MOJOK.CO – Jangan meremahkan seseorang hanya karena jilbab lebarnya. Sebab di balik jilbabnya, kadang ada fisik Gal Gadot yang nggak kira-kira.
Kalau ada yang bilang berjilbab, memakai gamis atau setelan baju longgar dengan rok panjang itu membatasi gerak dan kebebasan seorang perempuan apalagi menghambatnya dalam berkarya, saya jarang sekali mengambil contoh jauh-jauh. Saya hampir selalu membantahnya dengan pengalaman diri saya sendiri.
Ya, saya wanita berjilbab yang menjalani aktivitas sehari-hari dengan setelan rok atau gamis. Saya sama sekali merasa tak terganggu dengan gaya berpakaian saya saat menjalani hobi mountaineering yang pernah saya geluti.
Kalau hanya sekadar naik gunung pake rok sih itu sudah biasa banget buat saya. Soal resiko keserimpet, jatuh, kejedot, atau rempong mah bukan hanya dialami oleh yang pakai rok, yang ke gunung pake leging atau short pants juga pasti mengalami. Dan semua resiko tersebut bisa diminimalisir dengan teknik dan skill.
Olah bisa karena biasa.
Saya terbiasa bergerak dengan rok. Maka saya tahu celah dan peluangnya. Saya hapal diri dengan gaya saya sendiri sehingga saya merasa nyaman, aman dan merdeka. Gerah dan berkeringat? Memangnya di dunia ini siapa yang belum pernah merasa gerah terus keringatan?
Tahun 2000-an, saat jalur pendakian Gunung Gede-Pangrango belum serapih, semulus dan semudah sekarang. Saya pernah mendaki Gunung Gede lewat jalur Gunung Putri hanya dalam tempo 4 jam untuk sampai ke puncak. Dan saya hanya butuh waktu 1 jam 40 menit untuk turun lewat jalur Cibodas.
Coba kamu, temanmu atau murid ideologismu kalahkan rekor itu baru kita bicara tentang hubungan kebebasan beraktivitas dengan gaya berpakaian seseorang!
Oh, iya. Dengan baju gombrong, jilbab lebar dan rok panjang gaya A-line saya juga pernah dapat penghargaan sebagai fasilitator outbound terbaik. Waktu itu kompetisi diikuti oleh perkumpulan guru dari 5 sekolah alam yang sebelumnya mengikuti pelatihan pengajaran.
Kompetisi yang cukup mudah untuk saya. Hanya high impact outbound berupa rappeling, heli, flying fox, jumping-jumpingan apalah, manjat ini, manjat itu, lompat sana-sini sampai terjun dari tempat tinggi. Biasa banget!
Nggak mungkin menang dan jadi yang terbaik dunk kalo waktu itu saya terhambat oleh pakaian yang saya kenakan.
Apalagi kalau cuman sekadar mengkoordinir aksi demonstrasi, membuat teaterikal dan atraksi atau berorasi sampai berantem sama p****i. Hari-hari kuliah saya hampir selalu diwarnai dengan aktivitas ini. Biasa ajah. Tak satupun yang merendahkan dan meremehkan kapasitas diri saya meski saya seorang perempuan berjilbab lebar dengan baju besar dan rok panjang.
Apakah saya seorang yang seperti ini?
Oh, tentu tidak Munaroh!
Sesekali kamu bisa tengok perkumpulan para penggiat alam bebas. Pemandangan ukhti-ukhti berpenampilan seperti saya itu sudah menjadi hal lumrah di kalangan para pecinta dan penjelajah alam.
Atau bolehlah kamu tengok pelatihan kepemimpinan bernama Santika milik salah satu partai yang beraliran agamis.
Para perempuan berjilbab besar anggun yang sekilas kamu lihat jalannya pelan, perilakunya manis, suaranya lembut, dan gerakannya kemayu lantas jadinya kamu pikir mereka lelet dan tidak bisa apa-apa itu bisa tiba-tiba bertransformasi mengalahkan peran Gal Gadot saat bertemu tali, tebing ataupun maling. Hahaha.
Monggo disiapin obat kagetnya, Kakak!
Bukan saja di dunia nyata, di frenlis facebook saya pun bertengger sederetan perempuan berjilbab yang kapasitas dan kualitas dirinya jauh melampaui saya.
Ada Ika Yudha, seorang perempuan berjilbab yang mendirikan Bank Sampah di kota tempat tinggalnya, Semarang. Sehingga seringkali namanya wara-wiri di media saat orang butuh narsum untuk berbicara perihal lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat.
Bahkan di masa pandemik ini beliau aktif bergerak menggalang dan menyalurkan donasi bersama LAZISMU Jateng dalam program “Gotong Sesarengan” untuk para kirban terdampak Covid.
Ada Maajidah Ubayeed. Gamis’er yang jago bikin kue, minuman kesehatan dan masakan apa saja sehingga didaulat menjadi guru masak sejuta emak di berbagai koya.
Beliau sukses menggelar kursus masak online berbayar beberapa sesi yang pesertanya ratusan orang. Beliau pun mendirikan komunitas penjual makanan dan minuman yang berasal dari resepnya di berbagai kota.
Hebatnya, komunitas tersebut menggalang sedekah dari setiap keuntungan dagang yang diperoleh untuk kegiatan kemanusiaan. Melihat himpunan sedekah mereka itu lohhhh, bikin minder dan iri.
Ada Sri Vira Chandra, seorang guru tahsin yang juga penggiat kemanusiaan. Beliau salah satu founder lembaga kemanusiaan yang fokus dengan kepeduli an terhadap korban konflik luar negeri. Terutama di Palestina dan Syria. Beliau juga menjadikan rumahnya untuk tempat belajar tahsin dan tahfiz para remaja dan ibu rumah tangga.
Ada Asri Pujihastuti. Seorang guru yang sukses membuat buku diktat yang dipakai oleh sekolah-sekolah di kotanya. Beliau bukan hanya pandai mengajar, namun juga jago betnyanyi, bermain alat musik, menari dan berseni peran.
Ada Era Yustika. Seorang notaris sukses dari Klaten yang membangun kariernya dari bawah hingga menanjak. Berhasil membangun rumah sendiri dan memiliki kantor sendiri dan berhasil membuka lapangan kerja bagi orang lain.
Ada juga beberapa perempuan penjual online yang membuat produknya sendiri dan memiliki ratusan reseller. Salah satunya pengrajin tas bernama Imami Nur Afiati yang tas buatannya sudah menembus pasar luar negeri.
Ada juga penggiat kemanusiaan yang sering turun langsung berjibaku di medan bencana menyalurkan bantuan atau melakukan penyelamatan. Erna Herawaty, Yanti dan Cindy Cirilla adalah tiga dari sekian banyak sosok yang ada.
Dan ada banyak lagi profesi yang digeluti oleh perempuan-perempuan berjilbab lainnya dan mereka mendulang sukses dan decak kagum dari yang menyaksikan. Tentu saya tidak bisa menyebutkan mereka satu per satu. Masyaallah.
Setiap orang punya hak, pilihan dan pertimbangan sendiri bagaimana cara ia menjalani hidup dan berkarya dalam hidup. Termasuk dalam hal pakaian apa yang mereka kenakan dalam menggapai kesuksesan hidupnya.
Jadi, jika auratmu kamu anggap sebagai urusanmu, maka biarlah jilbab kami menjadi urusan kami. Kamu tak perlu repot mengurusi kami karena kami punya cara sendiri mengurus diri kami sendiri.
Dan perempuan yang hidup dengan pilihannya sendiri dan siap menjalani risiko serta mempertanggungjawabkannya adalah perempuan yang merdeka.
BACA JUGA Kerudung Saya Panjang, Suami Saya Jenggotan, dan Kami Bukan Islam Radikal atau tulisan Herawati Aisha Rara lainnya.