Jenderal Andika Perkasa beserta Kemungkinan-kemungkinannya

Begitu Jenderal Andika terpilih sebagai Panglima TNI, inilah wajah terkuat konsolidasi politik Rezim Pemerintahan Indonesia sekarang sejak zaman Orde Baru.

Jenderal Andika Perkasa beserta Kemungkinan-kemungkinannya

Jenderal Andika Perkasa beserta Kemungkinan-kemungkinannya

MOJOK.COSaat Jenderal Andika Perkasa mulai akrab dengan DPR yang pegang undang-undang negara? Ya sudah: semua siap salah, siap-siap kalah.

Terus terang, jika ada yang berharap tulisan ini bakal bercerita sepenuhnya tentang kontroversi Jenderal Andika Perkasa yang baru saja dipilih sebagai Panglima TNI, maka sebaiknya sudahi membaca.

Soalnya, tulisan ini lebih bicara pada kemungkinan-kemungkinan ke depannya. Sesuatu yang lumayan luput diperhatikan dan cenderung diabaikan.

Apalagi, pertama, kontroversi tentang lulusan Akmil 1987 itu sudah banyak dibahas di mana-mana. Mulai dari media mainstream yang menulis secara “agak halus” hingga ke penelusuran Bli Made Supriatma dimuat di Indoprogress dengan begitu panjang. Jadi, ketika Redaktur Mojok meminta saya menulis tentang Jenderal Andika Perkasa, angle soal kontroversi segera saya coret.

Meski begitu, tetap saja bagian itu seharusnya dipertanyakan juga. Terutama soal asetnya yang begitu jumbo, pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay pada 2001 lalu, hingga statusnya sebagai menantu mantan Ketua BIN Jenderal Hendro Priyono.

Lucunya, ketimbang menanyakan itu, saya justru lebih ingin bertanya kenapa ketika Komisi I DPR RI malah berpakaian hijau-hijau militer ketika fit and proper test Jenderal Andika? Sudah begitu, fit and proper test yang terjadi kesannya hanya jadi acara seremonial semata.

Ini Komisi I DPR mau jadi apa maksudnya? Jadi Menwa?

Foto-foto Wakil Rakyat di Senayan yang ikut berbusana ala-ala militer itu bisa dibilang menjadi potret konsolidasi politik yang menjadikan eksekutif Indonesia saat ini sebagai pemerintahan terkuat sejak Orde Baru tumbang 23 tahun lalu.

Sesuatu yang membuat demokrasi Indonesia segera memasuki fase false democracy—bentuk terburuk demokrasi. Seolah-olah demokrasi, tapi kekuasaan tertinggi hanya bisa dikuasai oleh sekelompok golongan saja.

Semua persyaratan demokrasi ada; mulai pemilu, parpol, mengemukakan kebebasan berpendapat (ya demo tetap diperbolehkan), tapi semua tahu bahwa aturan demokrasi di sini sudah dikunci.

Paling sederhana contohnya soal presidential threshold saja. Siapa pun WNI memang berhak menjadi Presiden RI, tapi syarat pencalonan hanya bisa dilakukan paling banter tiga pasangan saja.

***

Kembali soal Jenderal Andika Perkasa. Lepas dari segala kontroversinya, Jenderal TNI-AD bintang empat ini harus diakui cukup cerdas dalam konteks politik. Dia sadar betul momentum, memiliki pembacaan sosial yang bagus, dan mempunyai tim yang luar biasa.

Ketika dilantik menjadi KASAD, Jenderal Andika ditanya seputar kontroversi keterlibatannya dalam pembunuhan Theys. Alih-alih menghindar, Andika mempersilakan siapa saja untuk menelusuri hal itu.

“Adalah hak siapa saja untuk mempertanyakan itu. Monggo, tidak ada ketakutan maupun keraguan,” katanya.

Selain itu, Jenderal Andika juga kerap muncul pada momen-momen kemanusiaan. Pernah, ada satu cerita dia berada pada pengiriman kontingen pasukan.

Jenderal Andika kemudian melihat ada seorang perempuan hamil tua yang ikut dalam yang mengiringi keberangkatan. Jenderal Andika mendekat dan bertanya, apakah istri dari prajurit yang akan berangkat? Perempuan itu mengangguk. Dia lantas memerintahkan stafnya untuk memanggil prajurit suaminya itu.

Jenderal Andika kemudian memberikan kesempatan kepada pasutri itu untuk memutuskan, apakah baiknya prajurit itu berangkat atau tidak. Dia tidak ingin, karena tugas, ada prajurit yang berat hati karena anaknya mau lahiran.

Tidak lupa, dia bahkan menegaskan tidak ada konsekuensi apa-apa jika memilih tidak berangkat. Akhirnya, prajurit itu memutuskan tidak berangkat. Dan, Andika menyalami prajurit itu, tak lupa memberikan uang tambahan untuk kelahiran si jabang bayi. Dan, semua itu terjadi di depan mata para jurnalis dan orang banyak.

Selain itu, ketika tampil dalam wawancara Tempo pada 22 Juli 2019, Jenderal Andika dipotret dengan tampil seperti Vladimir Putin tampil dalam sebuah wawancara: dia terlihat macho.

Berbalut baju under armor ketat militer, sosok Jenderal Andika terlihat seperti nama belakangnya: Perkasa. Menguatkan citra publik tentang sosok yang tegas.

Citra ketegasan ini menjadi salah satu kekuatan utamanya. Saya sempat berbincang dengan seorang perwira TNI-AL terkait Jenderal Andika yang menjadi Panglima TNI. Konteksnya, seharusnya KASAL Laksamana Yudo Margono lah yang secara tradisi giliran menjadi Panglima TNI.

Setelah Gatot Nurmantyo (TNI-AD) dan Hadi Tjahjanto (TNI-AU), seharusnya giliran TNI-AL. Jawabannya, ternyata mengejutkan. Dia lebih mendukung Jenderal Andika.

“Tidak masalah. Kalau TNI-AD, apalagi Andika yang jadi Panglima, biasanya lebih tegas. Kita di TNI lebih suka yang tegas-tegas,” kata perwira pertama di lingkungan Danlantamal V Surabaya itu.

Pujian tidak hanya datang dari kalangan TNI. Kalangan Polri pun juga senang bekerja sama dengan Andika.

“Beliau memang jenderal yang luar biasa pintar,” kata seorang jenderal polisi yang tak mau disebutkan namanya mengomentari soal Andika. “Sudah cocok beliau,” katanya.  Artinya, Polri tampaknya tidak mau jadi batu sandungan bagi Jenderal Andika.

Mendengar itu, saya jadi ingat bahwa jantung politik Indonesia modern yang harus jadi pedoman setiap politisi hanya ada dua hal; 1) kuat di pencitraan; 2) kuat di intelijen. Sudah.

Pencitraan adalah terkait persepsi publik terhadapnya. Dan yang kedua, intelijen adalah bagaimana dia mendapat informasi awal dan kemudian merancang dan menerapkan strategi terkait ancaman, hambatan, dan gangguan yang mungkin timbul.

Suka tidak suka, Jenderal Andika punya dua hal ini.

Paling banter yang bisa diulik, dan tak akan pernah bisa diselesaikan, adalah soal Theys, soal hubungannya dengan mertuanya, dan soal asetnya yang jumbo. Tiga hal yang mudah sekali dipatahkan.

Entah berhasil atau tidaknya, yang pasti Jenderal Andika Perkasa mempunyai prospek cerah dalam dunia politik ke depannya. Dan dari situ, saya berani berspekulasi, sepertinya, jalannya tidak akan terhenti hanya sekadar menjadi Panglima TNI. 

***

Indonesia modern mempunyai sejumlah variabel penting jika ingin merebut dan melanggengkan kekuasaan. Di antaranya adalah: parpol, agama, Istana, ASN, parlemen, hukum, TNI, Polri, dan anggaran (baca: uang). Nah, dalam batas-batas tertentu, inilah yang kini dikerjakan oleh pemerintah saat ini.

Istana sekarang nyaris memegang semua kunci-kunci ini.

Untuk parpol, lingkar kekuasaan sekarang yang ada sudah nyaris memegang semuanya. Total lebih dari 80 persen kursi di Parlemen sudah berhasil dikonsolidasikan. Simak saja bagaimana UU Ciptaker disahkan, atau dengan berbaju seragamnya anggota Komisi I DPR RI menggelar fit and proper test Panglima TNI.

Soal keuangan, jika Anda rajin membaca status Agustinus Edi Kristyanto di Facebook, maka sudah tak perlu saya jelaskan lagi bagaimana oligarki di Indonesia membagi-bagi proyek besar untuk sesamanya sendiri.

Pemilihan Jenderal Andika Perkasa akan menguatkan konsolidasi tersebut. Mempunyai basis pendukung kuat di militer, secara politik tidak bermasalah (setidaknya tidak seperti Jenderal Gatot Nurmantyo), loyal, dan yang terpenting bisa mengendalikan militer: institusi yang disebut oleh Made Supriatma sebagai lembaga yang merasa lembaga mandiri di Indonesia tapi suka pegang senjata tersebut.

Bahkan muncul rumor yang menyebutkan bahwa ketika Presiden Jokowi menginginkan sebuah program dari TNI-AD, Presiden tidak cukup hanya bilang ke Panglima TNI saja, tetapi juga harus bilang ke Jenderal Andika

Tanda-tanda ini menyadarkan saya bahwa penguasa sekarang sudah sadar betul kalau mereka tidak bisa berada di pucuk selamanya. Mereka tetap butuh seseorang yang kuat agar bisa soft landing. Artinya, ketika sudah tidak berkuasa, mereka akan tetap “aman” dan kalau bisa masih punya pengaruh politik.

Bayangkan, Anda menjadi presiden sekarang. Mempertahankan kekuasaan itu sudah sulit, namun lebih sulit mengonsolidasikan soft landing. Karena harus percaya betul dengan siapa yang tengah berkuasa.

Pengalaman Bung Karno membuktikan itu. Atau setidaknya, seperti apa yang dialami oleh SBY. Dikuyo dan dibuat gareng-garengan sana-sini seperti sekarang ini. Dan di situlah, saya pikir, salah satu peran penting Jenderal Andika bagi Pemerintah sekarang: investasi keamanan masa depan.

Meski begitu, melihat situasi yang ada, Jenderal Andika tampaknya tidak akan berhenti sebagai Panglima TNI saja. Ke depan, jika bisa memainkan “kartu” dengan baik, dia bakal jadi salah satu aktor penting dalam peta politik nasional masa depan.

Suka tidak suka, mau tidak mau, secara etis pantas atau tidak, itu bukan pertanyaan yang relevan kalau situasinya sudah seperti sekarang. Karena, ya, semua tahu bahwa Panglima TNI itu juga jabatan politik. Dipilih karena keinginan penguasa politik: Presiden Republik Indonesia dan sosok-sosok kuat di belakangnya.

BACA JUGA Andika Kangen Band Nyamar Jadi Gelandangan: Contoh Artis Nggak Ada Kerjaan dan tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.

Exit mobile version