MOJOK.CO – Berkunjung ke Jalan Malioboro meninggalkan penyesalan. Tujuan wisatawan ini justru kurang terasa Jogja dan harga-harganya kurang terjangkau.
Jogja, salah satu provinsi dengan UMP terendah di Tanah Air, yang biaya hidupnya sering dikira murah padahal mitos. Provinsi ini juga dikenal memiliki kebudayaan dan makanan khas yang begitu dikenal. Akan tetapi, mengapa saya tidak melihatnya di Malioboro?
Dalam rangka pelatihan, November 2023 yang lalu saya sempat datang ke Jalan Malioboro. Ya, itu juga karena memang arah pulang dari Magelang ke Bandara Kulon Progo melewati pusat Kota Jogja dan kebetulan sisa waktu masih banyak. Karena naik bus, kami terpaksa memutar cukup jauh ke arah Taman Pintar dan Museum Vredeburg sebelum tiba di kantong parkir di depan Gereja Katolik Santo Fransiskus Xaverius Kidul Loji.
Akses ke Jalan Malioboro cukup menyenangkan, dengan beberapa spot foto dan trotoar yang lebar. Memasuki Jalan Malioboro, hampir seluruh gedung juga menyediakan “kanopi” di trotoar bagian dalam sehingga terhindar dari panas dan hujan, kecuali jika ingin duduk di kursi di trotoar bagian luar, hendak menyeberang jalan, atau masuk ke gang.
Sayangnya, dari kantong parkir tersebut tidak tersedia “kanopi” serupa dan panasnya sangat menyengat bagi kami yang datang di jam pagi hingga tengah hari. Hal ini membuat rombongan kami yang pertama kali disambut oleh Hamzah Batik dan Pasar Beringharjo hanya sanggup menyusuri setengah Jalan Malioboro dan kemudian putar balik.
Yang menyedihkan di Jalan Malioboro
Di setengah Jalan Malioboro ini, ada beberapa hal menyedihkan yang kami temukan. Pertama, sebagian besar toko, kalau bukan menjual pakaian antara batik, kaos bernuansa Jogja, atau baju barong setempat, ya menjadi reseller oleh-oleh makanan seperti Bakpia Pathok dan bakpia kukus Tugu Jogja.
Harga bakpia kukus Tugu Jogja di reseller sama saja dengan harga di gerai resminya. Sudah begitu varian rasa lebih terbatas dan tanggal kedaluwarsa stok reseller lebih cepat. Entah kenapa, harga baju barong Jogja tidak menarik jika dibandingkan membelinya secara online di e-commerce.
Baca halaman selanjutnya: Jalan Malioboro yang malah bikin wisatawan agak menyesal.
Aura Jogja yang malah tidak saya rasakan di Jalan Malioboro
Kedua, entah kenapa, saya menemukan ada pelaku UMKM di Jalan Malioboro yang tidak memasarkan produk khas Jogja, tetapi malah produk tiruan. Ya, ketika mengunjungi lantai dasar Teras Malioboro 1 yang masih dikelola oleh Pemda, tidak jauh dari pintu masuk, saya menemukan penjualan topi tiruan berlogo tim bisbol New York Yankees yang sedang tren dan harga produk aslinya cukup mahal itu.
Sebaliknya, menemukan makanan khas Jogja di Jalan Malioboro di pagi hingga siang hari cukup sulit. Akhirnya, banyak di antara rombongan kami berpuasa. Ya, karena makanannya ternyata banyak tersedia di separuh Jalan Malioboro yang lain, di dalam gang, atau di bagian dalam yang “ngumpet” lainnya, misal Teras Kuliner Malioboro 1 di belakang Teras Malioboro 1.
Ketiga, “aura” Jogja, sebagai daerah dengan upah rendah kurang terlihat. Malioboro diekspektasikan sebagai tempat belanja dengan harga yang relatif murah. Namun, di jalan itu ada sebuah pusat perbelanjaan bernama Plaza Malioboro yang tampak cukup mewah dan ternyata isinya cukup mahal.
Nasi gudeg ayam suwir di Gudeg Yu Djum seharga Rp20.000, dinikmati di sebuah ruko di gang tanpa AC dan kipas angin. Luar biasanya, salah 1 jaringan rumah makan Nusantara di ibu kota bisa menjual lunch box nasi gudeg, bahkan dengan satu potong empal goreng, di bawah Rp40 ribu. UMP Jakarta mencapai 247% UMP Jogja, tetapi harga nasi gudeg di Jakarta hanya 187% di Jogja.
Mencari “makanan berat” yang langsung terlihat dari trotoar Jalan Malioboro dan bisa langsung dimasuki di lantai dasar lebih sulit dibandingkan kopi Starbucks yang gerainya dipenuhi pembeli, teh susu Chatime di Ramai Mall, atau es krim gelato. Padahal, akan sangat baik jika kita bisa menemukan makanan khas Jogja, atau paling tidak makanan nasional nan sehat dari pengusaha dalam negeri dengan brand nasional di lokasi strategis. Kenyataannya? KFC dan Burger King?
Becak motor yang terasa mengganggu
Keempat, tindakan untuk menyebarluaskan penggunaan QRIS di kalangan pelaku UMKM di sini harus senantiasa dilakukan. Menggunakan EDC memang menambah biaya operasional dan menggunakan QRIS ada sedikit potongan. Namun, mewajibkan penggunaan tunai saja dengan mata uang rupiah tentu merepotkan di tengah era digitalisasi seperti sekarang ini. Apalagi QRIS mulai bisa digunakan juga oleh turis asing dari negara yang sudah bekerja sama.
Kelima, toilet umum yang memang terasa minim. Saya sendiri terpaksa menumpang toilet di salah satu gedung toko yang cukup bagus, meskipun akhirnya tidak membeli di sana. Maaf ya.
Keenam, saya cukup terganggu dengan tawaran becak motor (bentor) di Jalan Malioboro meskipun tarif sekali jalan hanya Rp10 ribu. Di jalan ini cukup banyak zebra cross untuk menyeberang, tetapi sayangnya tidak ada lampu merah untuk penyeberangan, tenaga yang membantu menyeberangi, dan pengendara kendaraan pribadi pun tidak mau mengalah.
Petugas keamanan Pasar Beringharjo sudah begitu ramah untuk mengizinkan saya menumpang di posnya dan menyetel fitur bantuan pengarah Google Maps dengan bantuan kamera. Akan tetapi, ketika cukup lama menyeberang, malah ditawari bentor oleh salah satu pengendaranya dan ini cukup mengganggu saya yang ingin berolahraga di jalan yang panjangnya kurang lebih hanya sekitar 1 kilometer ini.
Kesimpulan dan saran
Akhir kata, begitulah pandangan saya tentang Malioboro. Sebenarnya ketika diberitahu akan singgah di sini, saya hanya berniat membeli bakpia kukus Tugu Jogja untuk keluarga dan makan siang. Ya, selain merasa sulit mencari makan siang, saya harus cukup sabar mencari bakpia kukus langsung dari penjual resminya.
Sebagai catatan, jika kalian adalah wisatawan dengan minat yang sama seperti saya, tidak perlu datang ke Malioboro. Bakpia kukus bisa dibeli di Bandara Kulon Progo dengan selisih harga Rp5 ribu per boks saja, tentu di gerai resminya yang bisa dikunjungi setelah boarding. Jangan membeli di lokasi check in, lebih mahal hingga Rp20 ribu per boks! Lebih bagus jika penjual oleh-oleh lain mau masuk secara resmi ke bandara untuk memudahkan para wisatawan.
Penulis: Christian Evan Chandra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Wajah Baru Jalan Malioboro dan Mereka yang Merasa Kehilangan Hal Berharga dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.