Derita Istri Jadi “Budak” Kasta Tertinggi Suami Pengangguran yang Lebih Mementingkan Burung Peliharaan ketimbang Anak dan Istri

Istri Super Jadi Budak Suami Pengangguran Kelas Premium MOJOK.CO

Ilustrasi Istri Super Jadi Budak Suami Pengangguran Kelas Premium. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaya menjadi saksi betapa si istri ini sangat super. Dia sangat sabar menghadapi suami pengangguran kelas premium yang sangat manja.

Saya punya tetangga yang ajaib sekali. Sebelumnya, saya harus menegaskan satu hal. Jujur, pada awalnya, saya tidak begitu peduli dengan urusan rumah tangga mereka.

Saya jadi tahu lebih banyak karena keluarga tersebut sering meminta tolong saya untuk bantu-bantu usaha. Alhamdulillah, usaha tersebut lumayan ramai. Lewat kejadian ini, saya jadi tahu lebih banyak dari seharusnya. Niat saya bukan untuk mencari tahu, tapi sudah risiko.

Iya, menjadi tetangga yang terlalu sering dimintai tolong itu ada risikonya. Kita jadi tahu isi dapur mereka. Bukan cuma dapur dalam arti kompor dan panci, tapi dapur dalam arti drama rumah tangga ketika suami pengangguran menjadi salah satu sumber derita sang istri.

Komposisi rumah tangga yang sungguh ajaib

Izinkan saya terlebih dahulu memperkenalkan komposisi penghuni rumah tetangga saya ini. Pertama, bayangkan sebuah rumah yang tidak terlalu luas. Kedua, rumah tersebut berisi suami, istri, dua anak perempuan kecil, dua adik laki-laki (dari pihak istri), dan dua kakek (masing-masing dari pihak suami dan istri). 

Jadi, di dalam rumah mungil tersebut, ada delapan jiwa sebagai penghuni. Delapan orang yang, harus makan, memproduksi piring kotor dan cucian setiap hari.

Tebak, siapa yang mengurus delapan jiwa ini? Tentu saja, Sang Istri. Mari kita sebut dia “Mbak Super”. Karena memang si istri ini sangat super dan saya bersimpati. Saya yang cuma sesekali bantu saja pusing ngeliatin job desc dia setiap hari.

Keseharian istri super menghadapi suami pengangguran

Diawali dengan aktivitas di pagi buta. Si istri sudah memulai aksi triathlon domestiknya. Mulai dari memasak porsi kuli untuk delapan orang, lanjut cuci piring bekas makan malam dan sarapan, disusul cuci baju. Saya yakin cucian mereka nggak mungkin cuma satu ember.

Setelah itu, si istri akan sibuk mengurus anak buat berangkat sekolah, lanjut menyapu (meski percuma karena bakal berantakan lagi), mengantarkan anak sekolah, nanti siang jemput anak sekolah. Siangnya, masih harus lanjut jualan di rumah.  

Lalu, di mana Sang Suami Tercinta? Oh, dia sibuk. Sibuk sekali.

Pagi-pagi, ketika istrinya berputar-putar kayak gasing, Sang Suami tidur nyenyak bak pangeran dari negeri dongeng. Setelah bangun, rutinitasnya si pengangguran ini dimulai dengan ngurusin burung peliharaannya.

Iya, suaminya ini pengangguran, tidak bekerja, dan tidak menghasilkan pendapatan. Tapi prioritas hidup si pengangguran ini sangat jelas: “Kesejahteraan burung peliharaan di atas segalanya.”

Dengan penuh kasih sayang, dia mengganti air minum burung, mengelap sangkar, bahkan mungkin membisikkan afirmasi lembut, “Tumbuh yang bagus ya, Nak, nanti Bapak ajak lomba.”

Dia tidak peduli si istri pontang-panting mengurus anak-anaknya. Si pengangguran ini tidak pernah terlihat mengantar anak sekolah, menjemput, atau bahkan sekadar memandikan anaknya.

Anak mau sekolah telat? Ah, itu urusan ibunya.

Anak belum sarapan? Ibunya yang masak.

Tapi kalau burung peliharaan belum makan? WAH, ITU BENCANA DUNIA!

Derita si istri super

Melihat segala yang terjadi sejak pagi, saya hanya bisa ngelus dada. Si istri mengeluarkan banyak tenaga, sementara suaminya seperti pangeran. Tenaga si ini pengangguran disimpan untuk hal-hal “yang lebih mulia”, yaitu memantau kicauan burung.

Suatu kali, si pengangguran ini marah besar karena Mbak Super salah beli pakan burung. Padahal, uang buat beli pakan burung aja dia minta dari istri. Dan yang disuruh beli pun istrinya. Tapi tetap saja, dia ngamuk. Saya menyebutnya, level pengangguran premium.

Keluarga si suami ini dulunya kaya raya. Mereka tinggal di kota, punya usaha mentereng. 

Sang suami, sejak kecil mendapat perlakukan seperti pangeran. Dia tidak pernah mendapatkan pelajaran memegang sapu atau mencuci piring sendiri. Keluarganya memanjakan dan memberikan kasih sayang secara berlebihan. Mungkin kalau jalan tidak boleh napak tanah nanti kaki bisa kotor. 

Nah, ketika COVID-19 datang, usaha mereka bangkrut, luluh lantak. Hartanya habis, dan mereka terpaksa “hijrah” pulang ke desa, menempati rumah di sebelah saya, menjadi pengangguran kelas premium. 

Si istri yang sangat sabar

Ketika bangkrut dan harusnya banting setir, si pengangguran kebingungan. Kemampuan bertahan hidupnya nol besar. Yang dia bisa, ya cuma melanjutkan hobi mahalnya dari zaman kaya dulu: ngurus burung.

Usut punya usut, ternyata fenomena di keluarga ini memang hal yang biasa. Bisa saya katakan sistem patriarki yang melekat dan mendarah daging secara turun-temurun. 

Kedua istri dari kakek-kakek yang tinggal di rumah itu (alias para nenek) bekerja menjadi TKW di luar negeri. Tolong diingat, di rumah itu ada 5 laki-laki (suami si pengangguran, 2 kakek, dan 2 adik) yang secara fisik sehat walafiat. 

Tapi yang bekerja banting tulang adalah si istri dan para nenek. Dan yang bikin saya semakin heran, para perempuan di rumah itu super duper sabar.

Si istri ini nggak pernah marah apalagi menuntut agar si suami pengangguran mencari pekerjaan. Padahal, setiap hari, kebutuhannya banyak dan semuanya dari hasil kerja keras para istri.  

Saya nggak paham apa yang ada di kepala mereka. Saya kadang bertanya-tanya, apakah mereka sedang mengumpulkan poin pahala untuk jalur VVIP masuk surga?

Kalau saya di posisi mereka, mungkin saya sudah berubah jadi Sumala.

Semoga Mbak Super selalu sehat, panjang umur, dan rezekinya lancar.

Dan semoga saja, burung suaminya menang lomba.

Lumayan, duitnya bisa buat “beli burung lagi” dan melanjutkan status pengangguran premium.

Penulis: Mar’atus Soleha

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 7 Skill Tahu Diri yang Harus Dimiliki Pengangguran dan catatan menyedihkan lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version