MOJOK.CO – Bagaimana seandainya Deddy Corbuzier menulis surat terbuka untuk kita semua? Untuk orang-orang yang demen komentari soal keputusannya jadi mualaf.
Peluk dan cium dari saya, buat Anda semua, Smart People, eh maksud saya, Anda semua, umat beragama se-Indonesia. Salam sayang.
Rasa-rasanya, tidak menyapa Anda sekalian, setelah saya resmi jadi mualaf, sungguh sebuah sikap yang tak terpuji. Bukan Deddy Corbuzier namanya, kalau tidak berani. Yah, meminjam Pram dalam pidatonya kala resmi dilantik sebagai anggota PRD, “Keberanian adalah modal utama. Adalah kunci.”
Untuk itu, lewat surat terbuka ini, baiklah saya menyapa Anda kalian semua: Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ehemmm, saya ulangi secara lebih lengkap, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Smart People, eh, Umat Beragama Setanah Air. Kalian mungkin akan bilang: cieeee, meski gua mah biasa aja.
Agar supaya Anda kalian tahu, sebelum jadi mualaf pun, gua uda sering menggunakan sapaan yang identik dengan Umat Islam itu, karena gua selalu berada dalam lingkungan Islam. Baik karena sahabat, followers, maupun hatters. Jadi, buat biasa-biasa saja yah, nggak usa cieee…. cieee… segala. Norak!
Sapaan sudah, kini saya ingin mengungkapkan segala apa yang selama ini mengganjal di hati saya. Yah, itu semua akibat keputusan bebas saya: pindah agama. Semua ini saya ungkapkan secara sadar dan penuh tanggung jawab, tanpa paksaan atau intimidasi yang terstruktur, sistematis, dan masif dari pihak mana pun.
Oh iya, sebisa mungkin saya tidak akan pakai “gua” untuk selanjutnya, karena sebagai mualaf baru yang sedang dalam masa orientasi, saya tak ingin dibilang: Wah, nggak ada perubahan, agama lama agama baru, pakai “gua” mulu.
Oke, yang pertama, soal beragam tanggapan, baik yang mendukung maupun yang menyayangkan pilihan saya itu. Saya ingin respons soal pilihan. Begini. Yang mendukung saya, tentu paham betul, hidup adalah rentetan pilihan.
Secara filosofis, manusia, saya dan Anda sekalian, adalah subjek dan substansi yang merdeka. Dalam kemerdekaan itu, ada yang namanya otonomi. Otonomi diri selalu beriringan dengan kebebasan.
Nah, sadar bahwa saya adalah subjek dan substasi yang bebas, ditambah lagi Konstitusi kita yang tegas menjamin kebebasan menentukan pilihan, jadi mualaf itu memang murni hak saya.
Kenapa kalian repot? Eh, maaf, saya tidak marah. Maksud saya, kenapa yah, kalian persoalkan itu?
Oh, saya tahu. Saya tahu sekarang. Kalian mungkin tak suka pada rencana saya melakukan siaran langsung ketika proses “itu” di Hitam Putih, meski kemudian KPI melarang rencana tersebut.
Begini, saya hanya mau bilang, jadi selebriti itu mah bebas, enak. Maksud saya, apa saya salah, bila saya mampu penuhi semua persyaratan yang memungkinkan saya melakukan itu?
Network saya punya, teman-teman saya punya, duit juga saya punya, lalu kenapa? Oh, pasti dibilang tak edukatif.
Oke, saya paham. Tapi, apa iya, sinetron yang azab-azab itu, atau para pembawa acara kontes dangdut yang bicaranya lebih panjang dari durasi waktu penyanyi menyanyi, atau utusan Cebong dan Kampret yang bertengkar alih-alih adu gagasan, apa iya, itu semua edukatif?
Bila ada 4 hal yang sifatnya sama, lalu kalian hanya kritis pada 1 hal saja, dalam hal ini rencana saya itu, jelaslah betapa kalian sudah sangat tidak adil sejak dalam pikiran.
Sudahlah, kalian tak perlu susah-susah merisak saya. Ingat Smart People, ada pepatah mengatakan, semakin tinggi sebuah pohon, semakin ia gampang diterpa angin. Saya, Deddy Corbuzier, adalah pohon yang kian menjulang itu.
Kedua, soal beberapa usul-saran pada saya. Untuk semuanya itu, saya harus bilang terima kasih. Berlimpah terima kasih.
Saya baru saja membaca esai Haris Firmansyah dan Robertus Bellarminus Nagut di Mojok. Semuanya ngomongin saya. Ngomongin Deddy Corbuzier. Ealah, dasar penulis dan media pengejar traffic!
Untuk Robertus, semua sudah betul. Terima kasih, Saudara sudah menghormati keputusan saya, Deddy Corbuzier ini. Yesus memang ajarkan kita untuk saling menghormati. Saya sepakat sama Saudara, semua agama itu sama baiknya—meski belum tentu sama benarnya.
Oh iya, soal mulut nyinyir yang menuding pilihan saya itu cuma perkara popularitas semata. Yah, Saudara dan Smart People sekalian, buah lain dari era post-truth dan Revolusi 4.0 itu memang terciptanya mulut-mulut nyinyir yang makin hari makin bertambah. Agar kian populer dengan modus jadi mualaf? Tidak sesederhana itu men-judge saya, Santo!
Lalu soal masukan-masukan dari Haris. Semuanya baik, Bro. Tapi sebagai leader-nya Smart People, tentu ada yang perlu saya terima, dan ada pula yang mesti saya tolak. Persis, semua yang Bro usulkan itu, saya tolak semuanya.
Maaf, bukannya mau sombong di masa orientasi ini, tapi kan saya ini punya otonomi diri yang berkuasa menentukan apa yang baik dan tidak baik bagi saya, ya kan? Bro Haris tak perlu berkecil hati. Dan tak perlu menggurui saya dengan semua usulan itu.
Soal nama setelah hijrah, soal mengganti Smart People dengan Madani People, soal ubah warna pakaian jadi serba putih, dan soal jadi The Master Season Ramadan, semua itu sudah saya pikirkan.
Saya akan umumkan semuanya itu, tepat pada waktunya. Saya suka semua hal yang sensasional. Semua itu akan saya umumkan secara terpisah, agar sensasionalitas tidak sekali habis, tapi bertahap.
Lagian, saya ini orangnya kreatif, Bro Haris. Kreatif dan punya banyak harta. Tak perlulah Bro mengajari saya semuanya itu. Akan ada waktunya. Ingat, dan Smart People sudah tahu baik, saya suka yang sensasional dan yang tidak edukatif. Semuanya baik, karena tidak semua netizen itu smart.
Ketiga, izinkan saya sedikit berbangga diri. Maaf, bila membanggakan diri sendiri itu dilarang oleh agama baru saya, saya mohon maaf. Anggap saja ini khilaf perdana saya pasca-mualaf.
Alasannya begini. Saya tahu, Saudari-a sebangsa dan setanah air ini tentu bosan pada dinamika Pilpres 2019 yang kini belum selesai juga perkaranya. Gugatan BPN di MK, lalu ucapan-ucapan dari saksi yang lucu-lucu, tentu membosankan. Mestinya semua sudah berakhir, dan kita bisa kembali berdamai, tak ada lagi Cebong dan Kampret di Bumi Nusantara ini. Nyatanya? Kita tetap dibuat pelik.
Maka dari itu, keputusan saya mualaf yang viral kini, jelas jadi pelipur lara kita semua di tengah kegaduhan politik nasional, ya kan?
Coba, apa coba, selain polemik sistem zonasi sekolah dan mualafnya saya, apa yang berhasil meruntuhkan dominasi gugatan BPN di MK? Apa coba? Kalian mestinya berterima kasih pada saya, yang kalian cap macam-macam ini.
Keputusan saya, buat ketegangan Anda harap-harap cemas menanti putusan MK, bisa sedikit cair. Juga mestinya bersyukur, ada yang dapat duit dari menulis tentang saya. Sedangkan yang paket internetnya terbuang percuma gara-gara cari tahu tentang saya, emang kalian tidak rugi?
Uruslah hidup kalian, begitu pun saya akan mengurusi hidup saya sendiri. Sebenarnya keputusan saya ini tak mesti viral. Respons kalian itulah yang bikin semuanya di luar dugaan saya. Kalian ini ada-ada saja. Ingat, saya ini kreatif, sensasional, dan punya banyak duit, apa pun agama saya. Lah kalian?
Salam Smart, with love, Deddy Corbuzier.