Saya sempat masygul karena teringat sosok Agus Mulyadi saat datang ke ke Galeri Nasional, Jakarta Pusat, Sabtu sore satu pekan lalu.
Suasana begitu semarak kala itu. Puluhan anak usia SD dan SMP berkeliaran. Sebagian berseragam kaos putih, nampaknya dari sekolah yang sama. Mereka berkerumun di depan ruang penitipan tas Pameran “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan” yang digelar secara kolaboratif oleh Sekretariat Negara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Ekonomi Kreatif, dan Mandiri Art. Seperti dapat diterka dari judulnya, pameran ini digelar demi merayakan 71 tahun kemerdekaan Indonesia.
Banyak juga rombongan keluarga duduk bercengkrama sembari mengudap jajanan di emperan taman depan Gedung B Galeri Nasional. Sekilas lebih mirip datang ke lokasi piknik alih-alih pameran lukisan, menyenangkan betul.
Lantas, apa hubungannya dengan Agus Mulyadi? Seandainya ada Agus, saya yakin bisa menggelar atraksi debus menghibur orang-orang, atau syukur-syukur dianggap memajang seni instalasi kontemporer sebagai selingan pameran utama. Pameran dilengkapi atraksi unik semacam itu perlu digagas di masa mendatang.
Saya bisa merasakan atmosfer berbeda lantaran empat hari sebelumnya sudah mampir pameran yang sama. Kebetulan lokasi Galnas hanya sepelemparan tombak dari kos pacar. Tapi karena saat berkunjung pertama kali saya datang di hari kerja, suasananya jauh berbeda dibanding akhir pekan.
Di kunjungan kedua ini, saya bergegas mengamati lukisan-lukisan favorit. Misalnya saja “Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek” gubahan maestro Sudjojono yang selesai dilukis pada 1964. Saya pun berlama-lama mengamati karya pelukis istana era Orde Lama, Lee Man-Fong, yang bertajuk “Margasatwa dan Puspita Nusantara”. Amboi nian lukisan yang gayanya mirip lukisan klasik Tiongkok itu.
Tentu yang tak boleh dilewatkan, walaupun sudah dilihat berkali-kali, adalah lukisan epik “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857) hasil goresan Raden Saleh yang kesohor. Merinding rasanya melihat detail-detail lukisan tersebut, mulai dari setiap raut wajah yang seperti menyimpan cerita masing-masing, gunung di batas horizon, hingga kuda-kuda yang seperti mau keluar dari kanvas.
Namun, karena suasana pameran lebih ramai, mau tidak mau saya jadi awas dengan keberadaan orang lain di sekitar. Setiap mampir ke satu lukisan, selalu ada pengunjung yang ragam polahnya menarik perhatian.
Lama-lama, saya menemukan pola yang berulang dari ragam manusia yang datang menikmati lukisan-lukisan koleksi istana kepresidenan sore itu, misalnya kesamaan sikap atau gaya menikmati lukisan. Sebagian di antaranya adalah jenis yang biasa saya temui di galeri seni.
Niat saya mampir untuk kali kedua di pameran ini akhirnya berubah. Saya jadi semangat mencatat beberapa karakter khusus pengunjung. Ada lima kategori paling dominan. Berikut catatan singkatnya.
Pemburu Selfie
Populasi pengunjung yang rakus menghasilkan swafoto cukup banyak. Kira-kira 60% dari orang yang datang di Galnas sore itu. Ciri-ciri mereka mudah diamati. Setiap berhenti di satu lukisan, mereka bergegas menyiagakan kamera depan, lalu “cekrek”, didapatlah satu file baru yang akan memenuhi memori ponsel. Jika setiap lukisan mereka datangi untuk selfie, berarti minimal mereka membawa pulang 28 foto.
Beberapa orang lalu membuat keriuhan, karena mengajak kawan satu rombongan berfoto bareng. Istilah kerennya wefie. Jenis pengunjung ini tidak terbatas oleh usia, gender, maupun ideologi politik. Dari ibu-ibu berhijab sampai pria usia 30-an dengan kaos sablonan sendiri dan jeans belel.
Lukisan yang jadi favorit pemburu selfie adalah “Kerokan” (1955) karya seniman Hendra Gunawan. “Ih, lucu banget nih, ibu-ibu kerokan aja dilukis. Eh jeng, sini-sini ayo kita foto dulu. Mas, bisa minta tolong fotoin dong.”
Siap, bu, saya menjawab dalam hati. Bangsa ini dipersatukan oleh umat selfie & wefie. Saya harus siaga menunaikan tugas mengawal perjuangan mereka. Namun ada satu bapak saya taksir usia 50-an membuat kesalahan fatal karena menyepelekan mazhab selfie ini. Dia ogah-ogahan memotret istrinya.
“Ma, dari tadi kan udah selfie depan lukisan. Buat apa lagi?”
“Papa, ini juga termasuk bentuk apresiasi tauukkk.”
Maaf, Pak, Ibu benar. Niat selfie tidak perlu dipertanyakan. Mohon dicamkan, saudara-saudara: SELFIE SELALU BENAR!
Pacaran Intelek
Nah, yang ini jumlahnya lebih sedikit dibanding umat selfie tapi tetap mudah diamati ciri-cirinya. Jenis pengunjung begini juga kerap saya dapati di pameran lukisan lainnya. Pengunjung kategori ini tentu saja datang berdua, baik dengan lawan jenis maupun sejenis. Asyik sekali memperhatikan mereka pacaran sambil mengapresiasi seni. Awalnya mereka akan diskusi soal satu aspek yang mencolok dari sebuah lukisan.
“Gila ya gambar Pangeran Diponegoro ini, warna silvernya bisa muncul banget gitu,” kata seorang pria bercambang kepada perempuan di sampingnya yang memeluk erat.
Ada juga pengunjung yang pacaran, awalnya berpelukan mesra, tiba-tiba sedikit berdebat gara-gara lukisan Dullah “Persiapan Gerilya” (1949).
“Itu lukisannya dipotong tahu, dimensi aslinya lebih lebar,” kata si perempuan. Pacarnya menyanggah, “ah, baca di mana kamu? Jangan ngaco.”
Saya segera berhenti menguping lalu menyingkir sebelum keduanya berdebat lebih lanjut sambil mengasah golok.
Manusia Artsy
Jenis pengunjung yang ini mudah anda jumpai di pelbagai pameran seni. Orang berniat datang ke pameran lukisan untuk mengapresiasi seni tentu saja wajar. Tapi manusia artsy auranya berbeda, Bung dan Nona.
Ciri-ciri utama manusia artsy adalah selalu datang sendiri dan gerak tubuhnya khas. Mereka akan mengamati lekat-lekat sebuah lukisan, sambil mengukur jarak berdiri dari kanvas. Tidak terlalu jauh tapi juga tidak dekat. Pas.
Selain itu, satu tangan mereka akan menopang dagu, kadang sambil mengelus jenggot kalau punya. Serius sekali, jangan sampai Anda berani mencolek. Satu lukisan kadang dipandangi sampai lebih dari 15 menit. Sebagian dari mereka bersenjatakan kamera mirrorless seri terbaru, tapi berbeda dari pemburu selfie, mereka pelit sekali membuka lensa.
Kadang saya ingin tahu apa yang berkecamuk di pikiran manusia artsy. Apakah komposisi warna atau nirmana gubahan maestro seni rupa itu keliru di mata mereka? Atau ada tafsir-tafsir liar sedang mereka bayangkan dari lukisan Pangeran Diponegoro yang dibuat Basoeki Abdullah?
Dalam imajinasi saya, akan seru seandainya salah satu manusia artsy di pameran sore itu mendadak berteriak seperti karakter film Mad Max, setelah selesai menakar bobot sebuah lukisan koleksi istana: “MEDIOCRE!!!”
Sayang harapan ini tak terpenuhi sampai saya keluar dari gedung pameran.
Pemburu Tugas
Jenis ini minoritas, tapi cukup mudah diamati. Sebagian dari mereka membawa buku catatan. Mereka biasanya bergerombol mendatangi satu per satu lukisan. Rata-rata masih belia.
Sambil mencatat keterangan kurator di samping lukisan, mereka sibuk membahas printilan-printilan informasi yang belum didapat. “Ini mana sih yang Dullah mana yang Sudjojono, kenapa harus dijejer gini? Eh, Ci, lu nulisnya apaan?”
Beberapa saya tanya, mendapat tugas apa, sih. Rupanya macam-macam. Ada yang mengerjakan esai bahasa Indonesia, kelompok lain menggarap makalah sejarah.
Jejak pemburu tugas sekolah ini dapat kita simak dari buku tamu di dekat pintu keluar. Kesan-pesan mereka sangat mengharukan jika kita sempatkan waktu membacanya.
“Terima kasih ya, berkat pameran ini aku bisa mengerjakan tugas dari Ibu Eni, guruku di SMP XX Bekasi Timur.”
Hiks. Terima kasih, Bu Eni. Jasamu tidak akan kami lupakan!
Pembelajar seni
Kalau ini kategori yang agak umum. Yah, intinya pengunjung awam, seperti kita semua pembaca Mojok di seluruh dunia. Ada yang datang sendiri, bersama teman, pacar, atau keluarga.
Sebagian menggunakan fasilitas aplikasi augmented reality yang disediakan panitia untuk mencari tahu informasi dari lukisan yang dipamerkan. Niat mereka sepertinya benar-benar mengapresiasi seni. Belajar menikmati komposisi sebuah gambar sambil memahami konteks sejarah koleksi karya seni istana kepresidenan selama 71 tahun terakhir.
Akan asyik mendatangi pengunjung jenis ini jika terjadi dialog seru. Siap-siap saja menguping atau ikut berdiskusi. Saya mendapat banyak manfaat, setelah ikut nimbrung kumpulan bapak-bapak sepuh yang membicarakan kesan mereka keliling Galeri Nasional.
“Pameran ini adalah simbol pemerintah tak lagi alergi pada seniman Lekra. Pemerintah sudah berdamai dengan masa lalu, termasuk trauma 65.”
Wah, angkat jempol, Pak! Matur nuwun sudah berbagi ilmu.
Begitulah lima ciri-ciri pengunjung yang paling menonjol berhasil saya catat selama mampir ke pameran ’17/71: Goresan Juang Kemerdekaan’. Jenis yang biasanya muncul, tapi kali ini tidak terlalu kelihatan, sepertinya spesies kolektor seni. Ya gimana, barangkali dalam hati para kolektor juga berhasrat memiliki satu-dua lukisan yang dipajang. Apa daya, pemiliknya negara. Berat saingannya, Bos!
Setelah saya telaah lagi catatan ini, wajar belaka sih kalau pameran lukisan istana menarik minat kalangan luas, tak sekadar penyuka seni garis keras. Konsep acaranya memang asyik.
Siapa sih yang tidak tertarik menyaksikan lukisan yang selama ini dikoleksi oleh Istana Kepresidenan Indonesia? Apalagi 28 lukisan yang dipajang semuanya gubahan old masters, alias seniman nomor wahid di negara kita. Mutunya sudah pasti teruji.
Selama ini benda-benda seni tersebut nangkring di ruang yang wingit, hanya bisa diakses oleh presiden, kolega terdekat RI-1, atau tamu negara. Kapan lagi rakyat biasa leluasa menonton deretan karya seni pilih tanding itu kalau bukan lewat pameran ini?
Kurator Mikke Susanto harus diparesiasi juga, lantaran sukses memilah sepilihan karya beragam tema, yang paling kuat dari 15 ribu benda seni yang dimiliki Istana. Ke-28 lukisan ini menampilkan sosok-sosok pejuang kemerdekaan dengan berbagai posenya, hingga kondisi sosial budaya masyarakat Nusantara sebelum hingga sesudah kemerdekaan, periode 1940-1950-an.
Jika kurang puas menyaksikan lukisan, masih ada 100 foto-foto arsip kegiatan presiden dan sembilan buk menceritakan sejarah pengumpulan lukisan di lima istana kepresidenan. Komplet deh.
Alhasil, saya tidak terkejut ketika mendengar informasi panitia bahwa jumlah pengunjung yang datang hingga pekan ketiga mendekati 20 ribu orang, bahkan di akhir pameran sangat mungkin angkanya akan lebih dari 25 ribu. Saya berpikir panitia bisa dibilang sukses besar.
Mandiri Art sebagai salah satu elemen yang mendukung pameran lukisan istana ini patut diacungi jempol. Lembaga di bawah naungan Bank Mandiri itu baru terbentuk Februari 2016, tapi dalam waktu singkat berhasil memperkenalkan diri berkat dukungan terhadap kegiatan-kegiatan seni.
Sebelumnya, Mandiri Art telah mendukung kegiatan ARTJOG 9 2016 di Jogja National Museum selama Mei sampai Juni lalu yang tak kalah heboh.
Selain mendukung penyelenggaraan pameran, Mandiri Art saya dengar menggelar beberapa kegiatan pendukung di sela-sela pameran ’17/71: Goresan Juang Kemerdekaan’. Misalnya saja menyediakan tur khusus menikmati lukisan istana bagi nasabah prioritas Mandiri. Atau membagi-bagikan kartu e-money edisi terbatas, dengan desain menukil lukisan Sudjojono dan Raden Saleh.
Sebagian suvenir kartu sudah disebar saat pembukaan pameran. Asyik juga ya seandainya bisa dapat satu e-money Mandiri khusus itu. Desain kartunya enak dipandang mata, bisa dipakai pula mejeng-mejeng cantik untuk membayar transaksi non-tunai kita di pelbagai tempat dan acara.
Mengingat acara-acara Mandiri Art sejauh ini selalu asyik, saya tak sabar menantikan kiprah mereka di masa mendatang. Kawan saya bercerita, kabarnya Mandiri Art sedang mempersiapkan bermacam kegiatan seni lain dalam waktu dekat. Mulai dari lelang acara seni, lomba lukis, sampai target jangka pendek menggelar acara sendiri yang konon lokasinya di Kawasan Kota Tua Jakarta.
Eh, nyaris kelupaan. Buat kalian yang tinggal di Jabodetabek atau sedang ada agenda ke Jakarta, jangan sampai melewatkan pameran ’17/71: Goresan Juang Kemerdekaan’. Masih ada waktu sampai 31 Agustus nanti kok. Kalau belum tahu lokasinya jangan gentar, pokoknya cari saja bangunan putih halamannya luas depan Stasiun Gambir persis. Pasti ketemu.
Ntab!
Disclaimer: Tulisan ini termasuk dalam #MojokSore. Mojok Sore adalah semacam advertorial yang disajikan oleh tim kreatif Mojok yang dikenal asyik, jenaka, dan membahagiakan. Bagi Anda yang mau mempromosikan produk-produk tertentu, silakan menghubungi iklan@mojok.co.