Jangan-jangan Tere Liye Emang Anarko

MOJOK.COPenelusuran sederhana melalui karya dan quote monumentalnya, bahwa Tere Liye memang ada indikasi menyimpan gagasan-gagasan anarko. Wadaaaw.

Di era ini, polisi ternyata menemukan jati dirinya dengan paripurna. Mereka dipercayai dalam berbagai bidang termasuk menjaga ideologi negara yang terancam dikudeta oleh ideologi-ideologi lain.

Jika Kuntowijoyo dalam cerpen “Laki-laki yang Menikah dengan Peri” membayangkan tentara sebagai peri, maka polisi hari ini adalah seorang dewi bernama Themis. Tapi tentu bukan dewi yang dari Yunani itu, melainkan Dewi Themis khas Indonesia.

Si ratu keadilan yang telah dibuka kain penutup matanya, agar bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri dan menyelidiki siapa saja yang hendak merusak ideologi republik tercinta ini.

Maka, ketika beberapa waktu lalu dikatakan bahwa ada kelompok “anarko” yang bakal melakukan penjarahan di seluruh Jawa, sangat mungkin hal ini ada benarnya. Sebab, mereka bukan dewi lama yang ditutup matanya, melainkan telah disingkap hijab duniawi yang menutupi mata asli dan mata batinnya.

Salah satu bukti yang telah diungkap oleh Polisi ialah buku Negeri Para Bedebah karya Tere Liye, novelis termasyhur di tanah air yang digemari oleh kalangan muda.

Tentu jadi bahaya apabila novel Tere Liye yang digemari oleh kalangan muda itu isinya ajaran kelompok “anarko”. Apa jadinya negara kita pada 2045 nanti? Masa di mana anak muda sekarang akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Mau hidup alamiah tanpa negara, tanpa dominasi, tanpa penindasan, dan tanpa eksploitasi? Heh, yang bener aja!

Setelah polisi memperlihatkan barang bukti di atas, novel tersebut malah ramai disorot netizen. Bukan karena novel itu sampulnya bergambar laki-laki dengan hidung panjang seperti halaman utama majalah Tempo tahun lalu, bukan, tapi karena konon, Tere Liye nggak cocok jadi anarko. Buktinya Bakunin aja nggak pernah baca karya-karya Tere Liye.

Nah, inilah pemamahaman yang keliru dari sebagian rakyat bangsa Indonesia. Ketahuan sekali bahwa mereka yang belum baca novel-novel Tere Liye justru sedang meledek dirinya sendiri.

Padahal mereka mengejek polisi dengan “jarang baca jadi polisi”, namun respons mereka terhadap novel Negeri Para Bedebah menandakan bahwa mereka juga jarang baca, wabilkhusus novel-novel best seller Tere Liye. Ini justru berbanding terbalik dengan polisi yang pasti sudah khatam semua novel-novel Tere Liye sampai berani menyita bukunya segala.

Baiklah, saya akan coba melakukan penelusuran bahwa Tere Liye memang terindikasi anarko melalui karyanya. Sebelum ke mana-mana, kamu pasti sudah tahu bahwa anarko itu secara garis besar demen banget menjadikan negara sebagai musuh utama. Dan siapa sangka, hal itu justru ada di dalam novel Negeri Para Bedebah.

Lihat saja pada bagian novel ketika polisi datang dan mengepung rumah Om Liem untuk ditahan. Di dalam novel, tokoh Thomas justru datang dan membawa lari Om Liem, lalu menyembunyikan Om-nya itu ke rumah kakeknya.

Adegan di dalam novel ini kan mengajarkan hal yang tidak terpuji bagi generasi muda, di mana tokoh utama sebuah novel justru melecehkan hukum dengan tindakan obstruction of justice (menghalang-halangi penegakan hukum).

Iya sih, kalau yang melakukan kejahatan masih pamannya sendiri wajar kalau Thomas sebagai keponakan coba menolong, tapi gimana kalau ini mengakar di masyarakat lalu menjadi kebiasaan?

Lihat aja tuh Fredrich Yunaidi, pengacaranya Setya Novanto. Yang mati-matian menggunakan berbagai cara agar sang mantan Ketua DPR RI itu lolos dari jerat KPK. Saya curiga, jangan-jangan Fredrich ini pembaca Tere Liye garis keras. Sampai punya pikiran untuk menghalangi penegakan hukum di Indonesia segala.

Sekarang coba situ bayangkan kalau pemuda Indonesia kayak gitu semua cara mikirnya. Artinya, novel ini sama saja menyebarkan paham anarkisme lewat gerakan mendelegitimasi negara. Ingat, negara kita negara hukum, artinya menegakkan hukum juga menegakkan negara, Bung!

Kalau hukum runtuh, negara juga ikutan runtuh, kalau negara runtuh, itu kan yang diharapkan sama kaum anarko: mengembalikan umat manusia ke kehidupan alamiah, tanpa intervensi kekuasaan, tanpa dominasi kelas, dan mengakibatkan kehidupan berpegang pada prinsip egalitarian.

Waduh, seram sekali. Nanti kaum liberal-sekuler-komunis-illuminati-freemasonry itu senang, dong. Na’udzubillah!

Masih nggak percaya kalau Tere Liye terindikasi anarko? Baiklah, saya tambahkan.

Kalau kamu iseng buka Facebook-nya, kamu bisa tahu beliau telah diikuti oleh lebih dari lima juta pemuda Indonesia yang tersebar di seluruh tanah air. Padahal, di sanalah Tere Liye menyebarkan gagasan-gagasan cerdas yang ada bau-bau anarko-nya.

Naif sekali bila orang-orang mengira bahwa beliau itu cuma jago menulis tentang dunia asmara remaja. Padahal, Tere Liye juga berbicara tentang ekonomi-politik, mirip kayak kaum intelektual kiri lainnya. Silakan cek kalau tak percaya. Bahkan bukan tidak mungkin racikan kalimat indah yang berbau romantis darinya itu sebenarnya hanya metafor belaka.

Kayak gini misalnya:

“Sesungguhnya ada banyak hal yang sebaiknya orang lain tidak perlu tahu. Cukup kita simpan dalam hati.”

Nah, kutipan di atas jelas menunjukkan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang Tere Liye sembunyikan lewat metafor-metafornya yang mendayu-dayu itu. Sebab bisa jadi beliau takut kalau mengungkapkan pandangannya secara terbuka, bisa-bisa langsung ketahuan sama polisi kalau anarko.

Atau:

“Jangan mencintai yang justru hanya memanfaatkan hidup kita. Juga jangan mencintai seseorang yang sejatinya bukan siapa-siapa kita secara berlebihan. Mengaggapnya segalanya…”

Siapa yang tahu di balik kata “mencintai” ternyata sebagai metafor bagi kata melegitimasi? Lalu di balik kata “memanfaatkan” ada makna eksploitasi dan penindasan terhadap manusia. Dan di balik subjek yang dituju seperti lewat kata “seseorang”, jangan-jangan itu berarti negara/pemerintahan/korporasi?

Itu menunjukkan kemungkinan Tere Liye sedang menyebarkan ideologi yang sangat kritis terhadap negara, Bung! Berlawanan dengan dalil pemerintah kita, bahwa… “barang siapa yang rese, nanti kena UU ITE.”

Gagasan-gagasan Tere Liye di atas bisa dihubungkan dengan pandangan Bapak Anarko Sindikalis Rudolf Rocker, “Bahwa perang melawan kapitalisme harus bersamaan juga berperang melawan semua institusi kekuasaan politis, karena dalam sejarah, eksploitasi ekonomi selalu bekerja sama dengan penindasan sosial politik.”

Membaca itu semua, saya jadi curiga, jangan-jangan, novel Tere Liye selama ini memang bentuk “perang” melawan segala kekuasaan yang terlalu jauh mencengkeram pemuda-pemuda Indonesia. Salah apabila mengaggap karyanya sebagai novel minus sastra sebagaimana banyak dituduhkan selama ini. Tudingan itu semua benar-benar hanya upaya untuk mendelegitimasi kecerdasan dan kewibawaan Tere Liye.

Coba simak gagasannya di bawah:

“Apalah arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.”

Bukankah itu artinya Tere Liye mencoba membebaskan pemuda Indonesia dari segala penindasan untuk mewujudkan masyarakat egaliter tanpa kelas? Kalau tak percaya, bandingkan dengan apa yang Bakunin katakan tentang masyarakat tanpa kelas:

“Sosialisme tanpa ‘kebebasan’ adalah perbudakan dan sebuah bentuk kebrutalan.”

Membandingkan dua kutipan itu, tak berlebihan kalau menyebut anarkisme-romantis Tere Liye telah mencapai titik ujung yang hampir sempurna.

Oke, Bakunin jelas tidak baca tulisan-tulisan Tere Liye, tapi bukan tidak mungkin Tere Liye selama ini nggak sengaja telah khatam pemikiran Bakunin dan menyimpan ide-ide tersebut dalam karya-karya best seller-nya.

Kalau sudah begini lumrah kalau saya jadi curiga, jangan-jangan Tere Liye emang anarko betulan?

Hanya saja, mungkin beliau nggak menyadarinya karena nggak tahu anarko itu apa.

BACA JUGA Razia Buku Kiri Adalah Candu atau tulisan Ang Rijal Amin lainnya.

Exit mobile version