Dalam drama resafel kabinet tempo lalu, kita ini bagaikan seseorang yang ditinggalkan oleh pasangan yang begitu kita cintai apa adanya. Belum lenyap rasa kehilangan itu, naasnya, kita kemudian dipaksa memilih jodoh pilihan Bapak secara tiba-tiba. Betapa durjana rasanya.
Ndilalah, mantan yang kita gilai itu adalah seseorang yang tampan, muda, kharismatik, gagah perkasa, kekinian, dan kerap dicitrakan cemlorot prestasinya oleh Mata Najwa. Sementara jodoh yang dipaksakan sama Bapak ini sejenis orang asing yang perlu kita gugling dulu profilnya. Sudahlah begitu, tampilannya pun juga kalah good-looking dari si mantan menurut survei quick count yang melibatkan mamah muda setempat.
Apes.
Pertengahan Juli kemarin, para orang tua di beranda sosial media beramai-ramai menceritakan betapa seru dan menyenangkannya mengantar anak ke sekolah sesuai instruksi Mas Anies Baswedan. Mereka yang bekerja di perkantoran hingga yang berwirausaha pada pagi hari itu berebut menunjukkan bahwa mereka adalah orang tua terbaik di dunia.
“Ini loh gue yang super sibuk masih sudi meluangkan waktu untuk anak-anak…”
Yah, walaupun sekadar simbol dan terkesan festive, minimal para orang tua seluruh Indonesia jadi merasa dilibatkan oleh negara dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka jadi merasa penting dan punya peran gitu deh pokoknya.
Hingga kemudian tanpa sebab yang jelas, Mas Anies dicopot dari jabatannya sebagai Mendikbud. Dan dua minggu setelah itu, mak dyar, Mendikbud baru, Pak Muhadjir Effendy, muncul di hadapan publik dengan gagasan yang luar biasa visioner dan menggugah: Full day school.
Katanya:
“Full day school dapat membendung pengaruh-pengaruh buruk yang diterima anak saat orang tua sibuk bekerja dan tak sempat mengawasi. Selama satu hari di sekolah, banyak hal yang bisa dipelajari anak-anak untuk menambah wawasan mereka. Anak yang bersekolah di full day school pun akan sampai di rumah bersamaan dengan waktu pulang kerja orang tuanya.”
Halo, Pak Muhadjir, saya mau tanya, fokus kita ini sebenarnya ke anak atau ke orang tuanya sih?
Dalam metodologi penelitian, utamanya bab asal usul masalah hingga penarikan hipotesis, pernyataan Pak Mendikbud baru ini terasa tidak nyambung. Kalau diurai, persoalannya adalah pada orang tua yang tidak punya waktu untuk anak karena sibuk bekerja – anak-anak kemudian dititipkan ke sekolah selama seharian – lalu mereka akan bertemu di rumah dalam kondisi yang sama-sama lelah.
Tanpa disadari, solusi Pak Mendikbud ini dengan vulgar menghina semboyan Pegadaian. Jika Pegadaian memiliki semboyan “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”, blio justru “Mengatasi Masalah Tambah Masalah”.
Kenapa pasal?
Saya pernah mengajar di SMP Negeri dan SMA Negeri. Non full-day tentunya. Menjadi guru bahasa Inggris di sekolah negeri yang para muridnya merupakan anak-anak dari orang tua yang berekonomi pas-pasan memang agak merepotkan sebab mereka agak susah diajar bahasa Inggris.
Ya maklum, sesuai teori George Yule dalam A Study of Language, Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua memang memerlukan lingkungan inti untuk mempraktekkannya tiap hari dalam rangka mencapai penguasaan keterampilan berbahasa.
Itu saja hanya sebagai bahasa kedua. Lha para anak didik saya itu bahasa pertama jelas bahasa Jawa ngoko. Bahasa keduanya bahasa Indonesia. Dan jika bahasa ketiga mereka adalah bahasa alay kekinian, maka bahasa Inggris akan berada entah di nomor berapa.
Jadilah, dibanding fokus mengajar bahasa asing itu, saya justru lebih sering membuka sesi curhat. Saya pun jadi tahu sebagian latar belakang mereka adalah anak buruh tani, anak tukang parkir, anak tukang tambal ban, hingga anak kuli bangunan.
Mereka terbiasa membantu orang tuanya selepas pulang sekolah. Pergi ke ladang untuk bertani, mencari rumput untuk ternak, ikut menambal ban di tempat bapaknya mangkal, bahkan beberapa dari mereka pergi mengamen sepulang sekolah.
Ajaibnya, anak-anak tersebut mengaku tidak pernah merasa tereksploitasi oleh pekerjaannya seperti argumen khas perlindungan anak. Mereka melakukannya dengan sukacita. Mereka bekerja sekaligus bermain-main.
Maka, alih-alih memaksa mereka memahami soal-soal pilihan ganda mid semester bahasa Inggris yang kurikulumnya tidak nyambung dengan tujuan bahasa sebagai alat komunikasi itu, saya justru mengajak mereka duduk melingkar di lantai kelas.
“Le, kamu kan sudah pintar nambal ban, kalau ada waktu, belajar mbengkel aja di bengkel sebelah pangkalan Bapakmu itu. Belajar apa saja, kalau sungguh-sungguh, insyaAllah sukses.”
Ndilalah, dalam salah satu sesi duduk melingkar itu, Pak Kepala Sekolah lewat. Kena teguranlah saya oleh blio.
Saya kemudian memutuskan berhenti mengajar di sekolah tersebut. Akan tetapi, tentu bukan karena teguran Pak Kepsek atau kondisi sosial para anak didik. Saya keluar karena tak tahan lagi melihat ketimpangan antar para guru.
Ha piye, wong anak-anak yang diajar saja sepulang sekolah masih harus mengamen, lha kok guru-gurunya (yang pada saat itu sedang heboh pencairan gaji sertifikasi) malah beramai-ramai naik mobil ke sekolah setelah kredit Avanza. Ada pula yang dengan pongahnya ganti mobil seminggu tiga kali, padahal jarak rumah dan sekolah hanya sepelemparan cawet.
Maaf ya, Pak Menteri, jadi curhat. Saya cuma kebetulan teringat sama nasib mantan anak-anak didik saya ini.
Mereka sama sekali bukan anak yang nakal, kok. Mungkin kelak mereka akan mendapatkan kegiatan ala-ala sekolah full day: mendapat jatah makan siang, mendapat jatah tidur siang, mendapat jatah waktu bermain, dan bla bla bla lainnya. Tapi, FYI aja nih, Pak Menteri, anak-anak didik saya yang kepribadian dan aktivitasnya sudah melampaui kata mandiri tersebut tidak butuh lagi eksperimen semacam itu.
Lalu pernyataan Pak Menteri yang ini: “Kursus-kursus dan kajian agama bisa dilakukan di sekolah, anak lebih terpantau daripada ikut pengajian di luar nanti malah dapat ustadz dari kelompok ekstrem.”
Masya Allah, Pak Menteri, agama kok dikursusin. Memangnya nyetir mobil?
Banyak yang terjadi justru sebaliknya: Sektarian tertentu malah kerap masuk melalui organisasi keagamaan di sekolah, lho. Murid-murid yang awalnya masuk biasa saja, tiba-tiba parade panjang-panjangan jilbab, misalnya, tanpa paham politik identitas ihwal sikap tersebut. Mereka tidak paham alasan mengapa kalau tarbiyah panjangnya harus sepantat, kalau salafi harus semata kaki, dan lain-lainnya lagi.
Lagian, memangnya nanti malaikat mengukur agama dari nilai soal-soal pilihan ganda di sekolah? Dan yang paling penting, Bapak saya yang guru ngaji itu disuruh kerja apa kalau semua-semua dikurikulumkan di sekolah, Pak?
Oh iya, Pak, bocoran cerita dari teman-teman yang mengajar di sekolah-sekolah swasta full-day, katanya sekolah model begitu bertarif mahal, lho. Nanti cerita lama tentang para mami-mami sosialita yang menjadikan sekolah mahal anaknya sebagai topik obrolan arisan akan kian bertebaran. Semakin bergengsi sekolah sebab tarifnya mahal, niscaya semakin membahagiakan.
Anak-anak mereka makin mirip trofi Liga Champions yang bisa dipamerin, deh…
Cerita lainnya, seorang anak yang di salah satu sekolah full-day ditunjuk gurunya untuk ikut lomba pidato. Di arisan, mami lain bercerita bahwa anaknya dari sekolah full-day yang berbeda juga akan mengikuti lomba yang sama. Tengah malam, dua mami rempong tadi sama-sama menelpon gurunya.
“Pokoknya saya minta anak saya tidak usah ikut lomba pidato karena Jeng A temen arisan saya juga ikutan! Kalau yang kalah anak saya, saya bakalan malu!”
Nah, kalau sudah begini, bener kan yang saya bilang di atas: Jika sedari awal masalahnya ada pada orang tua, sepertinya yang perlu disekolahkan justru orang tuanya juga.
Begitulah uneg-uneg saya, Pak Mendikbud baru. Jadi, mumpung Bapak masih baru menjabat, tolonglah ya jalan pikiran Anda diperbaiki dulu. Beri kami alasan-alasan yang masuk akal untuk move on dari Mas Anies. Anda tak ingin kami hormati dengan terpaksa, kan?