MOJOK.CO – Hanung Bramantyo memang sukses menampilkan konflik di tubuh Keraton Mataram melalui film Sultan Agung, hanya saja kalau dibilang kurang riset untuk detail kecil, iya sih, memang kurang.
Untung saja perang tagar yang terjadi di panggung politik tanah air tidak menjalar ke industri kreatif kita, khususnya dunia perfilman nasional. Bayangkan jika itu terjadi. Hari-hari linimasa kita akan dipenuhi perang tagar #2019GantiSutradara melawan tagar #2019TetapHanung. Hanung Bramantyo, salah satu sineas terkemuka dan terproduktif di negeri ini selalu berhasil menggaransi satu film jadi kontroversi di masyarakat.
Dari sisi cerita, Hanung kerap mengundang pertentangan dari kesukaannya mengangkat cerita SARA. Dari interaksi dengan media, Hanung juga kerap melontarkan pernyataan yang offside. Orang banyak menandai pernyataannya yang seksis saat mengungkapkan mengapa pemeran perempuan lebih mudah didapatkan dibanding pemeran laki-laki yang regenerasinya lebih lambat.
“Menjadi aktor pria itu susah, syaratnya banyak. Sedangkan perempuan ya sudahlah, asal cantik aja.”
Itu pernyataan Hanung untuk menjawab serangkaian pertanyaan umum mengapa pemerannya lagi-lagi Reza Rahardian, aktor yang menurut saya sejalan dengan tagline teh botol Sosro. Apapun filmnya, siapapun sutradaranya, dan apa pun rumah produksinya pemerannya tetap Reza Rahardian. Aktor yang cukup piawai berakting meski belum tentu menjamin filmnya otomatis bakal laku di pasaran.
Kaum sufi yang suka film indonesia, yang mau jelek atau bagus tetap ditonton—seperti saya—sering tiba-tiba merasa bodoh. Wajah Reza sebagai pemeran Habibie belum hilang benar, eh sudah memerankan Benyamin Suaeb.
Pada akhirnya film tersebut relatif gagal di pasaran karena Reza dianggap terlalu lebay memerankan Benyamin. Terlalu ganteng mungkin, jadinya renyah di luar, garing dan lembut ditonton. Sementara dalam benak banyak orang, Benyamin, legenda masyarakat Betawi merupakan sosok yang menampilkan citra meski percaya diri dan norak tapi lucunya natural nggak dibuat-buat. Menyebalkan tapi memikat dalam satu seduhan. Yah, bisa dibilang ini satu kegagalan Hanung yang perlu disebut sejak penentuan pemeran sampai penggarapan. Semua maksa.
Namun demikian, saya tetap termasuk pengagum karya Hanung. Walaupun bagi sementara orang, dia kerap dituding tidak mendalami satu kisah yang hendak dilayarlebarkan. Satu kali Hanung dituding tidak memahami adat minang. Miris, hanya karena dia menggunakan latar yang berlatar belakang Kota Padang, sementara tokoh yang dia tonjolkan beragama Katolik.
Diana, nama tokoh dalam film Cinta Tapi Beda padahal tidak secara khusus disebut sebagai orang minang. Apa perlu menjelaskan semua hal ke dalam film? Seperti misalnya sosok tersebut pindahan dari kota lain. Ini fakta betapa masyarakat kita memang cenderung reaktif untuk satu hal yang belum dipahami betul. Konyolnya, banyak orang yang belum menonton pun sudah turut larut dalam amarah tanpa dasar.
Habis mau bagaimana? Ini memang sebagian sifat khas kita, protes dulu baru berpikir. Bahkan cukup melihat trailer durasi dua menit sudah merasa pantas menjadi kritikus papan atas.
Berikutnya saat memfilmkan Soekarno. Ada satu adegan kontroversial yang bisa jadi memang sesuai dengan faktanya. Soekarno mengetahui dengan pasti pasukan Nippon melakukan kejahatan atas perempuan Indonesia dengan menjadikannya sebagai budak nafsu. Suka atau tidak, Soekarno turut andil.
Itu noda sejarah yang tidak banyak diungkap orang. Besarnya jasa Soekarno terhadap negeri ini yang bagi pengagumnya nyaris tanpa cela malah “dirusak” Hanung. Versi sejarah yang lebih dominan, Soekarno berpura-pura berkolaborasi dengan Jepang. Sedangkan dari sudut pandang Hanung, Soekarno diambarkan sebagai pribadi yang dapat melakukan khilaf.
Berangkat dari serangkain kontroversi tersebut. Bumi Manusia saat masih tahap casting pun sudah dipermasalahkan sementara orang yang menyebut diri mereka sastrawan, budayawan, mantan aktivis pergerakan, dan penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Mereka, generasi yang relatif “tua” tersebut tidak rela roman sejarah dari Tetralogi Buru nan adiluhung tersebut “dimodifikasi” Hanung.
“Mengapa harus disutradarai Hanung?”
Ruang kritik sebenarnya terbuka luas. Ingat, filmisasi satu kisah dan bahkan sejarah pun tidak lepas dari tafsir pembuatnya. Bisa mengambil satu fragmen saja, atau banyak bagian dari cerita tersebut. Tetapi sutradara dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang besar kemungkinan tidak sesuai dengan harapan penontonnya.
Apalagi nantinya film tersebut menghadirkan Iqbaal Ramadhan, si pemeran Dilan. Kaum tua tambah khawatir saja bahwa anak bergen milenial tersebut, bersama dengan Hanung, akan menghasilkan kerusakan paripurna. Orang lupa, terutama generasi 90-an, yang sempat memandang sebelah mata padanya. Iqbaal dianggap akan gagal memerankan dengan baik tokoh Minke, tokoh yang sudah diciptakan saat Iqbaal jadi kromosom saja belum.
Dalam film terbarunya, Hanung pun tak lepas dari kontroversi. Putri Hamengku Buwana X sampai memberi kritikan cukup pedas soal riset film ini yang dirasa kurang. Ciri pokok Sultan Agung dalam berbusana tidak terlihat. Padahal sosok tersebut pengguna motif busana awal parang barong, kain bermotif S besar tidak S kecil seperti dalam film tersebut.
Sebagai seorang yang besar di Jogja, seharusnya Hanung lebih mudah memahami dan mencari sumber kepustakaan bahwa Sultan Agung mengenakan kain dengan motif parang barong. Itu pengetahuan standar soal nyamping, kain bawahan, dan dia tidak lulus. Saya pun akhirnya membenarkan kalo Hanung memang lemah dalam riset dan sering menyederhanakan hal-hal yang sepintas lalu tidak penting.
Tapi di luar itu, Hanung sukses menampilkan konflik di tubuh Keraton Mataram antara perwira yang setuju dengan penyerangan ke Batavia dan yang tidak. Pendekatan historis yang digunakan Hanung mengena sekali. Pada masa lalu, ketidakpatuhan terhadap titah raja bukan sekadar dianggap membangkang tapi segaris dengan pengkhianatan. Hukumannya pun klise tapi ngeri: mati.
Ciri lain dari Hanung ialah soal dunia pesantren. Dia sukses dalam membentuk citra Sultan Agung sebagai satria pinandhita, seorang ksatria yang ingin mendarmabaktikan ilmunya untuk masyarakat sebagai ulama. Pergulatan batin terjadi saat putra mahkota tersebut mendapat wasiat untuk menggantikan ayahnya yang mangkat sebagai Raja Mataram. Mengikuti kata hatinya sebagai ulama atau sebagai kepala negara.
Hal-hal yang seperti ini sebaiknya jangan dikaitkan dengan persoalan capres-cawapres hari ini. Di mana ulama yang mempunyai peran penting sebagai sumber rujukan untuk perikehidupan justru ditarik untuk politik kekuasaan. Dulu pun ada ulama seperti itu, tetapi bukan kecenderungan umum.
Hanung memotret dengan sangat baik bagaimana kecewanya seorang istri permaisuri, Tulungayu, yang pernah dijanjikan anak yang keluar dari rahimnya kelak menjadi Raja Mataram. Di banyak kisah sejarah yang dibukukan, Mas Wuryah, putra tunggal Tulungayu dilahirkan dalam kondisi down syndrome. Walaupun wasiat dari mendiang Prabu Hanyokrowati jelas menyebutkan bahwa Mas Rangsang kelak yang akan dirajakan, seorang ibu tetaplah ibu. Dia tetap mengupayakan putranya menjadi raja apa pun bayarannya.
Detail tersebut sampai saat ini belum menjadi kontroversi. Padahal versi resminya, Mas Wuryah dirajakan sehari sebagai Adipari Mertapura. Itu jalan tengah yang secara politis dapat diterima dua kubu. Janji terpenuhi, estafet pemerintahan mulus diserahkan kepada yang lebih mampu. Nah, kalau untuk adegan seperti itu memang tidak pas kalau dimainkan Iqbaal. Tidaklah mungkin Sultan Agung membuat pernyataan serupa Dilan.
“Mas Wuryah saja, aku belum mau jadi raja. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja.”
Film ini memang lebih menggambarkan suasana kebatinan Mas Rangsang setelah bergelar Sultan Agung. Terutama terkait dengan dua perang besar yang disuguhkan wong agung dari Mataram ini untuk bangsa yang dalam benaknya sejak awal memang berniat menjajah. Dapat dimaklumi kalau dia tidak pernah sepakat dengan beberapa perwira yang mengajaknya berpikir logis soal kelemahan dan keterbatasan Mataram.
Perang memang tidak pernah sederhana, apalagi mudah. Banyak pengkhianatan di tubuh Mataram yang tidak saja melemahkan moral pasukan tetapi juga menjadi penyumbang kekalahan Mataram. Hal-hal yang seharusnya tidak perlu terjadi. Perlu diketahui juga, bahwa pada masa itu Mataram bukanlah kerajaan lemah. Armada laut punya, sistem artileri pun lengkap, secara militer top markotop.
“Perang ini tidak untukku, tidak untuk kejayaannku tetapi untuk anak cucuku ratusan tahun kemudian. Supaya mereka tahu, leluhurnya bukan bangsa yang lemah!”
Dialognya tentu tidak persis seperti itu. Lebih karena saya terbakar untuk memilihkan kata yang pas saja. Tapi memang pernyataan tersebut sangat menggetarkan untuk generasi sekarang. Untuk pemeran adegan-adegan seperti itu, Iqbaal memang kurang cocok. Mungkin dia akan memerankannya dengan baik, tetapi belum tentu pengucapannya.
“Jangan pernah bilang ada yang mengkhianatiku, nanti, besoknya, orang itu akan hilang.”