga lain.
Atau, jual saja hasil survey bo’ong-bo’ongan itu kepada pihak yang pasti akan merasa senang, lalu nikmati hasil jualannya dengan cerah ceria. Pastikan harganya cukup untuk hidup lima tahun ke depan.
Ketiga, pindah ke Antartika
Yup. Sastrawan dan sosiolog Denny JA dan lembaganya, tim litbang Kompas, IndoBarometer, dan lain-lain, harus segera pindah ke Antartika. Yang bikin polling di facebook juga siap-siap angkat kaki.
Berhubung Antartika itu dingin, siapkan selimut tebal, topi hangat, dan ikan-ikan tropis. Konsultasikan dengan Ibu Susi tentang jenis ikan yang cocok dibawa serta.
Ikan-ikan itu bukan untuk kalian. Ikan-ikan dari negeri gemah ripah loh jinawi ini adalah oleh-oleh yang harus dibawa agar segera mendapat kawan baru setibanya di kutub selatan itu.
Para penguin sebagai tuan rumah tentu perlu Anda sogok. Suguhi ikan-ikan sebagai hidangan pertemanan dari bangsa yang jales veva jaya mahe ini.
Nah, jika beruntung, barangkali akan diajak ke pesta dansa. Untuk itu, siapkan tuxedo juga di koper kalian. Kemejanya harus warna putih, dasinya harus kupu-kupu. Warna hitam. Tuxedo sama dasi kupu-kupunya. Biar lebih mudah berbaur dengan pribumi antartika.
Jangan pakai tenun ikat. Karena itu bukan budaya mereka. Budaya Antartika adalah busana hitam putih, dan budaya antarkita adalah mengusir orang-orang yang tidak sepaham—kita anggap kelompok itu sebagai komunitas tak menyenangkan.
Namun, jika ternyata yang benar justru quick count, maka yang menuduh bahwa hitung cepat itu salah (baca: melakukan perbuatan tidak menyenangkan karena meragukan kaidah-kaidah ilmiah), juga seharusnya pindah ke Antartika secara sukarela.
Persiapannya praktis sama. Tambahkan juga selimut tebal dan album lama Rida Sita Dewi yang ada lagu Antara Kita di dalamnya. Biar identitas Keindonesiaan tetap ada.
Album lain juga boleh. Lagu Peter Pan yang dengar larakuuuu, suara hatikuuuu memanggil namamuuuu, atau Berhenti Berharap-nya Sheila on 7.
Pokoknya asal ada bekal asli Indonesia, biar tidak senasib dengan saudara-saudara kita yang kehilangan tanah air di zaman ’66 itu.
Kalau Antartika terlalu jauh dan tuxedo bukan budaya kita, mungkin perlu segera menelepon bapak bijak berjenggot yang takut pulang ke Indonesia itu. Siapa tahu masih ada tempat di sana. Setibanya di sana, jangan lupa sujud syukur. Biar lebih afdol.